Mengolah Estetika Rasa via Sastra Barat

Dipublikasikan oleh Hamzah pada

Patnaik, Priyadarshi. 2004. Rasa in Aesthetics: An Application of Rasa Theory to Modern Western Literature [Rasa dalam Estetika: Aplikasi Teori Rasa dalam Sastra Barat Modern]. D.K. Printworld.


Voltaire membuka entri Beauty (keindahan) dalam Dictionnaire philosophique atau Kamus Filsafat (1764) dengan, “Tanyakan pada seekor kodok apa itu keindahan. Dia akan menjawab, seekor betina dengan dua lingkar bola mata yang bengkak mencuat dari kepala mungilnya, mulut yang gembung lagi datar, perut kemuning, dan punggung kecoklatan.” Dalam paragraf yang sama, Voltaire juga menggugat, “Tanyakan pada iblis; ia akan memberitahumu bahwa keindahan adalah sepasang tanduk, empat cakar, dan ekor.” Dalam pandangan yang merelatifkan arti keindahan, Voltaire kemudian menunjukkan carut-marutnya definisi keindahan di ranah filsafat, “Tanyakan, pada para filsuf, mereka akan menjawabnya dengan linduran: mereka harus punya sesuatu yang cocok dengan arketipe/rancang model esensi keindahan, esensi to kalon (maha indah—istilah Yunani).”

Ketika memaknai apa itu keindahan, kita lebih sering temui teori-teori yang lahir dari pemikiran Barat. Tidak terkecuali dalam Sejarah Estetika (2016) karya Martin Suryajaya yang tebalnya hampir seribu halaman. Estetika Timur hanya terangkum dalam satu dua bab, dan hal tersebut telah diakui sebagai kekurangan oleh penulisnya. Tidak lain, karena terbatasnya penelusuran lintas disiplin filsafat estetika ketika dibicarakan dalam praktik pertukaran wacana antar wilayah pengetahuan—ideologi maupun geografis. Relativitas makna keindahan, walau sudah diupayakan tidak antroposentris/berpusat pada manusia—seperti yang sudah dilakukan Voltaire, belum menemukan kebaurannya dengan tradisi filsafat Oksidental/Barat.

Rasa, sebagai salah satu konsep estetika dari India—dan pamungkasnya mewakili tradisi filsafat timur, menjadi salah satu konsep perangkat untuk menelusuri estetika lebih luas. Penelusuran menjelma menggairahkan jika melibatkan teks di wilayah yang tidak tersentuh rasa sebelumnya. Inilah yang kemudian Patnaik Priyadarshi lakukan dalam Rasa in Aesthetics (2004).

Teori rasa intinya berkutat pada masalah ragam emosi, bagaimana ia digambarkan, disyaratkan, dan disampaikan melalui karya seni atau susastra. Karya-karya ini kemudian dibedah dengan mempertimbangkan kebauran (sankara, atau plastisitas), kenampakan (abhasas, atau bentuk), dan hubungan bagian-seluruh (angangibhava, atau gestalt). Perhatikan bagaimana setiap hal yang mewujud dan dipertimbangkan dalam teks, mempunyai kesejajaran dalam tradisi estetika Barat.

Kesejajaran konsep ini menunjukkan potensi dan relevansi rasa sebagai perangkat evaluasi karya sastra. Dalam Bab Pengantar buku tersebut, argumen terkait relevansi diutarakan. Rasa, yang bermula dari penjabaran filsuf bernama Bharata (diperkirakan hidup circa 500 SM-500 M) dalam karyanya Natya Sastra (bertarikh antara 500 SM-500 M), menjadi relevan karena ia mempunyai aplikasi yang umum. Selain itu, rasa mempertimbangkan seluruh proses sastrawi, mulai dari konsepsi di kepala sang seniman hingga di persepsi akhir dalam kepala para pemirsa/pembaca. Bagaimana pun, tanpa pembaca yang menikmati (asvada), teks tidak punya guna. Rasa menjadi penting pula karena potensi linguistiknya. Emosi sebagai pilar rasa tidak akan pernah dapat dikomunikasikan atau diperlihatkan secara langsung. Emosi hanya dapat diisyaratkan (dhvani) melalui bahasa. Karakteristik linguistik rasa tersebut senada dengan konsep Spielsprach atau permainan bahasa yang digagas oleh Ludwig Wittgenstein Philosophische Untersuchungen/Philosophical Investigations (1953).

