Despotisme Baru: Bagaiamana Kekuasaan Dijalankan Melalui Persuasi dan Rayuan
Keane, John. 2020. The New Despotism (Despotisme Baru). Penerbit Universitas Harvard.
John Keane, seorang professor ilmu politik dari Universitas Sydney, berupaya mengidentifikasi bentuk kekuasaan baru yang muncul pada abad 21. Keane bepergian ke banyak negara untuk menjelaskan corak terkini kekuasaan yang sedang berkembang di sebagian besar negara-negara dunia, mulai dari belahan bumi utara hingga selatan. Keane berpendapat, pada abad 21 ini telah berkembang sebuah modus kekuasaan yang berbeda dari pengalaman sejarah abad-abad lampau. Modus kekuasaan itu ia sebut sebagai despotisme baru (new despotism) yang sekaligus menjadi judul dari karyanya.
Walaupun Keane berargumen bahwa despotisme baru merupakan perkembangan kekuasasan terkini, ia tidak menyangkal bahwa bentuk kekuasaan ini memiliki akarnya di masa lalu. Hal itu termanifestasi dalam diri seorang despot yang memimpin imperium-imperium secara absolut. Seorang despot di masa lalu berkuasa dengan menyebarkan ketakutan, ancaman, dan kekerasan. Tidak ada yang aman dalam situasi ini. Despot secara personal berkuasa secara tidak terbatas dan menggunakan kekuasaannya sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Namun, bagi Keane, di dalam bentuk kekuasaan despotisme baru, seorang despot berupaya mencari cara terbaik untuk dapat mengatur masyarakat secara efisien tanpa menggunakan ketakutan, ancaman, dan kekerasan sebagai alat penundukan.
Despotisme Baru dan Beberapa Miskonsepsi
Pada umumnya, ilmuan sosial dan politik mengkategorikan kekuasaan yang dijalankan secara berlebih dan tidak demokratis sebagai otoritarianisme. Otoritarianisme secara lebih jelas merupakan anti tesis dari demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai penghambat kekuasaan. Oleh karena itu, seorang pemimpin otoriter akan melucuti semua instrumen demokrasi dengan kekuasaannya. Despotisme baru memiliki kecenderungan yang berbeda. Despotisme baru tidak menihilkan demokrasi: demokrasi tetap dijaga sebagai instrumen yang dapat menghasilkan legitimasi rakyat. Despot menjalankan kekuasaan dengan tetap mempertahankan prosedur demokrasi seperti pemilihan umum dan konstitusi.
Keane menekankan, despotisme baru bukan merupakan bentuk demokrasi yang semu, parsial, atau demokrai yang terkontrol. Ia juga bukan rezim semi-otoritarian atau semi-diktaktor. Despotisme baru juga bukan merupakan demokrasi illiberal yang gagal mempertahankan cita-cita liberalisme. Despotisme baru pada faktanya adalah reaksi perlawanan terhadap gagalnya praktik demokrasi: mereka seperti parasit, memanfaatkan demokrasi yang gagal menjalankan fungsinya saat ini (hal, 20).
Gagalnya praktik demokrasi yang tidak dapat memberikan manfaat pada sebagian besar kebutuhan rakyat memunculkan ketidakpuasan rakyat terhadap demokrasi. Demokrasi pada akhirnya dipandang secara sinis sebagai instrumen kekuasaan kelas penguasa. Seorang despot tahu bagiamana memanfaatkan situasi ini. Mereka hadir dengan mencitrakan dirinya sebagai “inkarnasi rakyat”. Mereka menggunakan kecakapan untuk merayu hati masyarakat, berupaya terlihat dekat dengan masyarakat, bersama-sama dengan masyarakat untuk membentuk imajinasi akan adanya sebuah musuh bersama. Mereka mendominasi dengan cara memenangkan hati rakyat, mendapatkan dukungan dan kasih sayang mereka, dan berkuasa secara top-down melalui teknik pemerintahan yang “ramah-rakyat”.
Rakyat bagi seorang despot adalah sumber legitimasi dan loyalitas. Menjalankan kekuasaan melalui teror dan kekerasan sama saja mendelegitimasi kekuasaan mereka. Akan sangat mudah memunculkan resistensi rakyat apabila rakyat dipaksa patuh dengan cara koersif. Bagi seorang despot, resistensi dapat berbuah delegitimasi kekuasaan dan harus segera diatasi. Mereka mengatasinya bukan dengan kekerasan, melainkan persuasi dan rayuan. Bagi Keane, persuasi dan rayuan adalah fitur yang mendefinisikan despotisme baru (hal, 17). Oleh karena itu, tidak perlu otoritarianisme untuk tetap berkuasa, despotisme baru tetap dapat disemaikan di dalam alam demokrasi.
