Malam-Malam Janggal dalam Filsafat dan Budaya Populer
Bronfen, Elisabeth. 2013. Night Passages: Philosophy, Literature, and Film (Melintas Gelap: Filsafat, Sastra, dan Film). Penerbit Universitas Columbia.
Malam menempati ruang spesial dalam karya sastra dan seni. Kerap, malam dijadikan analogi untuk mengekspresikan kondisi getir, sebagai latar bagi ratapan eksistensialis para pujangga dalam puisi-puisi klasik Eropa, raungan kematian dalam lukisan ekspresionisme, rancu Salvador Dali-Luis Bunuel, menampung rintihan korban pembunuh berantai, dan melingkupi tawa kuntilanak dalam berbagai film horor Indonesia. Malam adalah singgasana bagi ketiadaan tatanan dan imoralitas; alegori bagi pesimisme, disorientasi, dan depresi.
Namun, faktor apa yang membuat malam begitu lekat dengan konsep-konsep di atas? Ini adalah salah satu gagasan utama yang ingin dikaji profesor feminisme dan seni dari Zurich University, Elisabeth Bronfen melalui Night Passages: Philosophy, Literature, and Film (Melintas Gelap: Filsafat, Sastra, dan Film). Dengan menganalisis berbagai teori filsafat dan sastra seperti psikoanalisis dan mythopoiesis (pembentukan mitos), Bronfen melakukan pengamatan mendalam terhadap fenomena sosial mengenai malam dalam berbagai karya sastra dan seni di dunia. Bagi Bronfen, karya sastra dan seni tak lain mimesis atau tiruan dari realitas, sehingga kajian dalam buku ini tidak hanya berpaku pada fiksi, tetapi juga kehidupan sehari-hari manusia.
Bagi saya yang sering melakukan nocturnal flaneur atau jalan malam tanpa arah di kota-kota yang saya sambangi seperti Surabaya, Yogyakarta, dan Malang, buku ini mencelikkan mata untuk menemukan lapisan-lapisan baru kehidupan malam melalui cakrawala lebih luas. Misalnya, saya meyakini bahwa terdapat berbagai dimensi sosial yang bisa dipelajari dari kehidupan para penghuni malam seperti tukang parkir, pekerja lembur, pekerja seks, pekerja diskotek, pedagang angkringan, pengais sampah, dan banyak lainnya. Buku ini menyibakkan konsepsi baru tentang simbol-simbol yang lekat dengan malam dan membabat segala stereotip negatif tentangnya.
Gelap sebagai pencerahan
Buku ini dibuka dengan bab pertama berjudul “Cosmogonies of the Night” yang membahas tentang kelahiran narasi tentang malam. Melalui kajian mythopoiesis terhadap Theogony karya Hesiod, Bronfen menawarkan proposisi tentang dua emosi terkuat yang mengendalikan manusia: kecemasan dan rasa takut. Bagi Hans Blumenberg, ketidaktahuan merupakan penyulut terbesar rasa takut seseorang. Ia menyatakan, bagi masyarakat primordial, malam mengandung ketidaktahuan yang dianggap ancaman atas eksistensi manusia. Misalnya, ancaman dari predator buas yang menyelimuti insting bertahan hidup masyarakat di masa lalu, lantaran hewan-hewan biasanya keluar di malam hari saat gelap. Namun ternyata, ketakutan terhadap kemunculan predator buas tidak pernah begitu saja lenyap. Bahkan, ketika kehidupan modern telah menawarkan pencahayaan artifisial yang menerangi malam hari, asosiasi malam sebagai wujud ketakutan masih menjadi perspektif yang menubuh di keseharian kita. Pertanyaannya, mengapa pandangan tersebut tidak berubah?
