How Europe Underdeveloped Africa: Ihwal Nasib Afrika tanpa Imperialisme
Rodney, Walter. 1972. How Europe Underdeveloped Africa (Bagaimana Eropa Memundurkan Afrika). Penerbit Bogle-L-Ouverture.
Seperti apakah bangsa-bangsa benua Afrika apabila mereka tidak pernah dijajah dan diperbudak? Pertanyaan berbau counterfactual thinking atau andaian melampaui fakta ini adalah salah satu premis utama yang diajukan Walter Rodney dalam karyanya “How Europe Underdeveloped Africa” (“Bagaimana Eropa Memundurkan Afrika”). Karena latar belakang Rodney adalah akademisi, tentu jawabannya bukanlah fantasi fiksi sains Pan-Afrikanisme ala Wakanda. Justru, buku ini adalah petualangan filosofis menyibakkan miskonsepsi besar yang selama ini menggelayuti pemahaman kita tentang Afrika, sekaligus diskursus sehari-hari tentang realita yang kita hidupi.
Karya filsuf dari Guyana setebal 416 halaman ini, bagi saya, adalah sebuah magnum opus; sebuah mahakarya yang membuat Rodney layak disandingkan dengan pemikir neo-Marxist lain yang mengaitkan imperialisme dengan kapitalisme seperti Louis Althusser, Rosa Luxembourg, Jose Rizal, dan Theodor Adorno. Sebagai sebuah lensa pemikiran, apa yang diajukan oleh Rodney di sini tidak saja terisolasi pada wilayah Afrika. Ia dapat membentang luas; sebuah kajian universal tentang opresi yang dapat membantu pembaca memahami fenomena eksploitasi maupun implikasi yang ada di dalamnya dalam berbagai tingkatan, bahkan sebagai kritik situasi negara kita saat ini.
Dibagi menjadi enam bab, semua bagian buku ini bertumpu pada bab pertama, yang merupakan dekonstruksi konsep kunci utama, yakni pembangunan (development) dan pemunduran (underdevelopment). Pertautan keseluruhan buku ini menjadikan buku ini sesuatu yang layak untuk dibaca lebih dari sekali. Oleh karena itu, pemahfuman penuh atas premis yang diajukan Rodney di bab pertama penting untuk didapatkan sebelum melangkah pada petualangan ini.
Rodney memulai karyanya dengan sebuah pertanyaan fundamental yang seringkali disepelekan oleh para akademisi sekalipun. Apa itu pembangunan? Apa saja yang menjadi kriteria sebuah pembangunan yang baik? Siapa yang menentukan kalau sesuatu itu tergolong maju (developed) atau terbelakang (underdeveloped)? Akan sangat mudah bagi kita untuk setuju bahwa pembangunan adalah tentang infrastruktur, pendidikan, medis, dan pemisahan manusia dari alam. Memang, sejak masa kanak-kanak, kita selalu dicekoki ajaran bahwa pembangunan itu adalah soal infrastruktur dan ekonomi. Banyak dari kita terpukau oleh narasi para politisi kita soal pembangunan. Saya pun harus mengakui bahwa saya jarang merefleksi isu ini sebelum membaca dekonstruksi Rodney.
Rodney menentang ide ini dengan menekankan bahwa narasi pembangunan berbasis infrastruktur dan ekonomi barat adalah justifikasi yang dipakai para penjajah untuk mengeksploitasi Afrika (Rodney, 1972). Berdalih bahwa Afrika itu barbar dan tertinggal, penjajah memberangus budaya dan pengetahuan lokal yang ada, menggantikan dengan miliknya yang dianggap superior, lalu menyebutnya sebagai pembangunan. Mereka merasa, apa yang dilakukan itu adalah greater good atau kebaikan lebih besar yang mengorbankan nyawa dan identitas banyak orang. Narasi seperti ini seperti sudah menjadi klise yang dipakai opresor untuk membenarkan ekspansi dan eksploitasi mereka. Theodor Herzl, bapak Zionisme, pernah melakukannya untuk membenarkan pengusiran warga Palestina (Said, 1979).
