Kapitalisme Semu di Asia Tenggara: Yang Kuat Menang, yang Kalah Menjadi Bayangan 

Dipublikasikan oleh Nuruma Uli Nuha pada

Kunio, Yoshihara. 1988. The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia (Munculnya Kapitalisme Semu di Asia Tenggara). Penerbit Universitas Oxford.


Kapitalisme erat kaitannya dengan Revolusi Industri yang telah mengubah arah perekonomian agraris menjadi ekonomi industri. Ideologi ini berfokus pada monopoli pasar bebas demi meraih keuntungan berlipat ganda. Di Barat pada abad ke-19, kapitalisme yang dinamis berhasil menggantikan sistem feodal dan mendorong kemajuan teknologi serta ekonomi. Namun demikian, di Asia Tenggara, kapitalisme yang berkembang merupakan kapitalisme semu atau ersatz–begitulah argumen Yoshihara Kunio dalam bukunya “The Rise of Ersatz Capitalism In Southeast Asia.” Buku ini menguraikan pembentukan kapitalisme semu di Asia Tenggara dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menariknya, pada bab lampiran, buku ini disajikan data perusahaan dan para kapitalis–baik dari etnis Tionghoa maupun kelompok yang disebut dengan “pribumi”–yang beroperasi di Asia Tenggara. 

Bagian satu membahas tentang istilah semu dan beberapa masalah yang melatarbelakangi terbentuknya kapitalisme semu. Kapitalisme dianggap “semu” karena campur tangan pemerintah yang mendominasi lapisan atas perekonomian. Kondisi ini melahirkan pemburu rente di kalangan birokrat pemerintah yang menghambat perkembangan wirausaha, terutama bagi wirausaha pribumi yang kesulitan bersaing dengan pengusaha Tiongkok yang memiliki koneksi kuat dengan pemerintah dan birokrasi. Selain itu, kurangnya dukungan teknologi yang memadai membuat industrialisasi sulit berkembang secara mandiri, sehingga masih sangat bergantung pada teknologi asing.

Bagian kedua membahas ekspansi modal asing di Asia Tenggara sebelum Perang Pasifik, yang didominasi oleh modal Barat dan sebagian oleh modal Jepang. Investasi asing memonopoli komoditas primer seperti gula, timah dan kayu gelondongan. Setelah Perang Pasifik, terjadi kebangkitan ekonomi yang signifikan ketika pemerintah Asia Tenggara mengambil alih industri melalui nasionalisasi dengan membatasi masuknya modal asing. Pemerintah mulai membangun perusahaan nasional seperti Petronas dan Pertamina untuk mengendalikan sektor minyak, sehingga memperdalam jurang modal asing. Evolusi pola investasi asing ini mencerminkan dinamika politik dan ekonomi pasca-Perang Pasifik hingga tahun 1970-an. Pada periode pasca-Perang Pasifik, Jepang mengembangkan bisnis di Asia Tenggara melalui investasi besar di sektor manufaktur dan ekspor. Namun investasi Jepang lebih sering berbentuk pinjaman daripada investasi langsung, sementara perekonomian tetap dikuasai oleh perusahaan nasional.

Ekspansi modal Tiongkok di Asia Tenggara, khususnya pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, dimulai dari sejarah perdagangan mereka dengan Barat serta kebijakan ekonomi global yang menguntungkan. Mereka berhasil membangun lembaga-lembaga kapitalis yang kuat–terutama di sektor perbankan dan menjalin kemitraan bisnis dengan Barat. Tantangan utama yang dihadapi oleh modal Tiongkok adalah persaingannya dengan modal Barat yang besar pada sektor teknologi, serta kemungkinan adanya diskriminasi etnis dan kebijakan proteksionis di beberapa negara. Faktor agama dan kepercayaan telah melahirkan sentimen anti-Tionghoa–terutama di Indonesia dan Malaysia–yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Meskipun demikian, keberhasilan ekspansi modal Tiongkok terlihat dari kepiawaian mereka dalam menghadapi krisis ekonomi, seperti Depresi Besar (The Great Depression) pada tahun 1929, dan menggeser dominasi kapital Barat di kawasan Asia Tenggara. 

Diskriminasi dan sentimen anti-Tionghoa di Asia Tenggara membuat orang Tiongkok dan etnis Tionghoa merasa terancam, takut, dan khawatir posisinya akan dihalangi oleh pribumi. Untuk mempertahankan ekspansinya, mereka mencari perlindungan dari pemerintah dan penguasa di wilayah tersebut. Perlindungan ini tidak diberikan secara cuma-cuma; jika mendapatkan keuntungan, mereka akan membaginya dengan pemerintah dan penguasa, yang pada gilirannya memperkaya diri mereka sendiri.

