Reruntuhan Feroz Shah Kotla, Jembatan Mimpi Menuju Dunia Inklusif
Taneja, Anand Vivek. 2017. Jinnealogy: Time, Islam, and Ecological Thought in the Medieval Ruins of Delhi (Jinealogi: Pemikiran tentang Waktu, Islam, dan Ekologi di Reruntuhan Delhi Abad Pertengahan). Penerbit Universitas Stanford.
Tentang Jinealogi dan Feroz Shah Kotla
Melalui permainan kata yang digunakan sebagai judul, Jinealogi, kita sudah bisa membayangkan kajian inovatif seperti apa yang ditawarkan Anand Vivek Taneja dalam buku ini. Proyek utama Taneja berupaya menelusuri hubungan antara kondisi prakolonial dan pascakolonial di India berkaitan dengan peradaban Muslim Mughal yang pernah berjaya selama berabad-abad. Namun, alih-alih menempatkan manusia dalam posisi sentral kajian, genealogi sejarah yang coba disusun Taneja justru memilih sosok gaib seperti jin sebagai narasi utama.
Orientasi teologis yang dinamakan jinealogi ini ia pelajari melalui Feroz Shah Kotla, sebuah benteng abad ke-14 yang dibangun Sultan Feroz Shah Tughlaq. Tempat tersebut, yang kini tak lebih daripada reruntuhan, merupakan situs penting bagi berbagai spiritual orang-orang dari berbagai golongan tanpa pandang bulu. Benteng ini juga berperan sebagai situs memori. Bukan sekadar memori yang mengingat histori faktual, melainkan sebagai bagian dari memori kolektif yang berupaya menolak pembedaan hitam-putih atas tradisi-tradisi religius. Situs memori yang mengakui terdapat aspek mistis dan puitis dari entitas agama.
Inklusivitas yang dibangun melalui Mitos Jin di Feroz Shah Kotla
Pada bagian satu, Taneja memperkenalkan kita pada sosok Shah Waliullah, teolog terkenal Delhi dari abad ke-18. Alkisah, pada suatu hari, saat sedang bersembahyang di masjid di Feroz Shah Kotla, dia melihat seekor ular menghampiri. Ia lantas membunuh ular itu dengan tongkat. Malam itu, saat sedang tidur, ia dibawa ke istana kerajaan jin di reruntuhan Feroz Shah Kotla, di mana raja jin menuduh ia melakukan pembunuhan atas putra sang raja yang menjelma sebagai ular. Untuk membela diri, Shah Waliullah mengutip sebuah hadis yang membenarkan pembunuhan makhluk berbahaya yang mendekati kita saat sedang sembahyang. Sang raja bertanya kepada majelis jin apakah pernyataan tersebut benar. Sosok jin tua yang dulu merupakan sahabat Nabi mengiyakan, dan mengaku mendengarnya dari mulut Nabi sendiri. Bagi Taneja, rujukan relasional pada jin, atau jinealogi memungkinkan Shah Waliullah untuk melampaui jarak ribuan tahun antara kehidupan ia dengan Nabi. Dia akhirnya tersohor sebagai Tabi’un (Muslim yang pernah bertemu langsung dengan sahabat Nabi), dan kelak dikenal sebagai pelopor dari semua tradisi revivalis Sunni modern di India.
Bagian dua mengalihkan perhatian kita pada sosok lain, kali ini seorang Hindu bernama Manohar Lal yang merupakan pengunjung rutin Feroz Shah Kotla. Dikisahkan bahwa ia beberapa kali dikunjungi jin dalam mimpi. Saat anggota keluarganya sakit, doa kepada jin inilah yang konon memberikan kesembuhan. Bahkan, suatu kali ia bermimpi mengunjungi Mekkah dan Madinah dan berziarah ke makam Nabi. Pertanyaan yang langsung terbit di benak adalah: bagaimana bisa seorang yang bukan muslim mengunjungi situs-situs yang secara eksklusif merupakan ruang bagi identitas muslim? Fenomena semacam itu tentu hanya bisa terjadi di alam gaib seperti mimpi, yang kemudian menuntun kita pada jinealogi. Di sini, mimpi Lal bisa dibaca sebagai kritik terhadap narasi dominan di India saat ini, di mana agama dilekatkan sebagai identitas tunggal seseorang, sehingga ketertarikan individual pada teologi dan kosmologi Islam secara otomatis dianggap berujung pada perpindahan iman. Bagi Taneja, mimpi Lal meminta kita menimbang ulang kemungkinan etis-teologis dalam Islam, terutama tentang inklusivitas agama untuk dipelajari berbagai kalangan.
