Potongan-potongan Kisah Kereta Api di Nusantara: Dari Pencangkulan Pertama hingga Berpisah Jalan
Pieterse, Evelien. 2017. Sporen van Smaragd per Trein door Nederlands-Indie 1867-1949 (Jejak Zamrud, Naik Kereta di Hindia Belanda 1867-1949). Penerbit WBooks.
Saat ini, nyaris seluruh perusahaan kereta api yang ada di Indonesia dimiliki sebagian atau seluruhnya oleh pemerintah. Tapi uniknya, pelopor pembangunan jalur kereta api angkutan komersial pertama di negeri ini justru dari pihak swasta. Dinamika pihak swastalah yang kemudian menarik minat pemerintah untuk ikut serta dalam membangun jaringan kereta api untuk transportasi yang bersifat komersial. Misalnya, Gerard de Graaf dalam bukunya De Indische Mijnspoorwegen (2020)–atau, dalam Bahasa Indonesianya, Jalur-jalur Kereta Pertambangan Hindia Belanda–menuliskan, pemerintah sudah menggunakan kereta api untuk angkutan pertambangan di tambang Oranje Nassau di Pengaron, pulau Borneo bagian tenggara pada 1849. Tetapi, layanan kereta ini dikhususkan untuk pertambangan. Adalah Nederlandsch Indische Spoorweg-Matschappij (NISM), satu perusahaan kereta api swasta, yang mengawali sejarah panjang perkeretaapian di Nusantara yang waktu itu dalam penguasaan pemerintah Hindia Belanda. Berkat inisiatifnya, transportasi umum berbasis rel hadir di Nusantara.
Dalam buku ini disebutkan, perjuangan menghadirkan kereta api di wilayah Hindia Belanda ini tidaklah mudah. Para perintisnya harus berjibaku dengan medan yang keras, kesulitan keuangan, pertentangan politik, hingga saling lempar kritik keras antar petingginya.
Di buku lima babnya berjudul Sporen van Smaragd per Trein door Nederlands-Indie 1867-1949 (Jejak Zamrud, Naik Kereta di Hindia Belanda 1867-1949), Evelien Pieterse menghadirkan narasi singkat tapi padat tentang proses hadirnya kereta api di Pulau Jawa yang kemudian mengawali hadirnya kereta api di banyak wilayah lain. Dilengkapi berbagai foto langka, suasana perintisan dan perkembangan kereta api di Hindia Belanda disajikan. Yang menarik, pada bagian pembuka ia menyatakan bahwa narasi yang dituliskannya dari koleksi Het Spoorwegmuseum di Belanda ini berasal dari barang dan foto dari orang Belanda, dan itu baru narasi separuhnya saja. Menurutnya, hal itu hanya mencerminkan pandangan, keyakinan dan pertimbangan masyarakat Belanda yang tidak atau hampir tidak mempertanyakan relasi kekuasaan kolonial pada masa itu. Padahal, Belanda dan kelompok orang Eropa lainnya di wilayah jajahan hanya merupakan kelompok elit kecil. Sejarah tidak akan lengkap tanpa kisah dari kaum pribumi, yang juga terlibat dalam proses hadirnya kereta api di Hindia Belanda.
Melalui foto-foto di buku yang hadir pada peringatan 150 tahun kereta api di Hindia Belanda ini, penulis menyoroti peran kedua belah pihak–Belanda dan pribumi–dalam proses pembangunan jalur kereta api, terutama jalur pertama yang penting itu, dan bagaimana kereta api dikembangkan selanjutnya. Penulis nampaknya berusaha agar narasi sejarah yang dihadirkan tidak terlalu berat sebelah, walaupun mencari rujukan dari pihak pribumi bukanlah pekerjaan yang mudah.
Salah satu bagian menarik dari buku ini adalah momen dimulainya pembangunan jalur rel pertama antara Semarang ke Tanggung di Grobogan. Jalur sepanjang 25 kilometer inilah jalur rel komersial pertama di Jawa. Setelah melalui dinamika di Belanda dan tanah jajahannya, NISM berhasil mendapatkan izin untuk membangun jalur.
