Merawat Tan Malaka, ‘Alang-Alang’ Revolusi yang tak dapat Musnah

Dipublikasikan oleh Dionisius Ryan Pratama pada

Tan Malaka. 1926. Massa Actie (Aksi Massa). 


Rasanya tak berlebihan jika kita menyematkan Tan Malaka (1897—1949) sebagai salah satu pemikir besar Indonesia. Meskipun hampir separuh hidup dijalani sebagai pelarian politik, Tan Malaka mampu melahirkan buah pikir yang relevan hingga hari ini. Pada 1945, dalam sebuah surat kabar Berita Indonesia, Muhammad Yamin (1903—1962) menyebut sosok bernama lengkap Ibrahim dengan gelar Datuk Tan Malaka sebagai “Bapak Republik Indonesia” karena tulisan bertajuk Naar de ‘Republiek Indonesia’, atau dalam bahasa Indonesia berarti Menudju Republik Indonesia (1925). 

Satu tahun setelah tulisan tersebut terbit, pria asal Sumatra Barat itu menulis Massa Actie (atau Aksi Massa) pada 1926 saat berhasil minggat ke Singapura. Alasan yang melatarbelakangi penulisan Aksi Massa yakni upaya Tan Malaka menggagalkan pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia). Aksi tersebut ia nilai terlalu ugal-ugalan tanpa mempertimbangkan dasar-dasar aksi massa. Sesuai dugaan Tan Malaka, aksi yang meletus pada 18 Juni 1926 itu dinilai gagal total. Harry A. Poeze, seorang sejarawan asal Belanda, dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia jilid 1: Agustus 1945 – Maret 1946 mencatat tentang situasi tersebut, “Di Banten terdapat sekitar seribu tiga ratus orang ditahan. Sebagian dari mereka diadili dan dijatuhi hukuman berat; bahkan ada yang dijatuhi hukuman mati. Eksekusi terhadap empat orang telah dilaksanakan. Sementara, sembilan puluh sembilan orang diasingkan ke kamp tahanan Digul, jauh di pedalaman Papua Barat.” 

Buku yang terdiri dari dua belas bab, ditambah dengan lampiran khusus oleh pria pemilik dua puluh lebih nama samaran ini menuliskan rancangan program proletar di Indonesia. Ia menjelaskan alasan revolusi sebagai agenda penting dan harus berhasil. Banyak tokoh pergerakan nasional mengaku mendapat ilham dari Aksi Massa, salah satunya Soekarno. 

Saat diadili di Landrat, Bandung pada 1931, salah satu hal yang memberatkan tuduhan Tan Malaka adalah karena menyimpan buku ini. Sementara itu, pada 2020 lalu, polisi menyita Aksi Massa dari sekelompok gerakan anarko di Tangerang. Sebetulnya, seperti apa revolusi dalam kacamata Tan Malaka? Mengapa buku ini senantiasa dianggap berbahaya, bahkan sejak pemerintahan kolonial Belanda hingga hari ini?

Tantangan-Tantangan Revolusi

Tan Malaka membuka bagian pertama buku dengan tajuk Revolusi. Menurut Tan Malaka, revolusi bukanlah hal istimewa dan luar biasa, oleh karena itu tidak boleh digerakkan atas perintah seseorang yang dianggap ‘luar biasa’, atau mampu menggerakan massa. Revolusi bukan hasil pemikiran individu, melainkan akibat pertentangan kelas dan ketimpangan sosial masyarakat dalam situasi pergaulan hidup, ditentukan oleh empat faktor, yakni ekonomi, sosial, politik, dan psikologis. Berlandaskan kegelisahan yang sama, tujuan revolusi tidak hanya untuk “Menghukum, sekalian perbuatan ganas, menentang kecurangan dan kelaliman, tetapi juga mencapai segenap dari perbaikan dari kecelaan.” 