Bagian tiga mendalami persoalan kosmopolitanisme agama. Di sini, dengan tokoh utama, Pehelwan, anggota kasta rendah Valmiki yang berprofesi sebagai tukang sapu dan pembersih toilet. Ia merupakan pengunjung senior dan dituakan. Pengunjung mengetahui kasta Pehelwan, tapi tidak sekalipun Taneja mendengar nama kasta tersebut disebutkan secara eksplisit dalam percakapan orang-orang. Bagi Taneja, kebungkaman ini mewakili sebuah etika yang menolak identifikasi komunal, sebuah penangguhan atas norma dan interaksi sosial dominan di India, yang lazim bertanya kasta dan agama satu sama lain dalam pertemuan perdana. Dengan kata lain, anonimitas dalam interaksi sehari-hari di Feroz Shah Kotla memungkinkan kemunculan kekerabatan yang melampaui batas-batas normatif keluarga dan komunitas. Di sini, pondasi dari keintiman orang-orang justru secara paradoks dibangun dari keterasingan mereka terhadap satu sama lain.
Bagian empat buku berpaling kepada isu gender. Taneja memberitahu kita bahwa jin-jin di Feroz Shah Kotla tersohor karena mengistimewakan perempuan. Menurut etika di sana, makanan yang dipersembahkan kepada mereka hanya boleh dibawa pulang oleh perempuan. Kalaupun laki-laki kedapatan melakukan, tujuannya yakni agar persembahan tersebut bisa diberikan kepada kaum perempuan di rumah. Menurut analisis Taneja, logika itu berhubungan dengan konsep paraya dhan (harta pihak lain) di India. Menurut konsep ini, anak perempuan adalah harta pihak lain karena mereka ditakdirkan untuk menikah, keluar dari rumah, dan menetap secara permanen di keluarga baru. Inilah alasan persembahan diberikan kepada perempuan. Jika Feroz Shah Kotla adalah ruang etis bagi pihak asing dan terasing (sebagaimana diwakili oleh Pehelwan dan anonimitas dirinya), maka pemberian persembahan dari tempat ini diharapkan dapat memuluskan keterasingan yang dialami anak perempuan saat kelak menjadi menantu di keluarga baru. Dalam hal ini, jinealogi justru memiliki kemungkinan untuk meneroka diskriminasi gender di India.
Bab lima memperkenalkan kita pada pemikiran seorang pangeran Mughal dari abad ke-17 bernama Dara Shukoh. Tersohor sebagai filsuf, karya berjudul Majma-ul-Bahrain (Pertemuan Dua Samudra) berargumen tentang harmoni antara pemikiran Islam dan Hindu. Baginya, membaca dan memahami kitab seperti Upanishad adalah prasyarat dalam memahami Quran karena keduanya adalah rangkaian dari wahyu ilahiah yang sama. Dia percaya Upanishad mengandung kesinambungan hermeneutik dengan Quran. Bagi sosok seperti Dara Shukoh, kalimat-kalimat Upanishad dapat menjadi medium untuk mempermudah kita memahami kebenaran dalam Quran yang cenderung bersifat alegoris dan puitis. Pendirian dirinya berakar pada gagasan tentang keramahan kosmopolitan keagamaan: bahwa pihak asing, jika disambut dan dipahami, pada akhirnya tidak akan tampak asing.