Meski sering dianggap ancaman, malam sebetulnya tak melulu menyulut rasa takut. Misalnya, terdapat berbagai gagasan tentang malam yang memantik keberanian dalam revolusi-revolusi besar, baik dalam karya seni maupun keseharian kita. Voltaire misalnya, melalui Historical Praise of Reason (Pujian Historis pada Nalar), menyatakan bahwa di tengah masyarakat dengan berbagai fakta sosial dan sejarah banyak disembunyikan oleh penguasa, penerimaan mereka akan ketidaktahuan justru yang akan membawa pengetahuan. Dengan berbagai alegori dan alusi–seperti digaungkan Plato dalam Alegori Gua–gagasan pencerahan (enlightenment) dalam filsafat digambarkan sebagai perjalanan dari gelap menuju terang. Sebagai wadah mengentaskan diri dari gelap, situasi malam dianggap fundamental untuk membicarakan berbagai perlawanan atas kesewenang-wenangan penguasa: misalnya dialog revolusioner di cafe Les Deux Magots, gerilya-gerilya Fidel Castro, atau bahkan Peristiwa Rengasdengklok di Indonesia– berbagai peristiwa sejarah yang dilangsungkan sepanjang malam. Dalam hal ini, saya berpendapat bagaimana malam berperan sebagai kanal yang mewadahi terwujudnya berbagai peristiwa sosial politik, bahkan membawa masyarakat pada pencerahan baru.
Tentang Gelap dan Feminitas
Dalam bab selanjutnya, “Gothic Night”, Bronfen mengangkat gagasan mengenai malam yang kerap diasosiasikan dengan feminitas. Situasi malam dalam berbagai kebudayaan populer dianalisis sebagai entitas irasional, pembalas dendam, bersifat klenik atau romantis, dan kerap menjadi latar atas berbagai wacana seksual. Dalam khasanah seni populer yang dibawakan seniman maskulin tentang subjek feminin misalnya, perempuan kerap direpresentasikan sebagai objek liyan yang muncul di malam hari. Misalnya, bagaimana film-film horor di Indonesia menampilkan sosok hantu perempuan sebagai korban kekerasan oleh laki-laki yang hanya bisa membalas dendam ketika sudah tak memiliki raga, dan muncul sebagai hantu di malam hari.
Menurut Bronfen, sebagai penawar atas cara pandang patriarkis demikian, muncul beberapa antitesis tentang kekuatan perempuan yang muncul di malam hari dalam kebudayaan populer. Salah satunya melalui gagasan femme fatale, atau perempuan mematikan dalam film noir, di mana mereka digambarkan sebagai pemburu keadilan di malam hari, menghabisi para penjahat laki-laki penguasa yang biasanya tak bisa tersentuh hukum pada siang hari. Dalam konteks berbeda, film horor Indonesia tentang perempuan yang mencari keadilan dalam wujud hantu juga mengikuti tren ini, meski sebetulnya film-film tersebut kerap tidak membawa perspektif feminis.
Psikoanalisis tentang Malam
Bronfen membahas mengenai aspek psikis para subjek yang muncul pada malam hari di bab “Night Talks”. Pembahasan psikoanalisis terhadap pembentukan alegori malam, tambah Bronfen, tidak bisa dilepaskan dari ide mengenai represi mengenai diurnalitas atau peristiwa di siang bolong Sigmund Freud. Cerita-cerita anak sarat dengan kondisi ini. Dengan penuturan lincah, Bronfen menyatakan bahwa Peter Pan yang diterbitkan lima tahun setelah “Interpretation of Dreams” merupakan gambaran mengenai represi terhadap ekspresi seorang anak ketika hari masih terang. Sebaliknya, malam, menurut Bronfen, menjadi suprastruktur atau wadah penampung mimpi mereka. Di dalamnya terdapat sebuah ruang di mana bagian tidak sadar yang direpresi tuntutan sosial pada hari siang terang, pada akhirnya bisa diekspresikan tanpa batas.
Fenomena yang terjadi di malam hari, baik dalam keseharian maupun sastra dan seni, dianggap sebagai refleksi dari realita, dan menurut Bronfen merupakan wahana untuk melepaskan berbagai aspek yang merepresi kehidupan orang dewasa. Misalnya di tengah peristiwa sehari-hari, seperti klitih, kerap terjadi di malam hari. Seturut pengalaman saya sebagai seorang korban serangan klitih, saya pun berkali-kali berupaya menalar pikiran pelaku ketika menyabetkan celurit ke bahu. Apakah perilaku tersebut sejatinya merupakan katarsis atas keseharian mereka yang direpresi? Mungkinkah klitih tidak bisa dilepaskan dari luapan emosional seseorang, tuntutan ekonomi, opresi otoritas terhadap individu atau kelompok sosial tertentu, dan berbagai tekanan lain yang pelaku alami di keseharian yang menghalangi kebebasan berekspresi mereka?