Rasa mempunyai sejarah wacananya sendiri. Mulanya, Bharata merumuskan bahwa karya yang baik memuat sepuluh (dasa) syarat tulisan bagus (gunas), menghindari sepuluh kesalahan (dosas), dan memperhatikan ciri sastrawi tertentu (laksanas). Bharata merumuskan tiga puluh enam ciri tersebut, dan memisahkan bentuk sastra (alamkaras) lain yang berbeda dari tulisan. Bharata bersikukuh bahwa pamungkasnya, rasa menjadi tujuan penciptaan karya. Kemudian, Bhamaha (circa abad ke-7 M) dalam Kavyalamkara, rasa kemudian dikukuhkan menjadi bentuk sastra lain bernama rasavat

Pada abad kedelapan, Dandin (aktif 680-720 M) menulis Kavyadarsa, yang menekankan pada gaya tulisan (marga, atau ecriture) dan memisahkan puisi ke dalam dua bentuk: svabhavokti (deskripsi tegas) dan vakrokti (peribahasa). Mazhab tersebut, kemudian dikembangkan oleh Vamana (abad ke-8 hingga ke-9 M) yang menjelaskan perihal gunas, dengan memisahkan sabdagunas (penggunaan diksi yang baik) dan arthagunas (penggunaan gaya tulisan yang baik). Di abad kesembilan, Anandavardhana (820-890 M) dalam Dhvanyaloka mengklaim bahwa dhvani atau isyarat adalah jiwa dari puisi. Kemudian, ia menggabungkan rasa dengan isyarat dan menamainya rasadhvani. Hal ini mempengaruhi Abhinavagupta (circa 950-1016 M), yang pada abad kesebelas menurunkan dua mazhab penting: Kuntaka (circa 950-1050 M) yang bersikukuh bahwa vakrokti atau peribahasa adalah tubuh puisi, dan Ksemendra (circa 990-1070 M) yang menawarkan keawaman (aucitya) adalah tubuh puisi. Rasa kemudian dapat dikenali dalam tubuh teks (bhavas, atau diegetik).

Bhavas dapat diartikan pula sebagai keadaan psiko-fisiologis/emosi/perasaan ketika mengindrai karya. Ada tiga jenis bhavas yang perlu dikenali. Pertama, sthayibhavas atau keadaan mental yang dominan dan bertahan sepanjang teks. Sederhananya adalah mood atau vibe teks. Kedua, sancaribhavas atau keadaan mental peralihan dan sementara, seperti kaget dan gugup. Ketiga, sattvikabhavas yang mirip dengan sancaribhavas. Keadaan mental tersebut mempunyai sebab/stimuli/antesedennya (vibhavas) serta akibat/efeknya (anubhavas) yang dapat dikenali dalam teks.

Dalam Bab Pertama, Rasa dijelaskan lebih gamblang. Secara etimologis, rasa berarti ‘air’ atau ‘anggur (wine)’. Dalam konteks lain, bisa pula berarti ‘esensi’ atau ‘menikmati’. Rasa dalam konteks estetika tidak terkungkung pada makna yang ajeg. Makna dalam rasa adalah sebuah proses yang terus hidup dan berlanjut. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kualitas penting dari rasa adalah ‘esensi’; di mana rasa berusaha untuk menangkap yang-Pamungkas (the Ultimate) melalui/dalam bahasa. 

Upaya tersebut memaknai rasa sebagai sebuah proses—yang karena keberlangsungan dan esensinya, tidak terbatas oleh pengaruh ruang-waktu. Kenirmulaan dan kebakaan rasa mampu mengangkat pemahaman (samskaras) dalam diri seseorang. Hal tersebut menjadikan rasa sebagai definisi dari keadaan tinggi (heightened state) yang tercapai melalui emosi. Menurut Abhinavagupta, emosi ini tidak dapat diciptakan melalui kehendak (at will) dan membutuhkan pikiran yang netral (camatkara) agar rasa dapat terwujud. Keadaan tinggi tersebut dapat dicapai jika seseorang mampu melampaui egonya (sadharanikarana). Rasa, ringkasnya, adalah konsep penilaian yang alaukika atau melampaui dunia. Definisi ini menunjukkan bahwa rasa mencakup yang sublim atau je ne sais quoi dalam tradisi estetika Barat. 

Seperti yang sudah disebutkan, rasa mencakup intensi sang seniman sampai persepsi sang pembaca/pemirsa. Sang pembaca harus memenuhi dua syarat dalam mengalami rasa. Pertama, mempunyai pengetahuan apriori untuk mempersepsi rasa. Pembaca yang dapat mengalami rasa harus mengetahui dalam derajat tertentu. Pengetahuan yang dimaksud terbagi dua: vasanas (intuisi) dan samskaras (pemahaman). Kedua, pembaca haruslah sumana atau suci pikiran. Maksudnya, pikiran terbebas dari kerja organ tubuh lain dan terkonsentrasikan pada pengalaman imajinasi ketika berhadapan dengan teks. Sementara bagi sang seniman, rasa mewujud dalam pengamatannya atas dunia. Rasa di kepala sang seniman adalah respon batin atas apa yang terjadi di sekitarnya. Kedua pangkal rasa tersebut kemudian digeliatkan untuk satu tujuan utama; untuk menciptakan kondisi bahagia—kondisi jernih untuk pegangan moral.