Tan Malaka

Akan tetapi, cita-cita mulia sekalipun tak selalu memperoleh jalan mulus. Terlebih, Tan Malaka saat itu harus berhadapan dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang masih terikat feodalisme. Menurut KBBI, feodalisme merupakan sebuah sistem sosial maupun politik yang memberikan kekuasaan besar hanya kepada golongan bangsawan. Ekosistem pemerintah bercorak feodalistis jelas menyuburkan nepotisme politik. Menyitir bab tujuh, Keadaan Politik, Tan Malaka dengan lugas mengkritik persoalan tersebut: “Pemerintahan negeri dipegang oleh seorang raja dan komplotannya. Seorang raja sesudah berhasil menjalankan peran ‘jagoan’, lalu mengangkat dirinya jadi raja yang bertuan. Anaknya yang bodohnya lebih dari seorang tukang pelesir, belakang hari, menggantikan ayahnya sebagai yang dipertuan di dalam negeri.” 

Dalam situasi semacam ini, menurut Tan Malaka, politik tak akan pernah berpihak pada rakyat, karena kekuasaan disandarkan pada kemauan raja yang diliputi kekerasan dan menuntut penghambaan rakyat. Dengan kondisi politik yang sarat nilai feodalistis, ditambah masyarakat Indonesia mayoritas hidup sebagai buruh, Tan Malaka menyarankan bentuk pemerintahan soviet.

Menurut Tan Malaka, pemerintahan bercorak soviet lebih unggul dibandingkan parlemen. Ia berkaca pada negara-negara Barat di mana parlementarisme lahir akibat pertikaian kelompok borjuis dengan kaum raja. Para borjuis merasa bisnis mereka dirugikan akibat kebijakan dan pajak yang dibebankan. Keadaan ini diperparah dengan kondisi kaum borjuis yang tak memiliki hak politik dalam mengajukan keberatan tersebut. Akibatnya, timbullah revolusi besar-besaran, salah satunya terjadi di Perancis sekitar 1789 hingga 1799. Di masa itu, kaum borjuis, bangsawan, dan pendeta membentuk koalisi dengan massa revolusioner: kaum buruh dan tani (Halaman 82). 

Dengan begitu, kaum borjuis merobohkan pemerintah feodal dengan semboyan “Liberte, Egalite, dan Fraternite”, atau “Demokrasi, Liberalisme, dan Parlementarisme”. Namun, keberhasilan kaum borjuis tak diikuti dengan kesejahteraan kaum buruh dan tani. Dua kaum ini justru dipinggirkan dan hanya dijadikan ‘umpan meriam revolusi’. Selain itu, Tan Malaka melihat sistem demokrasi yang digembar-gemborkan kaum borjuis dalam parlemen hanya akal-akalan belaka. Ia melihat bagaimana anggota parlemen memegang jabatan selama tiga atau empat tahun, tetapi hubungan antara rakyat (si pemilih) dan anggota parlemen (yang dipilih) sangat transaksional. Tan Malaka menilai bahwa anggota parlemen hanya berhadapan dengan rakyat sewaktu pemilihan saja. Mereka tak ubahnya birokrat sejati. Sebagaimana parlemen diciptakan kaum borjuis, maka soviet diwujudkan kaum buruh. 

Dengan begitu, soviet akan membelokkan sudut pandang masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis. Tak hanya itu, bentuk pemerintahan soviet juga menghancurkan sistem-sistem birokrasi ciptaan parlemen. Salah satunya, mendekatkan rakyat dengan wakil rakyat untuk disatukan dalam kelompok yang nantinya akan membentuk dan menjalankan undang-undang secara bersama-sama.

Pola Pikir sebagai Perkakas Revolusi

Pemerintahan soviet harus dibarengi dengan kesadaran tinggi kaum buruh berpikir rasional. Sayangnya, mayoritas masyarakat Indonesia saat itu sepertinya masih kental dengan kebudayaan gaib, mistis, dan takhayul. Ini berdampak membentuk pola pikir masyarakat Indonesia. Di bab delapan, Perkakas Revolusi Kita, ia menuliskan refleksi tentang kemajuan berpikir yang mandek meskipun teknologi dan informasi telah berkembang pesat. 

Kepercayaan mengenai mitos dan takhayul memang tidak bisa digeneralisasi terjadi di seluruh penjuru Indonesia. Tingkat industrialisasi yang berbeda menjadi pemicu utama ketidakmerataan pola pikir rasional. Meski erat berhubungan dengan nilai-nilai komunisme, Tan Malaka mengakui bahwa kapitalisme yang menyubur dalam sebuah daerah turut serta merangsang daya pikir rasional dan sehat. Dengan begitu, menurut Tan Malaka, “Psikologi dan ideologi jiwa dan akal rakyat bangsa Indonesia sejalan dengan kecerdasan kapitalisme yang senantiasa berubah-ubah.” 