Bagian ketiga–yang merupakan klimaks buku ini–mengungkapkan makna sebenarnya dari kapitalisme semu. Istilah “pemburu rente” merujuk pada kapitalis yang aktif memanfaatkan hubungan mereka dengan pemerintah atau birokrasi untuk meraih keuntungan bisnis melalui keringanan pajak, proteksi, izin ekspansi, dan wewenang khusus. Istilah ini berbeda di berbagai negara: di Filipina, mereka dikenal sebagai “kapitalis konco” semasa pemerintahan Marcos dan di Thailand, mereka disebut “kapitalis birokrat.” Sementara itu, di Indonesia dan Malaysia yang memiliki kesultanan atau kerajaan, mereka disebut “kapitalis keraton” yang melibatkan keluarga kerajaan dalam kegiatan bisnis.

Kunio menitikberatkan pembahasan pada kekuasaan pemburu rente dalam memonopoli perekonomian untuk mendapatkan keuntungan dengan cepat. Di negara-negara dengan sistem diktatorial, kepala negara memanfaatkan kekuasaan mereka dengan memberikan hak istimewa kepada kapitalis yang menguntungkan dari penjualan sumber daya alam kepada perusahaan multinasional dan menggantungkan diri pada bantuan ekonomi luar negeri. Sebagai timbal balik, para kapitalis ini memberikan keuntungan kepada penguasa negara. Sistem pemerintahan semacam ini telah menghalangi wirausaha pribumi yang tidak memiliki banyak modal dan koneksi seperti pengusaha dari Tiongkok untuk terlibat dalam kapitalisme di negaranya sendiri. Akibatnya, korupsi dan kolusi dalam praktik pemburu rente semakin merajalela dan telah mendarah daging dalam sistem pasar bebas Asia Tenggara hingga saat ini.

Selain menjadi pemburu rente, kapitalis juga adalah seorang spekulator. Mereka bermain di investasi komoditas, perjudian seperti di kasino, valuta asing, dan saham. Spekulator meminjam dari lembaga keuangan untuk berinvestasi di pasar saham. Pengusaha yang memiliki koneksi politik kuat akan lebih mudah mendapatkan pinjaman dari bank-bank pemerintah. Mereka juga terlibat dalam praktik-praktik yang merugikan seperti membakar perusahaan untuk klaim asuransi, penyelundupan, dan penggelapan pajak di pasar gelap.  Praktik curang ini didukung oleh petinggi militer yang berkuasa penuh terhadap negara pada masa itu. Intervensi pemerintah yang tidak sehat, kurangnya pengawasan, serta diskriminasi terhadap orang Tionghoa telah menciptakan lingkungan yang subur bagi pemburu rente dan masalah ekonomi-politik di Asia Tenggara.

Masalah rente di Indonesia mulai mencuat pada masa pemerintahan Soeharto. Dengan kekuasaannya, ia merambah dunia bisnis di berbagai sektor yang melibatkan keluarga besarnya. Tak hanya itu, Soeharto juga membagi kekuasaannya kepada para petinggi militer yang menguasai wilayah-wilayah tertentu di Indonesia untuk menjalankan bisnis kapitalisme. Soeharto sangat terbuka terhadap modal asing; para kapitalis yang memiliki hubungan baik dengan petinggi militer dan yang merupakan konco Soeharto mendapat hak istimewa untuk menjalankan bisnis di Indonesia. Mereka yang pernah terlibat dalam birokrasi dan pemerintahan tetap mampu menjalankan praktik rente ini, bahkan setelah masa pensiun tiba. Kebanyakan klien bisnis yang mereka bantu adalah orang Tionghoa.

Keadaan ini agak berbeda dengan yang terjadi di Filipina pada masa pemerintahan Marcos. Marcos juga terlibat dalam kegiatan bisnis kapitalisme bersama konco-konconya, terutama para kapitalis yang mendukung pemerintahannya. Ia memeras perusahaan-perusahaan yang ia bantu untuk menarik keuntungan dari mereka. Akibatnya, korupsi dan kolusi semakin merajalela dalam sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi negara ini. Hingga ia lengser dari pemerintahan, Marcos meninggalkan beban hutang yang besar bagi negara. 

Bagian keempat menjelaskan alasan masih bergantungnya Asia Tenggara pada modal asing karena tuntutan industrialisasi. Kunio menjelaskan pentingnya mengembangkan sektor manufaktur sebagai penggerak ekonomi. Namun, sektor manufaktur harus didukung oleh teknologi yang canggih. Dorongan industrialisasi dalam pengembangan produk baru untuk mendukung ekspor, membuat para kapitalis ketergantungan pada impor mesin-mesin dari luar. Idealnya, industrialisasi seharusnya mendorong inovasi dan kreativitas dari masyarakat untuk mencapai efisiensi yang lebih baik. Kapitalis di Asia Tenggara cenderung bergantung pada teknologi dan lisensi luar negeri akibat kurangnya investasi pemerintah dalam sains dan teknologi. Mereka lebih suka membeli pabrik siap pakai daripada mengembangkan teknologi sendiri, karena keterlibatan pemerintah dalam memberikan proteksi dan subsidi kepada industri mudah didapatkan. 

