Neurodiversitas dan Kritik atas Konsep Normal di Masyarakat Kita
Chapman, Robert. 2023. Empire of Normality: Neurodiversity and Capitalism. Penerbit Pluto.
Konsep “normal” sering kali dianggap sebagai sesuatu yang sudah baku dan tak terbantahkan dalam masyarakat. Normalitas diartikan sebagai keadaan yang sesuai dengan standar atau aturan umum yang diterima oleh mayoritas. Namun, apakah yang sebenarnya menentukan bahwa sesuatu itu disebut “normal”? Apakah “normal” merupakan sesuatu yang alamiah, ataukah ini merupakan konstruksi sosial yang dibentuk oleh kekuatan-kekuatan tertentu dalam masyarakat?
Ketika kita mempertimbangkan bagaimana norma-norma ini dibentuk dan diterapkan, kita mulai melihat bahwa apa yang dianggap “normal” sering kali dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi, politik, dan budaya yang dominan. Akibatnya, apa yang kita terima sebagai “normal” sering kali mencerminkan kepentingan kelompok-kelompok yang berkuasa, baik secara ekonomi maupun sosial. Norma-norma ini tidak hanya menentukan bagaimana kita seharusnya berpikir dan bertindak, tetapi juga siapa yang berhak dianggap sebagai “berfungsi dengan baik” dan siapa yang tidak. Ini kemudian menciptakan garis pembatas yang tajam antara yang dianggap “normal” dan “abnormal,” yang mana hal ini seringkali mendiskriminasi mereka yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Dalam konteks ini, normalitas menjadi alat kontrol sosial yang memperkuat hierarki dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Dengan memahami bahwa normalitas bukanlah suatu kebenaran mutlak melainkan hasil dari konstruksi sosial yang kompleks, kita dapat mulai melihat bagaimana konsep ini digunakan untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada. Sebagai contoh, pertimbangkan bagaimana masyarakat kita menganggap cara tertentu dalam belajar dan berperilaku sebagai “normal.” Anak-anak yang dapat duduk diam, memperhatikan pelajaran di kelas, dan mengikuti instruksi tanpa banyak kesulitan sering dianggap sebagai standar dalam sistem pendidikan. Namun, anak-anak yang mungkin memiliki cara belajar yang berbeda—mungkin mereka lebih suka bergerak, berbicara keras, atau membutuhkan waktu lebih lama untuk memproses informasi—sering kali dianggap sebagai “bermasalah” atau “tidak normal.” Sistem pendidikan kemudian cenderung mencoba menyesuaikan mereka agar sesuai dengan norma ini, seringkali melalui label seperti “gangguan perhatian” atau “autisme.” Ini menunjukkan bagaimana norma dalam mendefinisikan “normal” sebenarnya bisa menjadi alat untuk menyesuaikan individu dengan standar yang ditetapkan oleh sistem, daripada mengakui dan menghargai keberagaman alami dalam cara orang berpikir dan belajar. Fenomena ini membuka diskusi lebih lanjut tentang bagaimana normalitas diciptakan dan dipertahankan oleh kekuatan-kekuatan yang dominan dalam masyarakat, sebuah tema yang dijelajahi secara mendalam dalam buku Empire of Normality: Neurodiversity and Capitalism karya Robert Chapman.
Chapman merupakan seorang akademisi dan penulis yang dikenal atas kontribusinya dalam bidang neurodiversitas dan kritik sosial terhadap kapitalisme. Dengan latar belakang pribadi yang melibatkan pengalaman neurodivergensi dan perjuangan melawan stigma sosial, Chapman menggabungkan perspektif ini dengan analisis Marxian dalam karyanya. Melalui bukunya tersebut, Chapman mengeksplorasi bagaimana konsep normalitas telah dibentuk dan dimanipulasi oleh kekuatan kapitalisme guna mendominasi dan mengontrol individu, terutama mereka yang neurodivergen.
Secara umum, buku Empire of Normality dapat dibagi menjadi empat bagian utama yang masing-masing mencakup tema sentral yang berbeda namun saling terhubung. Setiap bagian menggambarkan evolusi konsep normalitas dalam masyarakat dan bagaimana konsep ini dipengaruhi, diperkuat, dikritik, dan akhirnya ditantang dalam konteks kapitalisme dan neurodiversitas.