Menganalisis fenomena tersebut, tak mudah bagi para revolusioner untuk membawa segenap rakyat Indonesia dalam sebuah cita-cita Marxisme. Akibat berbagai kesulitan tersebut, Tan Malaka mengakui bahwa tak sedikit tindakan revolusi jatuh pada sikap anarkisme maupun pemujaan pada hal-hal mistis maupun gaib, seperti jimat. Mengenai anarkisme, Tan Malaka menyebut tindakan tersebut putch, artinya sebuah aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak (Halaman 98). Dengan begitu, aksi yang didasari metode putch—terlebih dengan masyarakat yang masih bergantung pada hal-hal gaib, dongeng, ataupun takhayul—tak akan pernah meraih kesuksesan dalam revolusi.

Partai dan Pemimpin Revolusioner

Menjawab kegelisahan masyarakat dalam memenuhi kehendak ekonomi dan politik yang kian merosot, Tan Malaka menyarankan sebuah aksi massa. Berbeda dengan putch atau anarkis yang menurutnya terkesan egois karena tak berhubungan dengan orang banyak, aksi massa bergerak akibat kesadaran seluruh lapisan masyarakat. Sebagai negara industri, ia tak melihat kesulitan dalam melancarkan aksi massa tanpa menggunakan kekerasan. 

Aksi mogok, boikot, dan berdemonstrasi sebagai hak asasi manusia yang utuh ia nilai lebih ampuh ketimbang senjata. Menurut Tan Malaka, jika aksi-aksi ini serentak dilakukan oleh semua orang—buruh, tani, ataupun mereka yang bukan buruh dan tani—demi menuntut hak ekonomi dan politik, tentu akan lebih berdampak besar ketimbang melakukan tindak kekerasan seperti pembunuhan. Ini mengingatkan saya akan sebuah buku pemikir sekaligus psikoanalis asal Jerman, Erich Fromm (1900—1980) dalam On Disobedience and Other Essays (1980). Senada dengan Tan Malaka, ia percaya bahwa revolusi atau pembangkangan sipil tidak seharusnya dilakukan dengan kekerasan. 

Sebagai sebuah aksi besar, Tan Malaka menyadari bahwa aksi massa membutuhkan dukungan sebuah partai dan seorang pemimpin revolusioner demi membingkai jalannya aksi dengan landasan persoalan yang sama. Menurutnya, seorang pemimpin revolusioner tak hanya harus cerdas maupun tangkas, tetapi juga mesti mengenal sifat-sifat dari massa yang dipimpin. Dengan begitu, pemimpin revolusi mengetahui respon masyarakat mengenai kondisi politik dan ekonomi, kemudian segera mengambil langkah berdasarkan peta perjuangan.

Pembentukan partai revolusioner juga menjadi salah satu syarat penting aksi massa. Menurut Tan Malaka, selama ini, belum ada partai-partai di Indonesia yang bergerak atas kepentingan masyarakat dengan satu visi dan misi revolusi. Menurutnya, syarat pertama pembentukan partai revolusioner adalah penghapusan hal-hal berbau birokrasi, aristokrasi, maupun otokratis. Namun, ia mengingatkan bahwa penghapusan nilai-nilai tersebut tak bisa dilakukan dengan jalan kekerasan pula. 

Tan Malaka menganjurkan untuk “membiasakan bertukar pikiran secara merdeka dan kerja sama semua anggota.” Dengan begitu, sebagai syarat kedua, setiap anggota diberi dan dijamin haknya untuk menyampaikan pendapat dan mempertahankan argumentasi. Oleh karena itu, setiap keputusan yang dihasilkan dalam partai merupakan hasil musyawarah bersama. Partai sebagai “kepala dan jantung massa revolusioner”, penting untuk menerapkan “peraturan besi” sebagai hasil musyawarah yang berguna untuk “memeriksa dan memperbaiki” setiap anggota yang dicurigai, atau terbukti tak sejalan dengan cita-cita partai. 

