Penguasaan Tanah melalui Perampasan yang Semakin Langgeng
Lund, Christian. 2020. Nine-Tenth of the Law: Enduring Dispossession in Indonesia (Sembilan per Sepuluh Hukum: Perampasan yang Berkepanjangan di Indonesia). Penerbit Yale University.
Rezim penguasaan (possession) silih berganti sejak era kerajaan hingga pascareformasi di Indonesia. Dalam rentang sejarah itu, petani gurem yang menguasai lahan (milik sendiri atau sewa) kurang dari 0,5 hektar, selalu terpinggirkan di atas tanah yang mereka miliki. Untuk mempertahankan penguasaan tanah, diperlukan relasi sosial dan kapasitas politik tertentu. Sementara itu, penguasaan petani atas tanah tidak berarti mereka dapat memanfaatkan sumber daya di ata lahan yang mereka miliki.
Dalam Nine-Tenth of Law: Enduring Dispossession in Indonesia (2020), Christian Lund menyebutkan bagaimana pemanfaatan dan kontrol sumber daya tidak selalu berpusat pada peraturan perundang-undangan. Guna merealisasikan pemanfaatan sumber daya, seseorang memerlukan lebih dari sekadar hukum di atas kertas. Mereka memerlukan mobilisasi, uang, koneksi, termasuk berbaur dengan kelompok dominan yang memiliki kuasa. Kekuatan-kekuatan tersebutlah yang kemudian justru meminggirkan status warga atas tanah mereka sendiri.
Fakta tersebut membuat Lund bertanya-tanya, “Jika legalitas (atas tanah) tidak lagi penting, mengapa setiap orang repot-repot menggunakan hukum untuk menguasai tanah? Kenapa perusahaan mengklaim mereka memiliki hak sewa tanah yang sah? Mengapa petani menunjukkan dokumen tahun 1974 yang mereka miliki?”
Dalam Nine-Tenth of Law: Enduring Dispossession in Indonesia (2020), Lund menjelaskan prinsip mengenai “sembilan per sepuluh hukum adalah penguasaan”. Melalui temuan studi kasus, Lund menyimpulkan satu per sepuluh prinsip hukum adalah rekognisi (recognition). Secara sederhana, hampir seluruh peraturan perundang-undangan mengatur tentang penguasaan tanah, sementara itu, hanya secuil ruang dalam hukum yang mengatur bagaimana sistem kuasa mendapatkan pengakuan (recognition). Melalui legalisasi, sembilan per sepuluh hukum lainnya otomatis terkonsolidasi, hingga kemudian individu atau perusahaan dapat memanfaatkan sumber daya, lantas kepemilikan tanah oleh segelintir kelompok yang berkuasa itu dianggap “sah”.
Lund menjelaskan studi kasus di Aceh, Jawa Barat, dan Sumatra Utara yang merupakan hasil wawancara dengan pejabat publik, pihak perusahaan, petani, tokoh masyarakat, pengacara, notaris, dan preman atau kelompok kekerasan terorganisir. Ia juga berkolaborasi dengan sarjana dan aktivis dari berbagai bidang. Dari delapan bab yang disajikan, kita memang tidak perlu membacanya secara berurutan, melainkan bisa memilih sesuai selera. Itulah mengapa ulasan ini saya sajikan secara tambal-sulam dengan menganyam antarbagian sebagai satu keseluruhan tulisan. Namun, bab pertama tetap menjadi bagian yang wajib dibaca guna memandu memahami gagasan utama Lund, sebelum kita membaca ulasan secara acak mengenai tujuh bab lainnya.
Legalisasi Melampaui Persoalan Hukum dan Politis
Dalam studi Lund di tiga wilayah–Aceh, Jawa Barat, dan Sumatra Utara–ia menemui makna legalisasi tanah yang merentang luas, meskipun tetap dalam pengertian yang dipahami dalam peraturan perundang-undangan. Lund menghadirkan berbagai varian pengertian legalisasi, yang kesemuanya bermuara pada makna: membuat aturan (rule) lalu mengklaim peraturan tersebut agar terkesan legal atau sah.
Pada bagian pertama, Possession is nine-tenth of the law, seseorang yang mengklaim menguasai tanah (possession) tidak bisa serta merta mengakui bahwa tanah tersebut adalah barang miliknya (property). Dalam perkembangan rezim hukum pertanahan, agar kepemilikan tanah diakui (recognition), maka mereka harus bisa memperoleh legaliasi atas tanah tersebut berwujud sertifikat hak milik tanah.
Selain itu, legalisasi bisa berfungsi sebaliknya, yakni membenarkan tindakan ilegal seperti membatalkan hak-hak hidup seseorang. Salah satunya, dalam kasus pengosongan tanah secara paksa dengan mengerahkan aparat bersenjata yang jelas merupakan tindakan kekerasan, justru kerap mendapatkan legitimasi hukum sehingga dianggap sah dilakukan.