Bagian pertama berfokus pada pembentukan konsep normalitas—bagaimana norma-norma neuronormatif muncul dan berkembang seiring dengan transformasi sosial dan ekonomi yang dibawa oleh kapitalisme. Bagian ini mencakup pembahasan dari Bab 1 hingga Bab 3 (Rise of the Machines, The Invention of Normality, Galton’s Paradigm) yang mengulas asal-usul konsep normalitas. Chapman menjelaskan bagaimana pandangan tentang tubuh dan kesehatan berubah secara drastis dengan munculnya kapitalisme industri. Di sini, tubuh manusia mulai diperlakukan sebagai mesin yang harus berfungsi sesuai dengan standar tertentu, dan normalitas diciptakan sebagai alat untuk mengatur dan mengontrol populasi.
Dalam bagian ini, Chapman menyoroti bagaimana kapitalisme industri tidak hanya mengubah cara kita bekerja dan hidup, tetapi juga cara kita memahami diri kita sendiri sebagai manusia. Konsep normalitas yang muncul pada era ini bukanlah refleksi dari realitas biologis, melainkan konstruksi sosial yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan produktivitas kapitalis. Tubuh manusia, yang sebelumnya dilihat melalui lensa harmoni dan keseimbangan, mulai dipandang sebagai alat mekanis yang harus dioptimalkan untuk efisiensi. Ini menciptakan standar baru tentang apa yang dianggap “normal”—sebuah standar yang mengutamakan produktivitas dan kepatuhan, dan yang secara sistematis menyingkirkan mereka yang tidak dapat atau tidak mau menyesuaikan diri. Peran Francis Galton dalam mengembangkan konsep hirarki kognitif dan eugenika sangat signifikan di sini, karena ide-idenya membantu membentuk dasar ilmiah untuk legitimasi norma-norma ini, yang pada gilirannya memperkuat kontrol sosial dan penindasan terhadap individu-individu yang dianggap “abnormal.”
Hirarki kognitif mengacu pada gagasan bahwa ada tingkatan atau peringkat dalam kapasitas kognitif manusia, dengan beberapa individu dianggap memiliki kemampuan mental yang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Ini memberikan dasar untuk diskriminasi berdasarkan “kecerdasan” atau kemampuan mental yang dianggap lebih rendah. Eugenika, di sisi lain, adalah praktik yang bertujuan untuk “meningkatkan” kualitas genetik populasi manusia melalui seleksi buatan, yang sering kali melibatkan upaya untuk mencegah mereka yang dianggap “tidak layak” dari memiliki keturunan. Galton menggunakan konsep ini untuk membenarkan kontrol dan manipulasi populasi berdasarkan standar neuronormatif, dengan implikasi bahwa hanya mereka yang sesuai dengan norma tersebutlah yang berhak untuk dianggap “normal.” Ide-ide ini tidak hanya memengaruhi kebijakan sosial dan ilmiah pada masanya tetapi juga meninggalkan warisan yang berbahaya, yang terus memengaruhi cara kita memahami dan memperlakukan neurodivergensi hingga hari ini.
Bagian kedua menggambarkan pembakuan dan penguatan norma-norma ini dalam masyarakat industri dan pasca-industri, serta dampaknya terhadap individu dan kelompok yang tidak sesuai dengan definisi normalitas tersebut. Bagian ini meliputi pembahasan dari Bab 4 hingga Bab 7 (The Eugenics Movement, The Myths of Anti-Psychiatry, Fordist Normalisation, The Return of Galtonian Psychiatry) yang menunjukkan bagaimana norma-norma ini diperkuat selama era industri dan pasca-industri. Chapman mengeksplorasi bagaimana gerakan eugenika menggunakan konsep normalitas untuk membenarkan diskriminasi terhadap mereka yang dianggap “tidak normal,” dan bagaimana era Fordisme – dengan penekanan pada efisiensi, produktivitas massal, dan standar kerja yang seragam—lebih memperketat definisi tentang apa yang dianggap “normal” dalam konteks pekerjaan dan masyarakat. Standar produktivitas yang tinggi ini memaksakan norma yang sangat sempit tentang bagaimana individu seharusnya berfungsi, baik secara fisik maupun mental. Mereka yang tidak mampu atau tidak mau menyesuaikan diri dengan standar ini sering kali dianggap “abnormal” atau tidak layak, dan karenanya, mereka mengalami marginalisasi lebih lanjut.