Kesimpulan 

Buku ini lahir dari perjalanan panjang Yoshihara Kunio sebagai seorang akademisi yang berhasil menyoroti praktik-praktik kapitalisme yang tidak wajar di Asia Tenggara. Seperti yang dijelaskan di awal, ia menggambarkan bagaimana campur tangan pemerintah dapat mempengaruhi dinamika kapitalisme di wilayah ini. Hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme yang berkembang di Barat. Kunio tidak mengecam intervensi pemerintah dalam perekonomian. Di Barat pun, perekonomian diatur oleh negara. Namun demikian, Kunio mempertanyakan bagaimana caranya mengatur dan memperbaiki intervensi pemerintah untuk perkembangan sistem kapitalisme yang lebih baik dan efektif.

Perkembangan perekonomian negara-negara Global Selatan telah tertinggal jauh dibandingkan dengan Barat, terutama dalam penguasaan teknologi canggih, permodalan, dan akses ke pasar bebas. Sulit bagi negara-negara Global Selatan untuk menerobos monopoli yang ada, sehingga barang-barang industri manufaktur yang mereka hasilkan menjadi sulit dijual di pasar internasional. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah mendorong perusahaan dalam negeri untuk bekerja sama dengan perusahaan multinasional yang dapat menjamin teknologi serta mendapatkan jatah pangsa pasar yang mereka kuasai.

Buku ini dilarang terbit oleh Mahkamah Agung Indonesia. Mereka mengklaim bahwa Kunio telah menyudutkan pemerintahan dan mendiskreditkan presiden pada masa itu, yaitu Soeharto. Namun, keterlibatan pemerintah dan penguasa pada masa itu telah mendarah daging hingga kini dalam sistem perekonomian Indonesia. Kegiatan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin merajalela dalam praktik-praktik pemerintahan terus mempengaruhi pertumbuhan negara tanpa adanya perbaikan yang berarti dalam sistem kenegaraan. Pasca-Reformasi, keterlibatan kapitalis dari Tiongkok dan pengusaha etnis Tionghoa dalam sistem perekonomian dan perkembangan negara menjadi begitu pesat, menciptakan persaingan dan ketegangan antara pengusaha pribumi dan Tionghoa..

Dari sekian banyak masalah yang rumit di Asia Tenggara, salah satu yang paling mendesak adalah penguasaan teknologi. Teknologi di Asia Tenggara masih belum mampu bersaing dengan teknologi yang jauh lebih canggih seperti milik Barat. Namun, perekonomian harus tetap berjalan, sehingga jalan yang tampak adalah bergantung pada lisensi dari luar negeri. Ketergantungan ini telah mengakar begitu dalam hingga sulit dipisahkan, bahkan dengan intervensi pemerintah yang kerap kali tidak efektif. Tanpa menggerakkan sektor manufaktur secara serius untuk mendukung ekspor, negara-negara di kawasan ini tidak bisa membangun ekonomi yang mandiri dan kuat.

Rendahnya kualitas intervensi pemerintah menjadi masalah serius berikutnya dalam sistem kapitalisme di Asia Tenggara. Hal ini akhirnya melahirkan inefisiensi yang merugikan perekonomian dan memicu maraknya pemburu rente di kawasan ini. Kerumitan lainnya berkaitan dengan diskriminasi dan sentimen anti-Tionghoa di kawasan di mana kapitalisme dikuasai oleh modal dari Tiongkok. Di Indonesia dan Malaysia, rasisme terhadap etnis Tionghoa telah membebankan biaya yang besar bagi perekonomian, sehingga langkah-langkah sosial-politik menjadi sangat sulit untuk dirumuskan. Kurangnya upaya pemerintah dalam menciptakan lingkungan kapitalisme yang adil dan kondusif membuat sentimen dan ketimpangan ini semakin mudah terjadi. 


Nuruma Uli Nuha

Seorang guru di SMK Negeri di Banyuwangi, Jawa Timur, alumni Universitas Pertahanan Indonesia. Ketika kuliah, minatnya terhadap dunia sejarah, ekonomi, sosial dan politik negara sangat besar. Hal ini memotivasinya untuk menggali lebih dalam tentang sejarah peradaban dunia, termasuk perang, isu politik dalam dan luar negeri, dinamika ekonomi global, serta isu keagamaan dan terorisme. Saat ini, fokusnya adalah melakukan resensi buku mengenai sejarah peradaban dunia.