Despotisme baru beroperasi secara lebih fleksibel, lebih samar, dan lebih efisien. Coraknya yang demikian mendatangkan kelebihan dari modus kekuasaan ini, yaitu despotisme baru memiliki daya tahan yang lebih tinggi. Ketika palu godam rakyat telah berayun dari keteraturan menuju ketidakteraturan, atau oposisi politik mulai medapatkan dukungan rakyat, mereka mengerahkan semua sumber daya yang dimiliki untuk meredam itu semua.
Pertama, apabila persuasi dan rayuan tidak lagi berfungsi, mereka menawarkan dan memasukkan rakyat pada jejaring patronase yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya material dan rasa aman berada dalam kekuasaan. Sedangkan bagi yang tetap melawan, mereka akan menggunakan kekerasan secara terukur untuk meredam perlawanan. Kedua, mereka akan membangun aliansi kekuasaan, kesepakatan bisnis, dan kompromi politik untuk menjinakkan kekuatan oposisi. Operasi ini telah berhasil membuat despotisme baru memiliki daya tahan signifikan dari serangan lawan-lawannya. Dinamika seperti ini bagi Keane terjadi di hampir seluruh sistem politik negara-negara dunia, mulai dari sistem kerjaan, satu partai, bahkan demokrasi liberal di Barat.
Sistem Kekuasaan Despotisme Baru
Despotisme baru bekerja dengan mengorganisir kekuasaan berbasis patronase, kekayaan, manipulasi pemilu, hukum dan media, mobilisasi opini publik, serta meraih simpati dan loyalitas massa. Sistem kekuasaan ini bertujuan untuk membentuk masyarakat yang telah tersubjektivikasi oleh norma-norma depotisme baru sehingga seorang despot tidak hanya berkuasa melalui legitimasi, tetapi juga memanipulasi kesadaran masyarakat.
Sulit bagi seorang despot berkuasa secara tunggal. Akan tetapi bukan berarti ia ingin membagikan kekuasaannya kepada orang lain. Yang ia lakukan adalah menjadikan kekuasaannya sebagai pusat patronase bagi siapa saja yang loyal dan menerima kekuasannya. Dengan demikian, despotisme baru juga adalah kekuasaan berbasis patronase: ia dapat memberikan kesempatan mengakses privilese yang memungkinkan seseorang mendaptakan barang dan layanan serta sumber daya material yang mereka inginkan melalui akses terhadap kekuasaan. Hal ini bekerja baik di dalam aturan formal maupun informal. Institusi negara dalam kondisi despotisme baru telah dibajak oleh jejaring patronase skala luas. Sistem kekuasaan patron-klien ini diorkestrasi oleh seorang despot untuk mendapatkan loyalitas (hal, 37).
Selain itu, bagi Keane, despotisme baru juga adalah plutokrat pada dirinya sendiri: sistem pemerintahannya tercampur antara modal swasta, kekayaan, dan pendapatan. Seorang despot akan membiarkan seseorang untuk kaya. Akan tetapi, ketika ia ingin tetap kaya, ia tidak bisa kaya sendirian. Ia perlu mempertahankan kekayaannya melalui perlindungan negara. Kekayaan tersebut akan menjadi sumber kekayaan, kekuasaan, kebesaran dan kebanggaan negara (hal, 46). Despotisme baru juga dicirikan oleh rezim akumulasi yang sangat teregulasi. Pejabat-pejabat tinggi negara juga sekaligus menjalankan perusahaan negara dan swasta. Kelas pebisnis menempatkan pejabat untuk mendapat kepastian dan perlindungan bisnis. Dalam modus kekuasaan despotisme baru, tidak ada bisnis yang independen. Bisnis dan pemerintah berbaur menjadi satu (hal, 53).
Keane juga menyoroti pemilu sebagai instrumen demokrasi yang dimanipulasi dalam kekuasaan despotisme baru. Pemilu tidak berfungsi sebagai partisipasi warga negara dalam memilih wakil-wakilnya, melainkan pemilih didorong untuk mengaggap diri mereka sebagai subjek yang loyal terhadap pemerintahan yang berkinerja baik. Pemilu dirancang sebagai benteng pertahanan pemerintah dari rakyatnya. Kekuasaan yang didapati melalui pemilu selanjutnya digunakan untuk menjaga kekuasaan itu sendiri. Dengan demikian, menurut Keane, despotisme baru menjalankan pemilu tanpa demokrasi (hal, 104).