Berangkat dari gagasan tersebut, Lund mendefinisikan legalisasi sebagai hasil akhir dari pertarungan di luar prosedur hukum yang melibatkan rakyat terorganisir, termasuk kelompok preman, perusahaan, dan lembaga publik.
Sementara itu, kewenangan legalisasi klaim kepemilikan berada di lembaga yang diberi mandat mengatur objek barang milik (statutory institution). Misalnya, dalam persoalan tanah, kewenangan melegalisasikan hak kepemilikan dipegang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Di sinilah Lund mengoperasikan antropologi hukum pascakolonial secara sederhana. Menurut Lund, dalam pluralisme institusi, tidak hanya satu institusi yang dapat menyatakan keabsahan terhadap satu objek tertentu. Preman, perusahaan, dan lembaga publik turut serta mendefinisikan barang dan kepemilikan, termasuk atas tanah.
Pola pengorganisasian kekerasan demi legalisasi penguasaan tanah jamak kita jumpai di Indonesia dewasa ini, terutama sejak ditetapkannya Proyek Strategis Nasional sejak 2016 sebagai instrumen perampasan tanah secara “legal”. Di sana, seluruh kepentingan masyarakat lokal tersubordinasi oleh kepentingan negara. Sedangkan untuk mewujudkan kepentingan negara, mengorganisasikan kekerasan menjadi prasyarat bagi para penyelenggara proyek. Pada bagian ini, Lund melontarkan pertanyaan retoris, “kepentingan siapa yang diterjemahkan ke dalam kepentingan negara?”
Bagi kelompok dominan seperti perusahaan yang memiliki modal kapital besar, proses memperoleh legalisasi penguasaan menjadi area untuk mencurangi hukum (legal laundry), merampas, dan menyerobot hak. Sementara itu, bagi petani gurem, proses tersebut merupakan arena perjuangan terakhir untuk, setidaknya, bertahan di satu periode rezim pertanahan sembari mempersiapkan diri menghadapi evolusi rezim pertanahan di masa depan.
Melanggengkan Perampasan Melalui Legalisasi
Perpecahan dalam masyarakat menjadi fokus Lund berikutnya yang diejawantahkan pada bagian kedua: Ground Work. Situasi masyarakat yang terpecah-belah semakin mempermudah proses legalisasi penguasaan tanah bagi perusahaan dan pemerintah. Lund memeriksa reproduksi materi agraria dan perubahan rezim politik secara radikal dan penuh kekerasan dalam rentang waktu panjang (longue durée). Melalui pemeriksaan tersebut, Lund berargumen bahwa dalam keadaan masyarakat yang terpecah-belah, peluang bagi perusahaan untuk mengklaim tanah semakin terbuka lebar, tetapi tidak seketika mempermudah merealisasikan perampasan.
Pada masa kemerdekaan, struktur masyarakat yang terpecah-belah dipengaruhi oleh militer. Pada waktu itu, militer menciptakan Badan Kerja Sama Pemuda Militer sebagai sayap politik militer. Tugas sayap politik tersebut adalah “menasionalisasi” perusahaan bekas kolonial Belanda. Ini menunjukkan birahi militer untuk masuk ke dalam urusan agraria.
Pada bagian kelima: Predatory Peace, Lund menelusuri upaya petani gurem di Aceh yang berusaha kembali ke tanah mereka pasca perang saudara, meski akhirnya menemui kesia-siaan. Perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005 justru menghasilkan, dalam bahasa Lund, predatory peace. Masa damai menjadi saat emas bagi elit untuk merampas tanah (dispossession) petani gurem di Aceh. Tempat itu lalu ditanami sawit, dan pemerintah Indonesia punya andil begitu besar dalam melegalisasi konsesi lahan tersebut.
Upaya petani di Aceh yang ingin merebut kembali tanah mereka malah membuat pemerintah, polisi, dan tentara melabeli mereka sebagai kriminal karena peraturan perundang-undangan Aceh yang telah terintegrasi dengan Indonesia. Sedangkan, sodoran perjanjian tertulis antara petani dan perusahaan sawit hanyalah eufemisme dari perampasan tanah. Sebab, petani tidak diuntungkan secara ekonomi. Sementara, perjanjian yang tak setara tersebut justru membuat hak asasi mereka sulit diklaim.
Gairah pemerintah atas bisnis sawit menjadi muasal legalisasi konsesi lahan sawit dengan cara manipulatif. Gayung bersambut, perusahaan sawit terus merampas tanah petani gurem dengan legitimasi hukum dan “mengamankan” lahan menggunakan pasukan bersenjata dan otoritas pemerintahan. Ini menguatkan, seperti kata Lund, bagaimana legalisasi tanah saja tidak cukup untuk merampas tanah petani. Alih-alih, perlu kekuatan di luar hukum untuk mengamankan tanah demi kepentingan kuasa.
Lund telah menegaskan bagian pertama bahwa hukum sebagai arena pertarungan yang tidak netral bagi petani gurem. Sebab, perusahaan dapat mengonsolidasikan polisi, hakim, jaksa, dan preman untuk mengarahkan hukum agar melegalisasi klaim mereka atas kepemilikan tanah. Petani menyadari fenomena hukum seperti itu, tapi bukan berarti naif terhadap potensi kekuatan hukum sebagai instrumen untuk memastikan hak mereka.
