Jejak Hadhrami: Mencari Identitas Arab di Bumi Indonesia

Dipublikasikan oleh Ahmad Fahrur Rozi pada

de Jonge, Huub. 2019. Mencari Identitas: Orang Arab-Hadhrami di Indonesia (1900-1950). Kepustakaan Populer Gramedia. 


Pergerakan diaspora Hadhrami di Indonesia kontemporer telah banyak bertranfrasnformasi, yakni menghasilkan warga keturunan Arab yang lebih modern dan progresif, dibandingkan dengan saudara sebangsa mereka di Hadhramaut yang tetap mempertahankan sikap tradisionalis. Mereka dapat membentuk identitas yang kokoh di tanah perantauan, di mana mereka tampil menjadi elit agama, sosial, ekonomi maupun politik. Di sisi lain, mereka juga tetap mempertahankan budaya utama mereka sebagai bangsa Arab.  Dalam konteks Indonesia, komunitas-komunitas diaspora Arab-Hadhrami juga cenderung membentuk suatu komunitas sosial yang eksklusif. Fakta tersebut menarik dikaji, terutama bagaimana proses komunitas ini berhasil eksis dan mengkonstruksi suatu identitas sosial di bumi Indonesia. 

Rekam jejak historis diaspora Arab-Hadhrami di tanah Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang, di mulai sejak sebelum era pra-kolonial, kolonial, dan post-kolonial dengan pergerakan yang cukup dinamis. Dalam konteks ini, Huub de Jonge menawarkan sebuah kajian sejarah yang cukup komprehensif tentang proses Indonesiasi imigran Hadhrami di Hindia Belanda di bawah kontrol politik pemerintah kolonial. De Jonge membahas sejarah awal pembentukan identitas diaspora Arab-Hadhrami dalam bukunya, Mencari Identitas: Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950). Buku ini mendeskripsikan kondisi dan situasi sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan budaya komunitas imigran Hadhrami di bawah kontrol tiga pemerintah, yakni pemerintah Belanda, Jepang, dan Indonesia. Buku ini juga diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Penerbit Brill dengan judul In Search of Identity: The Hadhrami Arabs in the Netherlands East Indies and Indonesia (1900-1950). 

Sejarah Awal Kedatangan dan Konflik Internal 

Di bagian awal bukunya, de Jonge menjelaskan tentang gambaran awal komunitas Hadhrami di Indonesia, mulai dari sejarah kedatangan mereka ke Hindia Belanda, motivasi untuk bermigrasi, status minoritas Arab di Indonesia, konflik internal, hingga proses yang mereka lakukan dalam membangun solidaritas antar Hadhrami maupun dengan pihak eksternal: pemerintah kolonial dan masyarakat lokal. Dalam catatannya, de Jonge tidak menampik bahwa mobilisasi masyarakat Arab di Asia Tenggara terjadi jauh sebelum era kolonial, tepatnya pada abad 10 M dengan tujuan utama untuk berniaga. Namun, memasuki abad 18 dan 19 M, komunitas Arab mulai memadati daerah-daerah tertentu di Hindia Belanda, terlebih pasca dibukanya kanal Terusan Suez pada tahun 1896. 

Huub de Jonge

Di tengah berlangsungnya proses migrasi besar-besaran ini, terjadi konflik internal antar mereka. Perbedaan kelas sosial dalam budaya Arab menjadi faktor utama perselisihan ini.  Selain memicu konflik, gelar seperti sayyid, syaikh, dan qabili juga menandakan perbedaan kelas sosial dalam komunitas diaspora Hadhrami di Hindia Belanda. Sebagaimana disebutkan oleh Huub de Jonge, dan juga Ismail Fajri Alatas (2021), secara umum komunitas diaspora Arab-Hadhrami di Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok sosial.  Pertama, para sayyid atau habib yakni sebuah gelar bagi mereka yang merupakan keturunan nabi. Kedua, kalangan pemuka agama non-habib yang dikenal dengan al syaikh. Ketiga, kalangan pemuka suku non-pemuka agama dan juga non-sayyid yang dikenal dengan qabili atau kabilah. Mereka tetap mempertahankan budaya kelas sosial ini di tanah rantau, terutama dalam konteks perebutan legitimasi otoritas keagamaan di tengah-tengah masyarakat lokal. 