Bagian enam membahas isu ekologi. Di Feroz Shah Kotla, kita diberitahu bahwa tidak hanya jin yang dipuja, tetapi juga binatang dan benda mati seperti batu. Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Taneja mengingatkan kita bahwa secara teologis, tumbuhan dan binatang memiliki status penting dalam Quran, seperti halnya bintang-bintang dan planet-planet dalam literatur filosofis dan mistis dalam abad pertengahan. Konon, jin gemar malih rupa menjadi binatang, sehingga semua binatang yang ditemui di Feroz Shah Kotla secara potensial adalah jin. Dia lalu membandingkan dua catatan historis tentang bendungan bernama Satpula yang dibangun selama dinasti Tughlaq, dari Dargah Quli Khan (1739) dan Syed Ahmed Khan (1847). Dalam catatan pertama, tampak jelas nuansa dari pemikiran yang kini dikenal sebagai deep ecology, sementara dalam catatan kedua, terdapat pemisahan yang jelas antara praktik Islam (ranah sakral) dan lanskap alam (ranah material), di mana teologi berusaha disesuaikan dengan rasionalisme saintifik. Pergeseran paradigma ini memuncak pada awal abad ke-20, ketika pemerintah kolonial Inggris menggalakkan modernisasi. Satu contoh kasus adalah penyaluran air melalui pipa-pipa kepada penduduk Delhi, yang secara konkret melenyapkan konotasi sakral dari sumber air natural seperti mata air dan danau.
Bagian tujuh menyoroti paradoks dari Archaeological Survey of India yang mengemban tugas sebagai penjaga situs bersejarah seperti Feroz Shah Kotla. ASI punya kebijakan yang melarang pembangunan bangunan baru dalam radius 100 hingga 300 meter dari area atau situs yang dilindunginya. Atas nama preservasi, terminal-terminal bus yang pada mulanya berdekatan dengan situs suci juga dipindahkan ke lokasi yang lebih jauh. Meskipun berlandaskan itikad baik untuk melindungi situs arkeologis, pemerintah nyatanya memutus ikatan antara orang-orang dengan situs suci, mematikan ruang-ruang religius yang selama ini dihidupkan melalui laku spiritual seperti berdoa atau aksi konservasi skala lokal seperti mengecat ulang tembok makam yang warnanya sudah pudar. Dengan mengisolasi situs suci dari campur tangan ‘rakyat biasa’ dan menyerahkan pengelolaan kepada ‘pakar’, warisan kultural Islam seolah-olah dijaga agar tetap hidup, meski sebetulnya koma lantaran tidak dihidupkan oleh praktik aktual umat.
Refleksi
Jinealogi menawarkan pemahaman provokatif bahwa sepanjang riwayat umat manusia, terdapat kesinambungan tertentu antara kesejarahan manusia dan universalitas agama yang hanya bisa dijembatani secara imajinatif dan immaterial. Kolonialisme dan modernisasi berdampak pada amnesia sejarah, menghapus tradisi keagamaan yang sejatinya merupakan entitas kosmopolit, bahkan inklusif terhadap identitas religi lainnya. Selain itu, relasi kuasa kolonial melalui kebijakan tertentu menghegemoni kehidupan kita, misalnya melalui pembatasan yang diajukan pemerintah dalam melindungi situs Feroz Shah Kotla.
Melalui konsep jinealogi, kita belajar bahwa puing-puing seperti Feroz Shah Kotla berpotensi melawan patriarki serta kebencian antaretnis dan religi. Dengan jin sebagai medium sekaligus diskursus, situs ini mampu bertransformasi dari lanskap mimpi menuju utopia keseharian. Secara harfiah, tempat ini memungkinkan para pengunjung untuk memimpikan perjumpaan dengan hal-ihwal gaib yang melampaui batas-batas fisik dan material. Sebagai kiasan, situs Feroz Shah Kotla mengimajinasikan tatanan sebuah dunia ideal yang saling menghormati satu sama lain, baik antaretnis, agama, hingga gender.