Memahami Kesehatan Mental di Tengah Dunia yang Sesak
Frazer-Carroll, Micha. 2023. Mad World: The Politics of Mental Health [Dunia Gila: Politik Kesehatan Mental]. Penerbit Pluto.
Belakangan, isu kesehatan mental marak dibicarakan. Meski relatif baru didiskusikan di tengah publik, isu ini terus berkembang dari waktu ke waktu. Berdasarkan temuan Survei Ipsos Global bertajuk Health Service Monitor 2023, isu kesehatan mental menjadi masalah paling disoroti banyak orang di berbagai belahan dunia. Berdasarkan riset tersebut, sebanyak 44 persen responden dari 31 negara di dunia menilai bahwa kesehatan mental menjadi masalah kesehatan yang paling dikhawatirkan. Disusul kanker di posisi kedua sebesar 40 persen dari seluruh responden. Survei Ipsos tersebut melibatkan 23.274 responden dewasa yang tersebar di 31 negara, termasuk Indonesia, pada periode 21 Juli hingga 4 Agustus 2023.
Kesadaran kesehatan mental salah satunya dipicu efek pandemi Covid-19. Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun pertama pandemi (2020), prevalensi kecemasan dan depresi masyarakat dunia meningkat hingga 25 persen. Di Indonesia, tren kepedulian kesehatan mental juga mulai menjadi bagian hidup sehari-hari masyarakat. Kondisi demikian meningkatkan perhatian mengenai permasalahan kesehatan mental. Namun di sisi lain, tren self-diagnosis mulai terjadi di tengah gempuran media sosial yang ramai. Selain itu, maraknya kelas-kelas kesehatan mental yang menjamur di berbagai platform juga menunjukkan peningkatan minat dan perhatian terhadap isu ini.
Sayangnya, meskipun niat untuk memahami dan mengelola kesehatan mental sendiri bisa dibilang merupakan langkah positif, hal ini juga membawa risiko jika tidak dilakukan dengan pemahaman secara mendalam dan kritis. Tidak sedikit orang meromantisasi permasalahan kesehatan mental dengan mengikuti tren yang menggarisbawahi kondisi mereka melalui berbagai cara, meskipun penilaian tersebut belum tentu valid dibuktikan dengan pemeriksaan.
Di tengah fenomena demikian, sangat penting bagi kita untuk menelaah lebih jauh bagaimana kesehatan mental dipahami dan diatur dalam masyarakat. Banyak dari kita mungkin terbiasa menerima begitu saja konsep dan praktik kesehatan mental yang bersirkulasi di sekitar, tanpa menelisik secara lebih jauh. Padahal, pemahaman lebih kritis dan mendalam sangat diperlukan agar tidak terjebak dalam pendekatan yang hanya menyentuh permukaan dan mengabaikan akar permasalahan.
Di sinilah buku Mad World: The Politics of Mental Health karya Micha Frazer-Carroll memberikan kontribusi sangat berharga. Buku ini tidak hanya mengupas isu kesehatan mental melalui sudut pandang individu, tetapi juga mengeksplorasi bagaimana struktur sosial, ekonomi, dan politik memengaruhi kesehatan mental kita. Dengan mengkritik dan menunjukkan bagaimana sistem kapitalisme berkontribusi terhadap penderitaan mental, Frazer-Carroll mengajak kita melihat kesehatan mental dalam konteks sosial secara meluas dan mendalam.
Bab pertama buku ini berjudul Asylums, membawa kita melalui sejarah panjang lembaga-lembaga kesehatan mental, dikenal sebagai asylum, dari masa lalu hingga masa kini. Frazer-Carroll menguraikan bagaimana institusi pertama seperti Bethlem Hospital (atau dikenal sebagai Bedlam) didirikan untuk merawat orang gila. Ia juga membahas bagaimana institusi tersebut kemudian berkembang dan dikritik sepanjang sejarah. Dengan menyajikan kondisi brutal di asylums seperti pembatasan fisik, terapi invasif, dan perlakuan tidak manusiawi, penulis menunjukkan bahwa banyak praktik dan logika dari masa lalu masih hadir dalam pendekatan modern terhadap kesehatan mental.