Konflik ini mulai menemukan titik tengah setelah berdirinya Persatuan Arab Indonesia (PAI), sebagai upaya awal dari komunitas Hadhrami untuk membangun solidaritas di kalangan mereka sendiri. PAI memiliki orientasi emansipatif, yakni bertujuan untuk memajukan komunitas Arab dan integrasi Arab-Indonesia. Bagian ini dapat dikatakan sebagai ilustrasi awal tentang awal mula proses upaya pencarian identitas Hadhrami di tanah Hindia Belanda.

Sikap Kontradiktif Pemerintah Kolonial Belanda dan Snouck Hurgronje  

Salah satu aspek menarik di buku ini ialah perselisihan antara pemerintah kolonial Belanda dengan Snouck Hurgronje, seorang tokoh orientalis sekaligus penasehat utama pemerintah kolonial di bidang Islam. Pembahasan ini dijelaskan dalam bab 2 dan bab 7 dengan tema pembahasan yang saling berkaitan. De Jonge menjelaskan penolakan kalangan sayyid yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah kolonial terkait pengelompokan Hadhrami sebagai ‘warga timur asing’ (vreemde oosterlingen). Kalangan sayyid mengklaim bahwa mereka memiliki status sosial yang tinggi dan mulia di daerah asal mereka, dan karena itu, berhak atas persamaan status dengan status warga Eropa. Pemerintah kolonial juga memberlakukan sistem kebijakan pembatasan pemukiman dan perjalanan yang sangat mengganggu mobilisasi ekonomi komunitas Hadhrami. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah kolonial justru bersikap lunak terhadap kebijakan migrasi masyarakat Hadramaut ke Hindia Belanda. 

Dua kebijakan pemerintah kolonial tersebut bertentangan dengan pendapat Hurgronje. Dalam catatan de Jonge, Hurgronje sangat tidak setuju dengan kebijakan pembatasan pemukiman dan mobilitas komunitas Hadhrami di Indonesia. Namun, ia juga tidak sepakat dengan penerapan kebijakan migrasi liberal Belanda yang berdampak terhadap eksodus kedatangan imigran Hadhrami ke Indonesia. De Jonge berpendapat bahwa Snouck menunjukkan sikap yang tidak konsisten. Sikap ketidakkonsistenan tersebut didasari oleh kekhawatiran berlebihan Snouck terhadap kemunculan Pan-Islamisme di Indonesia. Pendapat ini dibantah oleh De Jonge, bahwa hakikatnya arus Pan-Islamisme di Indonesia lebih banyak dikampanyekan oleh kalangan ulama Hijaz (warga lokal yang belajar ke Mekkah dan Madinah) dibandingkan dengan Hadhrami, di mana motif utama mereka untuk melakukan imigrasi tidak lain adalah karena tuntutan ekonomi. Pandangan ini juga diperkuat oleh Djajat Burhanuddin Guru Besar Sejarah Islam UIN Syarif Hidayatullah bahwa kehadiran imigran Hadhrami di Nusantara sejak awal tidak bisa dilepaskan dari kegiatan ekonomi. 

