Pengetahuan dan Selubung Ketidakpastian 

Dipublikasikan oleh Irawan Basuki pada

Harris, Marvin. 1974. Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddle of Culture ( Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir: Menjawab Teka-Teki Kebudayaan). Penerbit Random House.


Manusia mempunyai obsesi abadi terhadap asal-usul. Penjelasan logis atas awal mula segala sesuatu sudah seperti candu. Semakin kita banyak tahu, semakin besar hasrat kita memburu. Oleh karena dorongan keingintahuan ini, ilmu pengetahuan berkembang.

Marvin Harris, seorang antropolog Amerika, mengibaratkan rasa penasaran itu seperti keripik kentang. Kita akan terus memakannya hingga isi kemasannya tandas. Salah satu karyanya, Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddle of Culture (1974), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir: Menjawab Teka-Teki Kebudayaan (2019), merupakan usahanya untuk menjawab secara umum asal-usul kebudayaan. Dalam usahanya untuk melakukan itu, ia mengenalkan kita kepada apa yang disebutnya sebagai materialisme kultural. 

Buku yang pertama kali terbit pada 1974 ini sudah banyak diulas dan dibahas. Sayangnya, di antara yang banyak itu, belum ada ulasan mendalam tentang bagaimana materialisme kultural ini berkontribusi, tetapi pada saat bersamaan, membatasi cara manusia mengembangkan pengetahuan.  

Cara kerja materialisme kultural adalah menjelaskan persamaan, perbedaan, dan model perubahan kultural melalui kerangka sosial yang terdiri dari infrastruktur, struktur, dan suprastruktur. Konsep yang pertama ini adalah seperangkat konsep bernama “realitas material” yang menyatakan bahwa teknologi, faktor ekonomis, dan reproduktif membentuk dan mempengaruhi dua kerangka sosial lainnya. Yang kedua adalah seperangkat konsep yang terdiri dari aspek organisasi kultural seperti sistem kekerabatan, ekonomi, dan politik. Yang terakhir adalah seperangkat konsep yang terdiri dari aspek ideologis dan simbolik dari sebuah komunitas seperti agama atau kepercayaan. 

Marvin Harris

Di dalam materialisme kultural, aspek teknologi dan ekonomi dipercaya memainkan peran penting dalam membentuk masyarakat. Komunitas besar itu beroperasi sesuai dengan model di mana produksi dan reproduksi mendominasi sekaligus menentukan sektor budaya lainnya. Semua aspek noninfrastruktur masyarakat diciptakan dengan tujuan memberi manfaat pada kemampuan produktif dan reproduktif. Oleh karena itu, sistem seperti pemerintah, agama, hukum, dan kekerabatan dianggap sebagai konstruksi yang hanya ada untuk tujuan mempromosikan kedua hal tadi. Dengan penelitian empiris dan metode ilmiah ketat untuk membuat perbandingan akurat antarbudaya, para pendukung materialisme kultural percaya bahwa perspektifnya secara efektif menjelaskan variasi dan persamaan antarbudaya itu. 

Melalui cara ini, Harris berhasil memberikan penjelasan mengapa sapi disakralkan oleh umat Hindu di India. Bagi pengamat Barat, kata Harris, rasa cinta kepada sapi ini terlihat tidak masuk akal, bahkan cenderung seperti tindakan bunuh diri (hlm. 14). Sapi, dalam kepentingan ekonomi jangka panjang, memberikan keberlangsungan hidup berkelanjutan dibanding jika disembelih dan dikonsumsi secara masif pada masa paceklik. Tenaganya dapat digunakan untuk mengolah lahan atau sebagai alat transportasi. Sapi betina masih dapat diperah susunya dan kotorannya dapat digunakan sebagai pupuk atau bahan bakar. 

Begitu pun dengan babi. Telahaan Harris menunjukkan bahwa alasan Muslim dan orang-orang Yahudi dilarang mengonsumsi babi adalah semata perkara ekologis dan keberlangsungan ekonomi dan kehidupan. Babi adalah hewan yang menjadi kompetitor langsung manusia dalam mendapatkan makanan (hlm. 42). 

Dalam menjelaskan fenomena peperangan, Harris menekankan bahwa perang adalah salah satu mekanisme, meski bukan yang terbaik, kontrol populasi masyarakat (hlm. 79-80). Dari sudut pandang ini, menjadi logis ketika suatu masyarakat menganut pendekatan yang patriarkis. Melahirkan dan merawat bayi laki-laki memberikan dampak siginfikan pada penambahan jumlah penduduk. Laki-laki dibesarkan untuk berperang, sedangkan perempuan sebagai penjaga keberlangsungan hidup. Jika jumlah perempuan lebih banyak, maka dikhawatirkan fungsi reproduktif menjadi melebihi dari yang seharusnya. 