Selain pemilu, despotisme baru juga memanipulasi hukum sebagai instrumen kekuasaan. Dalam kondisi ini, tidak ada hukum dalam pengertian yang sebenarnya. Sebaliknya, hukum secara bersamaan bisa nyata sekaligus ilusif; ada tetapi tidak ada; hadir tetapi absen. Hukum berarti ketaatan, penyalahgunaan, dan ketiadaan hukum. Dengan kata lain, aturan hukum (rule of law) memiliki kualitas yang semu, dan yang ada hanyalah kekuasaan melalui hukum (rule through law) (hal, 183, 191).
Media juga merupakan fitur kekuasaan despotisme baru. Media dalam kondisi despotisme baru menjalankan fungsinya sebagai manipulator yang berupaya memenangkan penerimaan dan kesepakatan rakyat. Inovasi media yang sedang berkembang digunakan seorang despot untuk menyebarkan kuasa despotiknya. Hal itu dapat bekerja secara keras sekaligus halus. Pertama, despot berupaya mengontrol perusahaan media, pemberitaan, dan pemadaman sarana internet untuk tujuan tertentu yang diinginkan. Kedua, despot tidak anti-media, mereka tidak bersembunyi dibalik layar dengan kerahasiaannya, akan tetapi mereka menggunakan media sebagai panggung depan untuk bisa terlihat dan disukai oleh masyarakat. Di depan media, seorang despot dapat berakting menjadi lucu, ramah, demokratis, dan penjaga hati masyarakat. Namun, seperti yang telah ditunjukkan Keane, sebagian besar pemimpin despotik di negara-negara dunia menjadikan media sebagai sarana penerimaan dan rayuan (hal, 113-154).
Selain media, despot memobilisasi opini publik untuk memperkuat kekuasaannya. Despot mengontrol kaum terdidik, surveyor, dan lembaga think-tank untuk mendapatkan data sekaligus sebagai sistem peringatan dini. Seorang despot mendapatkan data melalui polling opini untuk mengetahui opini yang berkembang di masyarakat tentang kebijakan tertentu. Selain itu, hal ini merupakan sistem yang dapat memberitahukan potensi ketidakteraturan sosial dan perlawanan masyarakat terhadap pemerintah. Atas pertimbangan ini, despot harus secara konstan dekat dengan masyarakat untuk memastikan bahwa tidak terjadi jarak yang berjauhan antara pemerintah dan masyarakat. Despot harus tetap melihat, dan mendengar dari bawah agar tujuan harmonisasi melalui opini publik menjadi nyata (hal, 168).
Selain itu, yang paling penting di sini adalah despotisme baru membawa pemahaman dalam kesadaran masyarakat bahwa dipimpin oleh seorang despot bukanlah merupakan suatu tragedi yang mengenaskan. Sebaliknya, masyarakat dapat dengan mudah mencintai seorang despot melalui persuasi dan rayuan. Dalam hal ini, menurut Keane, despotisme baru telah mentransformasi rakyat menjadi instrumen kekuasaan, yakni sebagai seorang budak secara sukarela, atau apa yang ia sebut sebagai perbudakan-sukarela (voluntary-servitude) (hal, 215).
Penutup
Keane menyimpulkan bahwa despotisme baru adalah jenis pemerintahan baru yang bersifat pseudo-demokrasi dan dipimpin oleh penguasa yang ahli dalam memanipulasi dan mencampuri urusan masyarakat, serta menggalang dukungan dan memenangkan persetujuan. Despotisme baru membentuk hubungan ketergantungan yang dijalankan oleh kekayaan, uang, hukum, pemilu, dan opini publik melalui saluran media, serta imajinasi tentang perlindungan “rakyat” dan “bangsa” dari serangan musuh di dalam negeri atau musuh dari luar negeri. Despotisme bagi Keane adalah piramida kekuasaan yang memupuk sikap tunduk dan patuh pada rakyat.
Namun demikian, kritik yang harus dilayangkan pada karya Keane ini adalah kecenderungannya untuk melihat kekuasaan dalam kerangka Weberian, bahwa individu yang memiliki sumber daya kekuasaan adalah sumber dominasi. Keane tidak memotret kekuasaan secara dialektis, bahwa serangan terhadap kekuasaan dominan dari mereka yang marginal adalah faktor determinan yang menentukan formasi kekuasaan. Dengan kata lain, Keane menutup celah akan adanya agensi rakyat. Ia dengan demikian seolah meremehkan agensi kreatif rakyat terhadap kekuasaan dalam berbagai bentuknya.