Selain itu, memiliki agensi sosial di siang hari merupakan privilese yang tak dimiliki kaum tertindas. Hingga akhirnya, malam pun mewujud sebagai ruang liyan di mana orang-orang merasa bebas mengekspresikan diri mereka. Dalam hal ini, malam menjelma sebuah ruang bebas berekspresi bagi mereka yang terpinggirkan dan terbungkam, terutama tatkala mereka yang berkuasa terus merepresi segala aspek kehidupan. Salah satu contohnya yakni aktivisme LGBT seperti Stonewall Riots, ataupun drag show yang dihelat pada malam hari. Di sana ada perlawanan terhadap penguasa siang yang membatasi ruang ekspresi pelaku malam melalui aksi-aksi yang dianggap provokatif.
Menurut Bronfen, ekspresi demikian juga bisa kita lihat dalam fenomena doppelganger atau gandamuka yang marak dalam karya sastra hingga kebudayaan pop. Seorang tokoh panutan di siang hari bisa jadi berubah total menjadi amoral pada malam hari. Salah satu contohnya, misal kasus Dr. Jekyll yang melepaskan hasrat terpendam melalui alter ego sebagai Mr. Hyde pada malam hari, seperti dikisahkan dalam Strange Case of Dr. Jekyll and Mr. Hyde (1886) karangan Robert Louis Stevenson yang mengangkat tema kepribadian ganda. Kompleksitas tuntutan sosial dalam masyarakat Inggris era Victoria memaksa Dr. Jekyll untuk merepresi hasrat yang terpendam dalam dirinya. Kala matahari bersemayam di ufuk, ia adalah pria dermawan yang ramah pada semua orang. Setelah surya tenggelam dan namanya berubah menjadi Mr. Hyde, hasrat ia untuk membunuh terlepas bebas.
Malam sebagai Entitas yang ‘Aneh’
Menolak anggapan tentang malam sebagai amoral, Bronfen melakukan kajian filsafat etika pada bab terakhir buku ini, “The Ethics of Awakening”. Kebebasan berekspresi di malam hari dalam konteks buku ini merupakan sekumpulan gagasan tentang transgresi atau penyimpangan atas norma-norma sosial masyarakat. Dalam hal ini, Bronfen menuliskan istilah tersendiri, yakni unheimlich atau secara harfiah berarti aneh. Di tengah masyarakat Indonesia, mungkin pengistilahan yang serupa adalah penyimpangan. Unheimlich, menurut Bronfen, merupakan sarana menuju perubahan. Malam, dalam berbagai lapisan gagasan dan praktiknya, baik pada budaya populer ataupun keseharian, menjadi ‘ruang’ yang menampung berbagai kejanggalan tersebut. Meminjam pengistilahan oleh Michel Foucault (1984), malam dianggap menjadi lahan subur bagi tumbuhnya heterotopia atau ruang lain yang berisi sekumpulan ritual atau aktivitas aneh yang sebenarnya merupakan cerminan masyarakat sebagai unit sosial. Namun demikian, dalam pandangan normatif, heterotopia seringkali dianggap unheimlich; suatu hal yang menyimpang, janggal, dan sebuah transgresi sosial.
Padahal, malam bisa jadi merupakan suaka. Segala keabsurdan unheimlich mengenai malam adalah perlindungan bagi mereka yang terinjak-injak oleh otoritas kuasa—entah itu patriarki, subjek institusi negara, dan sebagainya. Selama ini, malam menjadi hantu yang menggentayangi status quo kehidupan sehari-hari kita yang penuh penyalahgunaan kuasa. Ketika malam bertandang, dan normativitas sosial ikut terlelap, kita bisa melihat bagaimana perjuangan atas identitas yang direpresi, pelan-pelan menyeruak dalam berbagai wujud, seperti digambarkan oleh Bronfen. Maka, malam seharusnya mulai dilihat sebagai ruang di mana revolusi bertumbuh.
Namun, apakah mungkin?
Jika berkaca dari ekspresi seni, sastra, dan literatur tentang malam yang terus berevolusi sepanjang zaman, saya tetap meyakini, selalu akan ada perubahan sosial, budaya, bahkan politik yang dibawa oleh hembusan angin malam.