Rasa mempunyai delapan jenis. Hubungan-hubungan antara delapan jenis rasa dijabarkan dalam Bab Kedua. Delapan jenis rasa tersebut adalah erotis (srngara), jenaka (hasya), asih (karuna), amarah (raudra), ksatria (vira), bahaya (bhayanaka), jijik (bibhatsa), dan kagum (adbhuta). Delapan jenis rasa tersebut, menurut Abhinavagupta, mengarah kepada dua kategori utama: sukhatmaka (berakhir bahagia, komedi) atau duhkhatmaka (berakhir duka, tragedi).

Kategori-kategori tersebut dilahirkan dari kehidupan dan tradisi India sebagai medan referensi atau mimesis. Hidup, dalam tradisi India, dibagi ke dalam tiga purusarthas atau bagian: dharma (tanggungjawab), artha (kekayaan), dan kama (hasrat). Purusarthas keempat sendiri merupakan tujuan dari memahami rasa, yaitu moksa (transendensi, melampaui dunia). Moksa kemudian menjadi ciri dari rasa kesembilan, yaitu seimbang (santa).

Hubungan antar rasa kemudian digambarkan secara matematis. Rasa mula-mula dibagi ke dalam rasa primer dan rasa sekunder. Rasa primer terdiri dari erotis, amarah, ksatria, dan jijik. Sementara rasa sekunder terdiri dari jenaka, asih, kagum, dan bahaya. Keterhubungan antara rasa sekunder dan primer biasanya sebab akibat. Misalnya, asih adalah akibat dari amarah, yang di tengahnya bersentuhan dengan bahaya. Pembagian atau kompartemen hubungan antar rasa diletakkan pada bhavas, dengan meletakkan satu jenis rasa sebagai sebab atau vibhavas, dan yang lain sebagai mood atau sthayibhavas, dan sisanya sebagai akibat atau anubhavas.

Motif pembagian tersebut kemudian menjadi kerangka utama bab-bab selanjutnya yang membahas masing-masing rasa dengan lebih detil. Pembahasan tersebut melibatkan karya-karya sastra Barat seperti Franz Kafka, D.H. Lawrence, Joseph Conrad, Samuel Beckett, Federico Garcia Lorca, dan sebagainya. Selain pembahasan bhavas dalam rasa, motif lainnya adalah perbandingan idiosinkratik/tumbukan antara konsep rasa. Misalnya, dalam Bab Kelima, karuna rasa atau asih memiliki keterhubungan dengan bibhatsa atau jijik. Perbandingan tersebut mengambil contoh Metamorphosis karya Kafka. 

Dalam Metamorphosis, tokoh utama bernama Gregor Samsa berubah menjadi serangga raksasa. Perasaan iba muncul karena Samsa mengalami tragedi fantastis, namun masih terpikirkan untuk berangkat kerja. Bibhatsa muncul karena makna mapan yang dibebankan pada anggapan orang-orang pada umumnya terhadap serangga, tidak terkecuali adiknya Samsa dalam cerita. Pergeseran dari karuna ke bibhatsa ini konsisten sepanjang jalan cerita dan diisyaratkan melalui tindakan keluarga dan orang-orang di sekitar Samsa sebagai tokoh utama. Penjabaran ini adalah salah satu contoh bab-bab pembahasan rasa sejak Bab Ketiga hingga Bab Kesembilan.

Di Bab Kesepuluh, santa rasa atau seimbang mendapat penjabaran yang lebih komplit. Untuk mencapai santa, ada dua jalan yang dapat ditempuh. Pertama, ketika dalam teks terjadi pemenuhan (fulfillment) dan berujung pada berakhirnya hasrat. Kedua, ketika dalam teks, rasa jijik mendominasi karena luapan (excess), berakibat pada jauhnya hasrat. Artinya, selain melalui jalan ‘hasrat yang terpenuhi’, jalan lainnya adalah ‘hasrat yang tidak diacuhkan’. Dalam tradisi filsafat Barat, konsep santa kemudian memayungi das Sein yang digagas oleh Martin Heidegger.

Buku Rasa in Aesthetic mampu menjadi salah satu referensi dalam konteks penelusuran estetika lokal. Sebab, konsep rasa memiliki kedekatan sejarah sosial politik dalam medan sastra, dramaturgi, musik, dan rupa khas Indonesia. Tentu usaha penelusuran membutuhkan kontekstualisasi dan pendekatan yang tidak mengabaikan pagelaran tradisi filsafat di Indonesia yang sarat dengan akademisi yang terlatih oleh filsafat Barat. Karenanya, buku ini menjelma jembatan Timur—Barat yang baik. Buku ini bisa menjadi titik tolak untuk mengenali (kembali): apa yang ‘indah’ dari mata, kepala, dan hati orang Indonesia?

 

Kategori: Sastra

Hamzah

Lebih suka menyebut dirinya bermatra jamak seperti larik Walt Whitman. Dapat ditemui di https://hamzah.id