Ia juga mengkritik gerakan anti-psikiatri, yang meskipun menolak paradigma medis tradisional, sering kali gagal menantang kapitalisme itu sendiri dan norma neuronormatif yang mendasarinya. Chapman menunjukkan bagaimana psikiatri menggunakan metode dan ideologi yang mirip dengan Galton untuk mengkategorikan dan mengatur individu berdasarkan standar neuronormatif. Ini memperkuat kontrol sosial dengan memberikan legitimasi ilmiah kepada upaya untuk menormalkan perilaku dan fungsi neurologis yang berbeda. Bab ini menggambarkan bagaimana konsep-konsep yang tampaknya usang dari eugenika dan hirarki kognitif tetap relevan dan berbahaya dalam konteks medis dan sosial modern, sehingga terus mendikte siapa yang dianggap “normal” dan siapa yang tidak.
Bagian ketiga mengalihkan perhatian pada kritik terhadap normalitas dan kapitalisme, terutama melalui munculnya gerakan neurodiversitas yang menentang dominasi paradigma patologis. Bagian ketiga dari buku ini, yang mencakup Bab 8 hingga Bab 10 (Post-Fordism as a Mass Disabling Event, The Neurodiversity Movement, Cognitive Contradictions), membahas dampak kapitalisme modern terhadap neurodiversitas. Dalam bagian ini, Chapman menjelaskan bagaimana era pasca-Fordisme memperkenalkan bentuk-bentuk baru penonaktifan massal dan bagaimana gerakan neurodiversitas muncul sebagai respons terhadap penindasan neuronormatif. Meskipun demikian, Chapman memperingatkan bahwa kapitalisme telah mencoba mengooptasi gerakan ini, menjadikan neurodivergensi sebagai sumber daya produktivitas tanpa benar-benar mengubah struktur sosial yang ada. Ia juga mengidentifikasi kontradiksi kognitif yang dihasilkan oleh kapitalisme, yang tidak hanya menekan individu neurodivergen tetapi juga memengaruhi masyarakat secara keseluruhan.
Dalam bagian ini, Chapman juga menyoroti bagaimana gerakan neurodiversitas berusaha mengubah cara kita dalam memandang dan memperlakukan neurodivergensi, dengan menolak anggapan bahwa perbedaan neurologis adalah sesuatu yang perlu “diperbaiki” atau “disembuhkan.” Gerakan ini mendorong pengakuan dan penerimaan terhadap berbagai cara berpikir, belajar, dan berinteraksi dengan dunia, menantang paradigma patologis yang telah lama mendominasi.
Terakhir, bagian keempat menawarkan visi masa depan yang melampaui norma neuronormatif, di mana Chapman mengajak pembaca untuk mempertimbangkan perubahan sosial radikal yang diperlukan untuk mencapai pembebasan neurodivergen dan keadilan sosial yang lebih luas. Bagian ini dibahas dalam Bab 11 (After Normality), menawarkan visi masa depan yang melampaui norma neuronormatif. Chapman menggambarkan bagaimana pembebasan neurodivergen dan pembongkaran kapitalisme menjadi pusat dari perjuangan sosial yang lebih luas. Ia mengajak pembaca untuk mempertimbangkan kembali apa yang dianggap “normal” dan untuk menyadari bahwa perubahan radikal diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil.
Dalam bagian akhir ini, Chapman juga menawarkan kerangka untuk tindakan yang dapat diambil menuju perubahan yang lebih mendalam dan transformatif. Ia menekankan bahwa untuk mencapai pembebasan neurodivergen yang sejati, masyarakat harus bergerak melampaui reformasi permukaan yang hanya mengakomodasi perbedaan dalam batas-batas yang ditentukan oleh kapitalisme. Bagi Chapman kita mesti menyerukan upaya untuk pembongkaran struktur ekonomi dan sosial yang ada, yang telah lama menguntungkan norma-norma yang menindas dan mengecualikan mereka yang tidak sesuai. Visi masa depan yang ditawarkannya mencakup pembentukan masyarakat di mana keberagaman neurologis tidak hanya ditoleransi tetapi dirayakan sebagai bagian integral dari keberagaman manusia. Ini menuntut pergeseran mendasar dalam cara kita memandang produktivitas, nilai, dan keberagaman, serta komitmen kolektif untuk menciptakan sistem yang mendukung keadilan sosial, inklusivitas, dan penghargaan terhadap semua bentuk keberagaman manusia. Kita sebaiknya tidak hanya mengkritisi status quo, tetapi juga berani membayangkan dan memperjuangkan dunia yang benar-benar berbeda, di mana setiap individu dapat berkembang tanpa dibatasi oleh norma-norma yang menekan dan membatasi potensi manusia.