Harris juga mendorong pembaca untuk melihat dengan perspektif yang sama ketika membahas mengenai perburuan penyihir. Menurutnya, upaya pemberantasan ini adalah upaya pengalihan perhatian publik dari kondisi bobrok dan koruptif institusi gereja dan pemerintahan di Eropa abad ke-15. Ia menuturkan bahwa cara terbaik melihat fenomena ini adalah dengan memeriksa realitas aktual di dunia ketimbang menilai dari niat baik surgawinya (hlm. 237).

Keterbatasan

Materialisme kultural boleh dikatakan adalah bentuk kekesalan Harris terhadap budaya-tanding (counter-culture). Pandangan ini menolak objektifikasi atau keyakinan bahwa ilmu pengetahuan harus bersifat objektif. Kondisi ini memungkinkan berkembangnya paradigma bahwa ilmu pengetahuan dan akal budi tidak dapat menjelaskan variasi-variasi dalam gaya hidup manusia. Singkatnya, pendekatan budaya-tanding mengakui keterbatasan ilmu untuk menjangkau realitas yang plural.

Di sisi lain, antropologi ala Harris adalah antropologi dengan determinasi materialistik. Pendekatan ini meyakini segala sesuatu dapat dijelaskan dengan menyisir kausalitas materialnya. Dengan kata lain, pendekatan ini menyingkirkan aspek lain yang menggenapi pengetahuan manusia, yaitu aspek metafisika. Harris tak meyakini adanya keterbatasan. Semua dapat dijelaskan melalui observasi empiris

Ia menyimpulkan bahwa semua keyakinan yang melekat dalam benak manusia, yang dijewantahkan dalam perilaku, selalu dalam rangka mendukung dua fungsi utama hidupnya, produksi dan reproduksi. Pola perilaku menjadi analisis karena dapat diamati secara empiris sehingga penyimpulan ilmiahnya dapat diverifikasi. 

Materialisme kultural adalah gabungan antara materialisme Marx dan empirisme David Hume yang mencari kebenaran melalui regularitas sebuah fenomena. Di sinilah letak masalahnya. Hume skeptis terhadap kausalitas dan mempertanyakan logika induksi. Empirisme modern percaya bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman. Perdebatan intelektual dapat dipecahkan dengan merujuk fakta yang diperoleh dan ditegakkan oleh prosedur saintifik. Hume membedakan antara kajian logika dan moralitas, antara cara akal budi manusia bekerja dan sisi afektif individu. 

Dalam Enquiry Concerning Human Understanding (2011), yang terbit pertama kali pada 1777, ia menyatakan bahwa pencarian jawaban atas pertanyaan mengawang-ngawang adalah dengan meneliti dan menunjukkan bahwa akal budi manusia tidak memadai untuk topik-topik tersebut. Menurut Hume, pengalaman menjadi batas kemampuan manusia untuk mengetahui. 

Dengan demikian, ketidakmemadaian data, yang diperoleh melalui observasi untuk memberi dukungan penuh kepada teori, merupakan batas dari pemaparan empiris. Ini kemudian menjadi kendala epistemik. Ilmuwan kemudian mengajukan langkah metodologis sederhana dengan menyusun postulat untuk membatasi jumlah kemungkinan atau model. Postulat ini kita kenal sebagai asumsi. 

Asumsi merupakan landasan yang tidak mungkin ditanggalkan dalam ilmu pengetahuan. Hampir tidak ada bidang ilmu yang tidak menempelkannya di belakang teori. Asumsi diperlakukan sebagai elemen alami dari bangunan pengetahuan. Bagian ini yang ditepis Harris.

Karlina Supelli, dalam Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme (2011), menyatakan jika meniadakan elemen asumsi ini dari teori, maka yang ada adalah kesesatan. Dalam ilmu alam, bentuk paling buruk dari kesesatan epistemik ini adalah penyamaan model dengan objek nyata. Dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kegegabahan itu membentuk apa yang disebut reduksionisme. 

Lubang besar yang bernama reduksionisme inilah yang diwariskan Harris. 