Pembangunan yang berorientasi barat itu, menurut Rodney, tak lain mengarah pada epistemisida, atau pemberangusan pengetahuan dan budaya yang selama ini telah berkembang di Afrika, sehingga mau tidak mau budaya dan pengetahuan Afrika digantikan produk Barat. Hierarki sosial di Zimbabwe bahwa petani dan peternak domba berada pada kasta tertinggi lenyap, digantikan hierarki berdasarkan kepemilikan modal. Pembangunan kuil ibadah dengan memahat batu-batu raksasa telah digantikan oleh beton. Gereja sebagai unit produksi telah digantikan oleh pabrik. Identitas kultural Afrika hilang, digantikan budaya dominan yang mengklaim dirinya superior.
Mau tak mau, pertanyaan menyeruak dalam benak saya. Apa landasan logis yang membenarkan bahwa arsitektur rumah ala Belgia lebih baik dari rumah-rumah tradisional Kongo? Apakah benar ajaran agama yang dibawa Placide Tempels dan Albert Schweitzer lebih baik daripada filosofi tribalisme seperti Yoruba, Maasai, dan Zulu? Apakah konsep Tuhan antropomorfis penuh amarah lebih baik daripada yang didasarkan pada tetua bijak di masa lalu? Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa sistem pengetahuan berbasis sains lebih baik daripada ontologi tribal? Ini juga menjadi refleksi yang saya gunakan untuk kembali mempertanyakan isu-isu agraria yang terjadi di Indonesia.
Rodney ingin menekankan bahwa masuknya peradaban barat lewat kolonialisme hanya mencekik pertumbuhan peradaban Afrika, yang seharusnya tidak dianggap lebih rendah dari peradaban Barat. Budaya Afrika, menurut Rodney, tidaklah lebih rendah atau primitif. Ia hanya mengalami stagnansi karena cekikan penjajah dan hilangnya buruh karena perbudakan. Hampir semua budaya itu sudah lenyap, digantikan dekadensi budaya Barat yang secara perlahan mengalami asimilasi dengan budaya lokal itu sendiri.
Untuk menjawab pertanyaan tentang apa itu pembangunan, Rodney mengangkat sebuah aspek pembangunan yang mampu mengukuhkan daya cengkeram penjajah: pendidikan. Yang diangkat Walter Rodney di sini mirip dengan pandangan Freire dalam “Pendidikan Orang Tertindas.” Keduanya melihat bahwa pendidikan berfungsi sebagai instrumen yang mengintegrasi peserta pendidikan dalam konformitas terhadap sistem yang diusung penguasa (Freire, 1970). Rodney berargumen bahwa sistem pendidikan yang disuntikkan ke Afrika oleh penjajah hanyalah cara untuk melatih calon pekerja Afrika untuk dapat berkontribusi bagi kapitalis barat. Pendidikan Afrika yang sebelumnya berfokus pada subsistensi dan berdikari diri, menjadi sebuah ketergantungan pada simbiosis dengan sistem dan lembaga yang dibawa penjajah.
Pendidikan yang seperti ini akhirnya memperkuat kuasa penjajah dalam relasi ini. Jutaan peserta didik yang tidak pernah diajarkan memiliki kemampuan bertahan hidup secara independen harus tunduk pada perintah penjajah (Rodney, 1972). Inilah salah satu faktor mengapa penjajah memiliki daya tawar kuat dalam mengatur bangsa-bangsa Afrika di luar daya militer mereka. Sebelumnya, seorang pemuda Afrika bebas menghabiskan waktunya bercocok tanam, membuat kerajinan tangan, berdansa, bercengkerama, atau berburu. Sekolah Barat merenggut otonomi itu dari mereka. Kehilangan peluang mengembangkan kemampuan artistik mereka, para pemuda Afrika akhirnya hanya bisa menjalankan perintah dari pemegang kuasa. Selain itu, segala kerja yang dilakukan bangsa-bangsa Afrika hanya menjadi transferensi kekayaan pada penjajah. Perbudakan bukan hanya pada tingkat pemaksaan kerja, tapi juga dependensi artifisial yang melenyapkan agensi bangsa-bangsa Afrika dalam menentukan arah hidup mereka.