Strategi Rakyat Mendapatkan Legalisasi Tanah
Lund memotret beragam siasat rakyat untuk memperoleh legalisasi atas tanah yang mereka kuasai, bahkan di bawah ancaman kekerasan sekalipun. Mereka beraliansi dengan kelompok sipil, persatuan mahasiswa, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memperjuangkan pengakuan atas penguasaan tanah dengan mengklaimnya secara hukum. Lund menemukan, di saat petani melayangkan klaim kepemilikan, sering kali mereka menghadapi kekerasan terorganisir dari koalisi perusahaan. Secara garis besar, ini merupakan ilustrasi fenomena dari bagian kedua sampai ketujuh dalam karya Lund.
Berbagai upaya hukum dan di luar hukum dilakukan, yakni dengan melayangkan klaim siapa pemilik tanah yang legal dan ilegal. Perusahaan akan memanfaatkan status legal/ilegal itu untuk mengonstruksikan situasi sosial, politik, dan hukum sebagai jangkar guna melanggengkan perampasan tanah. Lund menunjukkan upaya-upaya rakyat dalam memanfaatkan pengakuan (recognition) melalui legalisasi melalui studi kasus di setiap bagian buku ini.
Misalnya pada bagian Ground Work yang menjabarkan siasat petani di perkampungan Pergulan, Sumatra Utara, di mana mereka menggunakan sejarah penguasaan generasional sebagai argumen di ruang persidangan guna melawan Perusahaan LonSum agar memperoleh legalisasi atas tanah yang diduduki korporasi. Aliansi petani berhasil membatasi kerakusan Perusahaan LonSum sehingga mengikis peluang penggunaan Undang-Undang Perkebunan 2004 yang mengkriminalisasi petani melalui Judicial Review.
Kemudian, strategi masyarakat adat di gunung Halimun, Jawa Barat, yang diungkap Lund pada bagian ketiga: Indirect Recognition, yang menggunakan pengakuan tidak langsung (indirect recognition), yakni melalui pengakuan pemerintah atas identitas adat. Pengakuan oleh pemerintah disebut oleh Lund sebagai pengakuan tidak langsung atas penguasaan tanah. Proses legalisasi ini tidak berlangsung di dalam ruang persidangan, melainkan berkoalisi dengan unsur pemerintahan.
Pengalaman Serikat Petani Pasundan (SPP) dimunculkan Lund pada bagian keempat: Occupied! Ia menunjukkan keberhasilan petani meramu strategi untuk mendapatkan legalisasi dengan penguatan organisasi dan kaderisasi, lalu melakukan pendudukan tanah. Dari situ, SPP mendapatkan 69 hektare tanah yang kemudian dibagikan kepada anggota mereka. Secara eksplisit, pengakuan kepemilikan tanah (sertifikat) dipegang oleh SPP sebagai subjek hak atas tanah, bukan petani dalam SPP. Strategi pendudukan ini juga dilakukan oleh warga di kawasan urban di Bandung yang dijelaskan pada bagian keenam: OnTrack. Situasinya berbeda dengan SPP, di mana pendudukan kawasan urban Bandung dilakukan di kawasan rel kereta api sejak pasca pendudukan Jepang. Akhirnya, dengan mengklaim secara bertahap (incremental) hak atas pemukiman serta infrastruktur, penduduk berhasil mendapatkan pengakuan kepemilikan tanah secara tidak langsung.
Berbagai keberhasilan kelompok masyarakat dalam mendapatkan pengakuan tidak lantas membuat situasi mereka aman di atas tanah yang mereka miliki. Tentu saja, perubahan ekonomi politik akan terus mempengaruhi status mereka atas penguasaan tanah (hukum). Rezim terus berubah dan tanah masyarakat akan selalu menjadi incaran perusahaan yang penguasaannya dapat diambil alih sesuai dengan perubahan rezim hukum.
Lund tidak memeriksa secara detail mengenai perubahan penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara, khususnya pra dan pascareformasi dalam jangka panjang. Di era prareformasi, kekuatan militer memang mendominasi segala lini kehidupan. Namun pada masa pascareformasi, kekuatan polisi yang didukung oleh seperangkat peraturan perundang-undangan berhasil menggeser kekuatan militer di segala sektor ekonomi politik. Jika melihat perubahan politik tersebut, banalitas kekerasan sering kali diperagakan oleh polisi yang menjadikan wilayah sipil bak medan pertempuran. Namun sayangnya dalam buku ini, analisis Lund mengenai pengerahan kekuatan polisi dalam isu perampasan tanah belum dilibatkan secara mendalam.
Biografi penulis:
Miftahul Huda, Pengabdi Bantuan Hukum di YLBHI-LBH Yogyakarta dan peneliti serabutan di bidang gender, politik, dan lingkungan. Dapat dihubungi melalui surel miftahhuda1932@gmail.com.