Kebertopangan

Celah ini sebenarnya dapat ditutup tanpa harus menghakimi materialisme kultural sebagai pendekatan yang salah. Martin Suryajaya melalui “Marxisme dan Supervenience”  dalam Mencari Marxisme: Kumpulan Esai (2016) mengemukakan bahwa upaya objektivikasi ilmu pengetahuan, terutama bagi yang menggunakan pendekatan materialisme, kerap dituduh sebagai upaya dari reduksionisme yang tidak “manusiawi”. Kata “determinasi” yang menjadi alasan kuat atas tuduhan itu menjadi ditakuti. 

Martin Suryajaya berupaya menjernihkan pesoalan ini dengan memaparkan konsep kunci dalam kata “determinasi”, yaitu kausalitas. Ia membaginya menjadi dua model, yakni kausalitas transitif (imanen) dan kausalitas intransitif (transenden). Kausalitas transitif adalah penyebab yang internal terhadap efek yang disebabkannya dan tidak dapat direduksi pada efek-efeknya. Sebagai contoh, kondisi ekonomi merupakan penyebab dari situasi kultural tertentu. Keduanya tidak identik, tapi tidak dapat dipisahkan.  

Sayangnya, distingsi ini meninggalkan penjelasan yang membuat situasi masih runyam. Dua model kausalitas ini tidak mampu memberikan penjelasan tentang “otonomi relatif” efek terhadap penyebab dengan memadai. “Otonomi relatif” ini kemudian hanya menjadi postulat. 

Martin kemudian menawarkan penjelasan “basis mendeterminasi suprastruktur” melalui konsep supervenience atau yang diterjemahkannya sebagai “kebertopangan”. Sifat A dikatakan bertopang pada sifat B hanya jika keduanya sama-sama berubah atau tidak sama-sama berubah. Konsep “kebertopangan” ini dapat dijelaskan melalui analogi rasa sakit. Perasaan ini merupakan sifat mental yang bertopang pada struktur neurofisiologis. Kita akan merasakan rasa sakit hanya jika kita mengalami rangsangan di sistem saraf otak.  

Dengan memodifikasi konsep ini, materialisme yang nonreduktif dapat dimungkinkan. Materialisme eliminiatif meyakini bahwa seluruh sifat mental, seperti rasa sakit, dapat direduksi ke dalam susunan sifat material. Apabila tidak bisa, maka sifat mental ini harus disingkirkan. Sebaliknya, materialisme moderat nonreduktif percaya bahwa sebagian sifat mental dapat direduksi ke dalam susunan material. Supervenience menjamin reduksi ini.  

Kerangka ini berguna untuk mengklarifikasi tesis “basis mendeterminasi suprastruktur” yang dipakai Harris. Kata “mendeterminasi” dapat dimengerti sebagai “menopang”. Kita dapat rumuskan ulang seperti ini: suprastruktur bertopang pada basis hanya jika tidak ada perubahan pada level suprastruktur tanpa perubahan di level basis. 

Prinsip kebertopangan membantu ilmu pengetahuan berjalan lebih jauh. Penjelasan yang mulanya tidak logis menjadi masuk akal dan tidak terjebak ke dalam reduksionisme. Hanya saja, “kebertopangan” ini tidak menghilangkan negasi atas sesuatu yang nonmaterial. Materialisme kultural ala Harris ingin mendaku kebenaran dengan cara sebaliknya. 

Pada prinsipnya, sekuat apapun materialisme kultural menghindari reduksionisme, ia tetap tidak mampu menghilangkan niat awalnya untuk meringkus semua fenomena kehidupan ke dalam jejak material. Otoritas tertingginya adalah materi yang diamati secara empirik. Kebenaran yang masih terselubung ketidakpastian karena tak berbentuk materi yang dapat diamati lalu ditepis dan dianggap seolah tidak ada

Jika laku kebudayaan tertentu hanya dipandang sebagai bentuk reaksi atas kebutuhan produksi dan reproduksi semata, maka itu adalah bentuk reduksionisme yang terang benderang. Hal yang jelas bertentangan dengan prinsip pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh sebagian khalayak, ruang yang terselubung itu dipercaya ada dalam kerangka yang tidak tampak secara material, misalnya iman atau kepercayaan. Seperti manusia, ilmu pengetahuan memiliki keterbatasan. Kita hanya perlu mengakui sambil terus mempertanyakan batas-batas itu dan mengujinya.


Irawan Basuki

Penulis adalah peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN. Publikasi terbarunya “Remembering Jakarta, Imagining Nusantara: Identity, Space, and Structure” menjadi bab di dalam buku Assembling Nusantara: Mimicry, Friction, and Resonance in the New Capital Development (Springer, 2023).