Frazer-Carroll mengkritisi bagaimana asylum, meskipun awalnya bertujuan “merawat” orang gila, sering kali lebih berfungsi sebagai alat kontrol sosial, mencerminkan dan memperkuat struktur kekuasaan. Ia menghubungkan sejarah dengan kondisi saat ini yang menunjukkan bahwa cara kita memahami dan menangani kesehatan mental masih dipengaruhi oleh warisan sosial, ekonomi, dan politik dari masa lalu.
Meskipun asylum dalam bentuk tradisional demikian telah ditutup, banyak logika dan metode kontrol sosial masih ada dalam sistem kesehatan mental modern. Asylum sering digunakan untuk mengisolasi dan mengendalikan individu yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat dominan. Saat ini, meskipun perawatan mental lebih banyak dilakukan di luar institusi, sistem kesehatan mental masih sering berfungsi untuk menjaga tatanan sosial dan ekonomi, misalnya melalui diagnosis dan terapi yang menekankan penyesuaian individu terhadap kondisi tidak manusiawi, ketimbang penekanan pada upaya mengubah kondisi itu sendiri.
Bagian ini juga menyoroti bahwa sistem kapitalis yang berfokus pada keuntungan dan produktivitas sangat merugikan kesehatan mental. Dengan menempatkan tekanan besar pada individu untuk berprestasi dan berkompetisi, sistem kapitalisme mengabaikan kebutuhan dasar manusia untuk terkoneksi, beristirahat, dan mendapatkan dukungan komunitas. Akibatnya, banyak permasalahan kesehatan mental yang sebenarnya merupakan respons wajar terhadap kondisi tidak manusiawi, justru diperlakukan sebagai masalah individu yang harus diatasi secara pribadi.
Dengan pemahaman tersebut, kita bisa menyelami lebih jauh ke dalam bab-bab lain dari buku ini, yang masing-masing menguraikan berbagai aspek kesehatan mental dan bagaimana pengaruhnya secara sosio-politik.
Bab kedua, Knowing Mental Health Today, mengeksplorasi bagaimana kita memahami dan mendefinisikan kesehatan mental di era modern. Apa yang kita pahami ketika seseorang mengalami depresi? Depresi sering kali didiagnosis sebagai kondisi medis yang membutuhkan perawatan melalui terapi atau obat-obatan. Meskipun perawatan tersebut bisa sangat membantu bagi banyak orang, tetapi sialnya kita mengabaikan banyak hal di luar individu itu sendiri. Dalam banyak kasus, depresi bisa menjadi respons wajar terhadap kondisi hidup yang sangat menekan seperti kemiskinan, ketidakamanan pekerjaan, isolasi sosial, atau tekanan kerja berlebihan. Dalam masyarakat kapitalis, semua itu jelas menciptakan kondisi yang sangat sulit dan melelahkan secara mental. Namun, alih-alih menangani akar masalah tersebut, pendekatan medis terhadap depresi sering kali hanya fokus pada penanganan gejala individu. Persoalan depresi pada akhirnya membawa kita kepada bab berikutnya, di mana Frazer-Carroll berusaha menghubungkan pengalaman individu dengan dinamika sosial secara lebih luas.
Bab ketiga berjudul Mental Health in a Maddening World, menjelaskan bagaimana sistem kapitalis membuat hidup manusia kian rumit. Penulis ingin kita menyadari bahwa perbaikan dalam kesehatan mental tidak bisa hanya dicapai melalui terapi individu atau obat-obatan saja, tetapi juga memerlukan perubahan besar mengenai cara masyarakat kita diatur. Ini termasuk menciptakan kebijakan yang mendukung stabilitas ekonomi, memperkuat jejaring sosial, dan mengurangi tekanan kerja secara berlebihan. Sudah saatnya kita memaknai kesehatan mental sebagai permasalahan bersama dan sistemik.
Bab keempat, Why Work is Sickening, membahas hubungan antara pekerjaan dan kesehatan mental, di mana kondisi kerja eksploitatif dan tidak manusiawi berkontribusi pada gangguan kesehatan mental. Hari ini, pekerjaan dalam konteks kapitalis sering kali tidak memberikan nilai intrinsik atau kepuasan mendalam, melainkan hanya berfungsi sebagai sarana bertahan hidup. Akhirnya, bukan tidak mungkin jika tekanan mental kita semakin parah.