Hari itu pada Jumat 7 Juni 1864, sejarah baru digoreskan. Agensi foto yang disewa NISM, Woodbury and Page dari Inggris yang berkantor di Batavia, melakukan tugasnya dengan baik dalam mengabadikan momen hari-hari penting pembangunan jalur kereta itu. Petinggi NISM J.P. Bordes memang menginginkan hasil foto yang terbaik untuk meyakinkan para investor. Bahkan, foto pertama diambil langsung oleh supervisornya yang bernama Carl Lang, seorang pria asal Jerman. Digambarkan suasana ramai ketika Gubernur Jenderal Sloet van den Beele menghujamkan cangkulnya mengawali proyek di titik awal di desa Kemijen itu. Gambaran suasana ini juga disampaikan oleh buku Riwajat Semarang (1931) karya Liem Thian Joe. Penulis mendeskripsikan musik militer dan gamelan yang mengiringi upacara pencangkulan pertama kali oleh sang Gubernur Jenderal.
Upaya buku ini untuk memberikan perspektif baru terlihat ketika menyebutkan Bordes sebagai pelopor pengguna buruh bebas dan bukannya tenaga kerja paksa. Hal itu bukan perkara mudah, karena Bordes harus mencari pekerja yang belum berpengalaman membangun jalur rel. Pada akhirnya, ia berhasil mendapatkan pekerja yang ia inginkan dengan menawarkan upah yang baik dan perlakuan adil, menerima keluhan mereka, dan memberikan libur hari raya keagamaan. Sisi negatifnya, kebanyakan para kuli itu tidak ingin terikat kontrak dan hanya bersedia dibayar harian. Hal ini membuat para mandor harus bekerja keras untuk mengawasi dan melakukan penilaian kinerja. Tantangan meningkat tatkala di suatu bagian proyek, mereka memerlukan sekitar 9000 pekerja.
Jalur awal itu memiliki berbagai tantangan berat. Cuaca tropis dengan curah hujan tinggi cukup menghambat pembangunan yang berlangsung hingga tiga tahun lamanya. Jalur yang hanya 25 kilometer itu bahkan memerlukan lebih dari 100 jembatan, bendungan, dan perlintasan yang segera berujung pada masalah keuangan serius. Persoalan duit ini diperparah ketika terjadi likuidasi perusahaan pembiayaan dan kegagalan upaya menerbitkan obligasi. Sisa jalur menuju ke Solo dan Yogyakarta sepanjang 200 kilometer mau tak mau akhirnya membutuhkan bantuan pemerintah.
Setelah tahun-tahun yang berat, akhirnya pada 10 Agustus 1867, jalur dengan lebar rel 1435 milimeter seperti di Eropa itu secara resmi dibuka. Woodbury and Page kembali dipercaya mengabadikan momen bersejarah itu. Untuk pertama kalinya, ada kereta api komersial yang melayani di Pulau Jawa.
Pada 1875, pemerintah akhirnya turun tangan untuk membangun jalur kereta api melalui pendirian perusahaan kereta api milik negara, Staatsspoorwegen (SS). Jalur yang pertama dibangun adalah jalur Surabaya-Pasuruan yang diresmikan pada 16 Mei 1878 dengan menggunakan lebar rel 1067 milimeter.
Sumber daya yang dimiliki pemerintah melalui SS membuat banyak terobosan dilakukan. Misalnya pembangunan terowongan sepanjang 942 meter di Sasaksaat, Jawa Barat, lokomotif uap yang mampu melaju hingga 120km/jam, lokomotif besar untuk jalur pegunungan, hingga layanan kereta api ekspres untuk bersaing dengan angkutan jalan raya. Masifnya operasional kereta api bahkan membuat adanya satu varian lokomotif yang hanya beroperasi Hindia Belanda yakni lokomotif uap seri F dengan enam roda penggerak. Keunikan ini membuat loko ini dijuluki De Javanics, walau ada pula empat unit yang dioperasikan di Sumatra Barat.
Sementara itu, setelah berdarah-darah dalam operasional perdananya, NISM akhirnya mulai bisa menikmati hasilnya. Kerjasama dengan banyak pabrik gula membuat keuangan NISM membaik, dan mulai melebarkan jaringannya. NISM meluaskan layanan hingga ke Surabaya, bahkan sempat merambah Batavia-Bogor sebelum diakuisisi oleh SS pada 1913, membangun jalur rel bergerigi di antara Jambu dan Bedono, bahkan membeli lokomotif uap dengan teknologi tercanggih saat itu.