Proses Awal Pembentukan Identitas Indo-Hadhrami

De Jonge menampilkan tiga studi kasus sebagai representasi dari proses awal nasionalisasi pembentukan identitas komunitas Hadhrami di Indonesia yang dimuat dalam bab 3, 4, dan 5. Pertama, ia membahas tentang sepak terjang Abdul Rahman Baswedan, seorang tokoh nasionalis keturunan Hadhrami dan juga salah seorang pendiri dari PAI. Baswedan aktif dalam memperjuangkan emansipasi komunitas Hadhrami di Indonesia dan pembentukan integrasi identitas Indo-Hadhrami. Menurut de Jonge, Baswedan merupakan tokoh kunci di balik perjuangan komunitas Hadhrami dalam mendapatkan rekognisi sebagai warga Indonesia. 

Kedua, de Jonge mendiskusikan peran media massa Aliran Baroe yang dipimpin oleh Hoesin Bafagih (1900-1958) sebagai kepala editornya. De Jonge menyatakan bahwa Aliran Baroe merupakan sumber bagi siapa saja yang ingin memahami situasi komunitas Hadhrami sebelum perang dunia II di Hindia Belanda. Sebagai surat kabar yang dikelola oleh komunitas Hadhrami, alih alih mengangkat isu tentang Hadhramaut, Aliran Baroe lebih aktif mengangkat wacana integrasi Hadhrami dengan masyarakat lokal dan nasionalisasi Indo-Hadhrami. Bahkan, Aliran Baroe berani mengangkat isu sensitif, seperti kritik atas budaya Hadhrami tradisional. Selain itu, wacana Islam dan politik, nasionalisme, emansipasi Arab, dan kesetaraan gender merupakan topik yang sering dimunculkan dalam berbagai rubrik berita atau konten Aliran Baroe

Ketiga, de Jonge juga mengulas peran dan pengaruh Drama Fatimah dalam pembentukan identitas Hadhrami. Karya dari Hoesin Bafagih ini dipentaskan sebagai suatu pendekatan yang digunakan oleh kalangan pro Indo-Hadhrami untuk menunjukkan kebobrokan status sosial di internal Hadhrami sekaligus validasi atas gerakan Indo-Hadhrami bahwa mereka terbuka dengan tuntutan zaman modern dan menjunjung tinggi prinsip emansipasi perempuan, termasuk perempuan Arab.  

Melalui tiga studi kasus tersebut, de Jonge berusaha menjawab bagaimana proses usaha pencarian identitas komunitas Hadhrami di Indonesia. Tiga studi kasus ini juga menunjukkan prinsip pergerakan komunitas Indo-Hadhrami, yakni upaya beradaptasi dengan budaya baru. 

Kondisi Diaspora Hadhrami Pada Masa Akhir Kolonial dan Awal Kemerdekaan

Pada masa krisis perang dunia II dan Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan Jepang (1942-1945), komunitas Hadhrami dapat bergerak secara dinamis. Tokoh-tokoh utama Hadhrami, seperti Baswedan dan Al Gadri, berpihak dengan kalangan nasionalis. Namun, di sisi lain, terdapat sekelompok Hadhrami yang memilih kooperatif dengan Jepang. Meskipun langkah tersebut tidak terlalu berdampak signifikan terhadap status sosial Hadhrami di bawah kekuasaan Jepang, setidaknya mereka tidak terdiskriminasi oleh kebijakan penguasa kolonial ini. 

Sementara itu, pada era awal mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), secara umum komunitas Hadhrami memilih berjuang bersama kelompok nasionalis. Akan tetapi, harapan utama komunitas Hadhrami tidak mendapatkan hasil maksimal: pemerintah Indonesia membatalkan kebijakan penyetaraan orang Hadhrami dengan penduduk asli dan lebih memilih mengkategorikan mereka dengan istilah “orang Indonesia bukan asli” seperti halnya status warga Cina Indonesia dan Indo-Eropa. Hal ini mengecewakan ekspektasi komunitas Hadhrami, sampai akhirnya kebijakan tersebut dicabut pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001).