Bagi Rodney, ini adalah sebuah pemunduran (underdevelopment) yang terikat pada proses sebaliknya di Eropa, yakni pembangunan ekonomi. Pembangunan tidak pernah bisa dilepaskan dari pemunduran. Ada hubungan dialektis di sini, di mana pemunduran akan menghasilkan pembangunan. Lewat transfer kekayaan yang dimungkinkan oleh perpindahan buruh dalam perdagangan budak dan perdagangan yang dikontrol Eropa, daya pembangunan berdikari Afrika menjadi lumpuh. Jumlah tenaga kerja di Afrika mengalami penurunan drastis, sementara sumber daya yang ada tak dapat diolah karena dimonopoli Eropa yang kemudian menjadi semakin kaya. Pembangunan di benua Afrika akhirnya mengalami kemacetan artifisial bebarengan dengan penumpukan kekayaan di Eropa.
Simbiosis parasitisme antara Eropa dan Afrika ini juga memungkinkan transisi dari feodalisme ke kapitalisme (Rodney, 1972). Tak hanya soal akumulasi kapital di Eropa, kebutuhan emas dalam jumlah besar yang ditambang di benua Amerika pada akhirnya membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Ini menjadi awal salah satu perdagangan budak Afrika terbesar dalam sejarah, yakni transatlantic slave trade. Permintaan akan tenaga kerja dari Afrika meningkat drastis pada masa ini karena mereka akan dikirimkan ke benua Amerika untuk menjadi penambang. Eksodus tenaga kerja muda ini akhirnya menyisakan tetua di Afrika, memampetkan laju pertumbuhan.
Apakah semenjak dihapuskannya perbudakan di Inggris pada tahun 1807 dan Zimbabwe merengkuh kemerdekaannya pada 1980, kolonialisme dan perbudakan sudah lenyap? Dengan merenungkan tulisan Rodney, tentu jawabannya tidak. Secara de jure atau status, perbudakan dan kolonialisme memang sudah tidak ada di Afrika. Tetapi, secara de facto atau praktiknya, ini masih terjadi. Sisa-sisanya pun tidak pernah lenyap. Relasi kuasa itu masih mengikat bangsa-bangsa Afrika, dalam bentuk ketergantungan ekonomi dan politik. Dependensi artifisial itu sulit diputus. Afrika masih harus berkembang dan bertumbuh dalam arahan yang ditetapkan penjajah. Lihat saja apa yang terjadi sekarang di Sudan dan Kongo. Pembantaian Rwanda beberapa dekade silam dan banyak konflik Afrika lain juga merupakan buah turunan dari kolonialisme (Mattingly, 2011).
Akan sulit membayangkan seperti apa wajah Afrika apabila ia tak pernah dilindas oleh keserakahan imperialisme, apalagi dengan pikiran kita yang sudah dijajah oleh pendidikan ala barat. Saya juga tidak akan mengklaim bahwa jika Afrika dibiarkan berkembang, ia akan menjadi lebih baik daripada barat. Kerajaan Zagwe dan Abyssinia sudah menunjukkan banyak pertanda sifat eksploitatif dan ekstraktif. Namun mengutip perjalanan Sisyphus yang mendapatkan hukuman abadi dari Zeus dalam The Myth of Sisyphus karya Albert Camus, setidaknya memiliki agensi atas penderitaan itu lebih baik daripada tidak memiliki kendali atasnya. Jika pun eksploitasi terjadi tanpa imperialisme, setidaknya kekayaan itu (mungkin) bertahan di tanah sumbernya berada.
Daftar Pustaka:
Camus, A. (1955). The Myth of Sisyphus. Vintage International.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum.
Mattingly, D. (2011). Imperialism, Power, and Identity: Experiencing the Roman Empire. Princeton University Press.
Said, E. (1979). The Question of Palestine. Vintage.