Keberhasilan NISM membuat pihak swasta lain tertarik. Di berbagai daerah, kemudian bermunculan perusahaan kereta api maupun trem. Dalam buku ini, misalnya, Pieterse menampilkan kiprah pembangunan jalur rel di Madura, Semarang-Cirebon, dan juga dimulainya pembangunan rel komersial di Sumatra. Pada awal abad ke-20, pengembangan terus terjadi di kereta api di Belanda maupun Hindia Timur. Lokomotif menjadi semakin besar dan cepat, kereta penumpang pun semakin nyaman. Pada tahun 1920-an pun bahkan mulai ada diskusi tentang teknologi kereta listrik. Akhirnya, pada 1925 layanan kereta listrik dari Batavia ke Pelabuhan Tanjung Priok dimulai. Sayangnya, inovasi ini dihambat dengan krisis ekonomi dunia pada 1929 yang mengguncang begitu banyak sektor.
Pieterse menyebut, masa kejayaan kereta api di Hindia Belanda bisa dikatakan terjadi pada 1920-1929. Penumpang kereta api terus naik, sehingga membuat pekerja di perusahaan kereta api juga terus bertambah. Tenaga kerja pribumi pun juga terus membesar jumlahnya.
Politik etis yang mulai diterapkan pada 1900-an membuat lebih banyaknya kalangan pribumi yang mengenyam pendidikan, terjadinya reformasi pertanian, dan bertambahnya berpartisipasi masyarakat dalam pemerintahan dalam batas tertentu. Dampaknya di bidang perkeretaapian terasa pada tahun 1920-an dengan banyaknya penduduk lokal Jawa dan Sumatra yang menjadi pegawai negeri, kepala stasiun, juru tulis, dan manajer.
Namun, dampak tidak langsung pendidikan yang tidak diharapkan pemerintah kolonial adalah adanya persentuhan dengan ideologi sosialis dan komunis–yang rupanya juga merambah ke bidang perkeretaapian. Misalnya, pada 1920, terjadi pemogokan buruh di Deli. Kemudian, pada 1923 terjadi pemogokan buruh kereta api SS, SJS, dan SJS di Jawa. Krisis ekonomi yang kemudian melanda meruntuhkan banyak hal besar yang sudah dicapai. Perusahaan kereta api terpaksa melakukan pemotongan besar-besaran, pengurangan pekerja, juga pengurangan gaji. Ketika situasi ekonomi agak membaik di 1936, cukup banyak perusahaan kereta api yang mampu bertahan.
Keluar dari mulut singa, masuk ke mulut buaya: demikian pepatah yang bisa menggambarkan suasana perkeretaapian di Nusantara berikutnya. Takluknya tentara Belanda oleh penyerbunya, Jepang, membuat kondisi kereta api berubah drastis. Tenaga ahli Belanda banyak yang dipaksa menghuni rumah interniran, beberapa jalur dicabut atau dikecilkan. Suasana kembali berguncang ketika Jepang kalah perang dan kaum pejuang negara yang baru lahir–Republik Indonesia–mengambil alih perkeretaapian dari tangan Jepang pada 28 September 1945. Namun demikian, Belanda juga tidak tinggal diam. Upaya mengambil kembali dilakukan melalui tindakan militer yang oleh Indonesia disebut sebagai Agresi Militer I dan II. Puncak perpisahan orang Belanda dengan kereta api di tanah yang dijajahnya bertahun-tahun terjadi pada 1949, ketika terjadi penyerahan kedaulatan. Banyak tenaga ahli yang “dipulangkan” ke Belanda walau mereka lahir dan besar di Hindia Belanda. Perkeretaapian pun kemudian dikelola oleh Indonesia, hingga hari ini.
Dalam buku ini, masih banyak cerita-cerita sederhana yang membuka gambaran suasana saat itu: mulai dari kisah masinis pribumi yang bisa mendapatkan bonus bila merawat lokomotifnya dengan baik dan efisien, kisah perjalanan wanita Belanda menempuh perjalanan dengan kereta berkeliling Hindia Belanda, lagu yang ditulis untuk mengkritik suasana kereta api waktu itu, rombongan “ekspatriat” dari Hindia Belanda yang diangkut kereta ketika tiba di negeri Belanda, hingga kisah mantan karyawan SS yang sempat sulit mencari pekerjaan setelah “dipulangkan” ke Belanda. Melalui buku ini, Pieterse berhasil menampilkan sejarah perjalanan kereta api melalui narasi sederhana, tapi cukup mengisi banyak ceruk kosong dalam narasi sejarah perjalanan kereta api di Hindia Belanda.