Di bab sembilan, Tan Malaka memberikan uraian dan beberapa contoh partai bentukan kaum borjuis di Indonesia yang dinilai tidak sejalan, atau bahkan gagal menjadi ‘kepala dan jantung’ massa, salah satunya Budi Utomo. Menurutnya, partai yang didirikan oleh R. Soetomo (1888—1938) pada 1908 itu termasuk “partai yang semalas-malasnya di antara segenap partai-partai borjuis di Indonesia”. Budi Utomo dianggap gagal dalam melakukan pergerakan radikal dalam masyarakat seluruhnya. Organisasi ini dianggap hanya berfokus pada nilai-nilai kebudayaan, dibumbui dengan mitos-mitos, sehingga menimbulkan kesan sebagai partai yang hanya berfokus pada masyarakat Jawa.

Belajar dan Melampaui Barat

Dalam bab terakhir, Khayalan Seorang Revolusioner, Tan Malaka mengingatkan kita bahwa puncak tertinggi peradaban manusia adalah kemampuan berpikir rasional. Pemikiran rasional tak hanya membebaskan kita dari belenggu takhayul, tetapi juga dari perbudakan. Uniknya, Tan Malaka seakan menyentil beberapa kelompok atau golongan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Timur; atau mereka yang menolak keras budaya Barat karena dianggap tak sesuai dengan adab ‘Timur’.

Ia menuliskan, “Janganlah menjatuhkan diri dalam kesesatan dengan mengira budaya Timur yang dulu atau sekarang lebih tinggi dari kebudayaan Barat sekarang. Ini boleh kamu katakan, bilamana kamu sudah melebihi pengetahuan, kecakapan dan cara berpikir orang Barat.., Pada waktu ini sungguh sia-sia dan tak layak bagi kamu mengeluarkan perkataan sudah ‘lebih pintar’ dan tak perlu belajar lagi, sebab banyak sekali yang belum kamu ketahui.” Dari sini, Tan Malaka mengajak kita mengakui dan sanggup belajar dari orang-orang Barat. Namun demikian, ia mengingatkan agar kita tidak terjebak menjadi seorang peniru, tetapi menjadi seorang murid dari Timur yang cerdas dan mampu melampaui kecerdasan guru-guru di Barat (halaman 140). 

Refleksi

Tulisan berusia hampir satu abad ini seakan menolak mati dan dilupakan, sebagaimana Tan Malaka berharap bahwa aksi massa tak boleh dibatasi hanya pada perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam melawan imperialisme Belanda. Saya membaca Aksi Massa tepat setelah menyelesaikan karya Tan Malaka yang sering dianggap sebagai magnum opus-nya, yaitu MADILOG. Jika dalam MADILOG Tan Malaka seperti menyarankan sebuah revolusi yang dimulai dari diri sendiri, yaitu dengan merevolusi pola pikir. Di Aksi Massa, ia melihat bahwa upaya mencapai revolusi bisa dilakukan setelah masyarakat merevolusi diri mereka sendiri.

    Rasanya tepat sekali membaca Aksi Massa, terutama ketika kita terus dihadapkan pada keriuhan situasi sosial-politik Indonesia dalam berbagai pemberitaan yang menghiasi layar kaca maupun ponsel pintar kita akhir-akhir ini. Penting bagi kita menelisik kembali lagi cita-cita Tan Malaka atas revolusi yang harus digerakkan bersama-sama oleh setiap lapisan masyarakat.

Terdapat kalimat Tan Malaka menarik yang terlontar dari Tan Malaka saat ia berkunjung ke rumah Achmad Soebardjo (1896—1978) pada 25 Agustus 1945, satu minggu setelah proklamasi. Soebardjo, yang telah mengenal Tan Malaka sejak bersekolah di Belanda, kaget dengan kehadirannya. Sebab dari surat kabar yang ia baca, Tan Malaka diberitakan tewas akibat kerusuhan di Birma. Bahkan ada juga pemberitaan tentang Tan Malaka yang sedang berada di Yerusalem, saat itu telah tewas dalam kerusuhan di Israel. Mendengar hal itu, Tan Malaka tertawa seraya berkata dalam bahasa Belanda, “Onkruid vergaat toch niet”, yang artinya, “alang-alang tokh tak dapat musnah kalau tak dicabut dengan akar-akarnya”.