Bab kelima, Disability/Possibility membahas konsep disabilitas dalam konteks kesehatan mental dan bagaimana pendekatan keadilan disabilitas memberikan perspektif baru yang lebih inklusif terhadap kesehatan mental. Masalah kesehatan mental tidak boleh hanya dilihat sebagai defisit individu. Sebaliknya, kita harus memahami banyak tantangan yang dihadapi oleh individu dengan gangguan kesehatan mental merupakan hasil dari hambatan sosial diciptakan oleh masyarakat yang tidak inklusif.
Bab keenam berjudul Diagnosing Diagnosis. Bab ini menantang konsep diagnosis dalam kesehatan mental, mempertanyakan validitas dan dampaknya terhadap individu dan masyarakat. Terdapat berbagai diagnosis dalam kesehatan mental yang tidak sepenuhnya objektif atau ilmiah, tetapi dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan politik. Lanjut ke bab tujuh berjudul On Disavowal and Disorder, penulis kembali mempertegas bahwa perilaku dan kondisi yang sering kali dianggap sebagai gangguan mental atau penyakit dianggap sebagai respons wajar terhadap situasi sosial yang menekan dan tidak adil. Maka, penyangkalan terhadap kenyataan sosial yang keras, seperti ketidakadilan ekonomi atau diskriminasi, bisa dilihat sebagai gangguan mental dari sudut pandang medis. Namun, dari perspektif individu yang mengalami, ini bisa jadi adalah cara untuk bertahan hidup dalam situasi yang tidak manusiawi.
Di tengah berbagai rintangan, kita butuh ruang untuk menyelamatkan kesehatan mental. Permasalahan inilah yang disinggung pada bab selanjutnya, Art as a Mad Liberation Tool. Pada bagian ini, kita akan menemukan penjelasan bagaimana seni menjadi alat mengekspresikan dan mengatasi pengalaman kesehatan mental. Seni bisa digunakan sebagai alat perlawanan terhadap sistem yang menindas dan menciptakan stigma terhadap penyintas kesehatan mental. Melalui seni, individu dapat menantang narasi dominan tentang kesehatan mental dan menciptakan ruang bagi pengalaman dan perspektif yang lebih beragam. Seni juga dapat membantu membangun komunitas dan solidaritas di antara mereka yang mengalami gangguan mental, dan menjadi platform berbagi cerita dan mendukung satu sama lain.
Bagian selanjutnya, Law and Disorder mengkritisi bagaimana hukum digunakan untuk mempertahankan status quo dan struktur kekuasaan. Selama ini, hukum cenderung menggunakan pendekatan kriminalisasi terhadap perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial. Misalnya, orang dengan gangguan mental sering kali ditahan atau dipenjara dibandingkan menerima perawatan secara tepat. Sedangkan di bab sepuluh, Other Possibilities menawarkan visi alternatif untuk masa depan kesehatan mental yang lebih adil dan manusiawi. Bagian ini menekankan bahwa perubahan besar diperlukan dalam cara kita memahami dan menangani kesehatan mental, termasuk perubahan dalam kebijakan sosial, ekonomi, dan kesehatan. Di sini, kita diajak memikirkan bagaimana mengubah pendekatan kesehatan mental secara fundamental. Ini artinya, kita tidak hanya memperbaiki sistem yang sudah mapan, tetapi juga membayangkan dan menciptakan sistem baru yang lebih mendukung dan inklusif.
Pada akhirnya, buku ini tengah mengkritik sistem kapitalisme yang menciptakan kondisi hidup menekan dan tidak manusiawi, menggarisbawahi bagaimana struktur sosial dan ekonomi mempengaruhi kesejahteraan mental kita. Melalui Mad World: The Politics of Mental Health, kita semestinya bisa menerima bahwa penderitaan adalah bagian dari kehidupan yang perlu dipahami. Kita butuh perubahan besar dengan berbagai cara untuk merespon atau menangani kesehatan mental, termasuk melawan sistem ekonomi kapitalis yang menyesakkan.