Tidak hanya bagi diaspora Hadhrami di Indonesia, awal kemerdekaan juga merupakan masa yang sulit bagi masyarakat Hadhramaut Yaman. Hal ini karena mereka bergantung pada pada kiriman uang (remittances) dari para diaspora Hadhrami, termasuk yang ada di Indonesia. Selain status sosial dan politik yang tidak stabil, krisis pasca perang dan percobaan pendudukan kembali oleh Belanda berimbas pada pembatasan hak ekonomi dan politik bagi para diaspora Hadhrami di Indonesia. De Jonge mengilustrasikan kebijakan kolonial yang membatasi pengiriman uang dari Indonesia ke Hadhramaut ini sebagai buktinya. Kebijakan ketat Belanda ini pada akhirnya memiliki dampak signifikan terhadap krisis ekonomi di Hadhramaut. 

Menurut de Jonge, kebijakan tersebut diterapkan karena Belanda lebih ingin menstabilkan kondisi ekonomi internal kolonial, sehingga aliran dana ke luar negeri dibatasi, termasuk ke Hadhramaut. Jelas kebijakan ini menguntungkan pemerintah kolonial. Dalam kasus ini, de Jonge mengkritik bahwa pemerintah kolonial Belanda lebih mementingkan kepentingan ekonomi daripada pertimbangan kemanusiaan.  

De Jonge selanjutnya menjelaskan bahwa proses transformasi identitas komunitas Hadhrami di Indonesia bergerak secara dinamis. Proses ini menghasilkan sebuah komunitas imigran yang di masa awal cenderung fanatik dan berorientasi dan sangat setia ke negeri asal mereka, namun bagi generasi akhir yang lahir dan tumbuh di Indonesia, sifat fanatik tersebut berangsur-angsur berkurang, meskipun tidak menjadi longgar. Generasi belakangan Hadrami terbawa arus indonesisasi, tetapi mereka juga tidak lupa dengan identitas budaya negeri asal mereka. 

Identitas menonjol yang tetap mereka pertahankan di antaranya ialah prinsip kesukuan (tribalisme). Prinsip tribalisme inilah yang menurut hemat penulis telah menciptakan kelas sosial dan kemudian menjadi faktor dari kegagalan integrasi sosial antara komunitas Hadhrami dengan masyarakat lokal Indonesia. De Jonge berpendapat bahwa faktor utama kegagalan ini di latar belakangi oleh fakta bahwa upaya integrasi sosial tersebut hanya diperjuangkan oleh beberapa kalangan elit saja dan tidak diikuti secara diskursif oleh seluruh elemen komunitas Hadhrami di Indonesia.

Akhirnya, karya de Jonge ini merupakan produk akademik yang sangat berharga sekaligus sumber primer dalam kajian diaspora Hadhrami di Indonesia. Dengan menggunakan sumber-sumber referensi kredibel berupa dokumentasi arsip kolonial, arsip surat kabar, dan wawancara tokoh Indo-Hadhrami, de Jonge memberikan jawaban atas proses pencarian identitas komunitas Hadhrami di Indonesia. Namun demikian, karya akademik ini lebih tepat diposisikan sebagai buku sejarah-sosial yang berisi informasi seputar sejarah pembentukan identitas diaspora Arab-Hadhrami di masa-masa awal integrasi. De Jonge belum banyak mengeksplorasi fenomena kontemporer pergerakan dan dinamika diaspora Arab-Hadhrami Indonesia yang sangat beragam, terlebih pasca keputusan persamaan status kewarganegaraan Indo-Hadhrami di era Presiden Gus Dur. Sebagai penutup, karya de Jonge ini cocok untuk dijadikan referensi bagi para sarjana yang fokus mengkaji isu diaspora Arab, kajian Timur Tengah, pergerakan transnasionalisme, begitu juga bagi kalangan masyarakat luas yang hendak mengetahui sejarah pembentukan identitas komunitas Arab-Hadhrami di Indonesia.  


Ahmad Fahrur Rozi

Afr2398@gmail.com. Peminat Kajian Timur Tengah dan Islam.

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *