Mencari Jati Diri dalam Reruntuhan Masa Lalu: Arkeologi, Kolonialisme, dan Relasi Israel-Palestina

Dipublikasikan oleh Stanley Khu pada

Abu El-Haj, Nadia. 2002. Facts on the Ground: Archaeological Practice and Territorial Self-Fashioning in Israeli Society (Fakta di Tanah: Praktik Arkeologi dan Pencitraan Teritorial di Masyarakat Israel). Penerbit Universitas Chicago.


1

Bagaimanakah manusia menggunakan arkeologi untuk menyokong mitos tentang asal-usul dan eksistensinya? Jika kita percaya bahwa “sejarah ditulis oleh pemenang”, maka menanyakan pertanyaan ini adalah sama halnya dengan menyelidiki peran sains dalam menopang klaim kepemilikan sekelompok manusia atas wilayah tertentu, terutama wilayah yang secara historis dicirikan oleh konflik teritorial.    

Dalam konteks inilah buku Abu El-Haj, Facts on the Ground: Archaeological Practice and Territorial Self-Fashioning in Israeli Society, menjadi relevan. Dalam bukunya ini, ia menelusuri kelindan antara arkeologi dengan proyek-proyek kolonial-nasional dalam rekonstruksi historis atas Palestina dan pendudukannya oleh Israel. Dengan demikian, studinya berfokus pada relasi antara arkeologi dan masyarakat, dan efek-efek yang ditimbulkan oleh relasi ini. Bagi Abu El-Haj, arkeologi adalah sains yang unik karena kemampuannya dalam memproduksi fakta-fakta yang bisa dilihat atau objek-objek yang menjelma (embodied); ini adalah fungsi yang tentunya tidak bisa dijalankan oleh, katakanlah, filologi atau teologi.

Dengan menyajikan secara jelas bagaimana contoh-contoh spesifik dari produksi arkeologis – proyek-proyek survei dan ekskavasi, organisasi museum, presentasi tur wisata – dapat menghasilkan sejarah, membenarkan praktik sosial, dan menentukan kebijakan politik seperti apa yang diambil negara, secara khusus studinya hendak menunjukkan tata-cara sains dalam menghasilkan fenomena atau fakta yang, pada gilirannya, menentukan apa-apa saja yang dianggap benar atau nyata, yang selanjutnya akan dipakai oleh otoritas sebagai legitimasi atas aneka praktik dan kebijakan diskriminatif mereka. 

2

Bab satu dan dua menggambarkan ketenaran ilmu arkeologi dalam masyarakat Israel (yang akhirnya mendapat julukan ‘hobi nasional’) serta koneksinya dengan kolonialisme. Alkisah, selama dekade-dekade awal berdirinya negara Israel, arkeologi perlahan-lahan melampaui batasan sempit dari disiplin akademiknya. Tidak lagi sekadar dibayangkan secara teknis sebagai ilmu tentang batu, tulang, atau fosil, arkeologi juga merangkul sentimen publik dan imajinasi populer tentang jati diri bangsa. Kita bisa mengontraskan ini dengan eksistensi arkeologi di Indonesia. Misalnya, dari hasil berselancar di dunia maya, saya dapati bahwa studi arkeologi hanya ditawarkan oleh enam PTN di Indonesia, sementara Israel sendiri memiliki lima prodi arkeologi. Enam tentu lebih besar dari lima, tapi jika kita menimbang perbedaan luas geografis, angka ini bisa dikatakan sangat kecil. Dari sini, bisa disimpulkan bahwa di Israel, arkeologi adalah medan utama bagi ketahanan identitas nasional. 

Nadia Abu El-Haj

Sebagai objek studi, usaha pertama untuk mengkaji Palestina secara arkeologis dilakukan lewat Palestine Exploration Fund, yang didirikan di London pada bulan Mei 1865, dengan survei perdana yang dilakukan pada 1871. Survei ini pertama-tama melibatkan proses pematokan batas-batas pasti dari Palestina sebagai sebuah kategori legal atau ‘kartografi’. Dalam hal ini, kartografi menyajikan Palestina sebagai sebuah tempat historis yang konkret dan koheren, yang bisa dikenali dengan segera di peta-peta modern dan terbedakan dengan jelas dari tempat lain. Tapi, karena survei ini baru terlaksana melalui kerjasama dengan militer Inggris (yang saat itu menguasai mayoritas Timur Tengah), proyek arkeologi di Palestina sejak semula memang mengindikasikan kelindan antara sains dan kolonialisme. 

Kelak, survei kartografis inilah yang juga memungkinkan Inggris untuk menjanjikan sebuah ‘Palestina’ yang konkret dan tergambar jelas di peta sebagai rumah bagi warga Yahudi seluruh dunia, sebagaimana terkandung dalam Deklarasi Balfour pada 1917. Dengan demikian, survei arkeologis atas Palestina tidaklah sekadar membantu pemahaman atas tempat kelahiran Injil secara saintifik, tetapi juga mengintervensi dunia sosial-politik dengan cara yang imajinatif dan konkret. Hal ini bersifat ‘imajinatif’ karena melaluinya kaum Zionis mampu membayangkan secara pasti tanah yang mereka klaim telah dijanjikan kepada mereka sejak era Moses, dan bersifat ‘konkret’ karena orang Palestina sampai sekarang mengalami konsekuensi fisik-material dari survei yang dilakukan dua abad silam ini. 

Bab tiga dan empat berargumen bahwa dalam proses memetakan dan menamakan ulang objek-objek dan tempat-tempat dalam lanskap Palestina, pemerintah Israel tidak hanya menghubungkan semua objek dan tempat ini dengan narasi biblikal, tetapi juga menulis ulang sejarah Palestina melalui pembayangan ihwal sebuah komunitas terbayang yang merentang dari masa kini sampai masa silam yang jaya (misalnya: periode David atau Herod). Pemetaan dan penamaan ulang ini mentransformasi artefak menjadi fakta, yang melaluinya sebuah narasi yang kohesif dan historis tentang Palestina (dan klaim Israel terhadapnya) dapat mengambil bentuk yang empiris dan faktual – sesuatu yang disebut Abu El-Haj sebagai proses pengumpulan arte(fakta). Dengan kata lain, arkeologi di Israel bisa dibaca sebagai sebuah strategi epistemologis untuk menghadirkan Palestina sebagai rumah eksklusif bangsa Yahudi, baik secara material (melalui penentuan lokasi spesifiknya pada peta) maupun linguistik (melalui penamaan ulang atas hal-ihwal di dalamnya ke dalam istilah Yahudi).

Bab lima dan enam menyoroti problema dari upaya politis untuk menyamakan temuan artefak di Palestina dengan kelompok etnik tertentu (baca: Yahudi). Penyamaan ini berisiko mengabaikan aspek-aspek dan momen-momen tertentu dalam sejarah untuk kemudian secara obsesif berfokus semata pada satu argumen tunggal (yakni: historisitas negara Israel), yang pada gilirannya bakal menuntun pada sirkularitas dalam argumen historis. Dengan kata lain, temuan-temuan arkeologis hampir pasti akan ditafsirkan menurut bias atau prakonsepsi yang telah dianut sebelumnya. 

Misalnya, dengan merujuk pada sebuah periode abad-abad silam tertentu sebagai ‘periode Israel’, semua artefak yang ditemukan dalam cakupan periodik ini – puing-puing atap rumah, serpihan keramik, pecahan gerabah, dst. – bisa secara ideologis dan semantik dihubungkan dengan eksistensi Israel saat ini. Kontraskan kekonstanan istilah ‘Israel’ ini dengan, misalnya, ‘Indonesia’, yang pastinya tidak eksis di zaman Sriwijaya atau Majapahit. Dengan kata lain, terlepas dari seruan Soekarno tentang kesinambungan historis antara Republik Indonesia dengan kerajaan-kerajaan Nusantara masa lampau, istilah ‘Indonesia’ sendiri telah menyibak modernitas dari republik. Di sisi lain, bagi otoritas Israel, negara kontemporer mereka dan era dua kerajaan dari Zaman Perunggu benar-benar dibayangkan sebagai satu entitas yang sama, sebuah situasi di mana apa yang arkeologis dan mitologis berkelindan tanpa bisa dibedakan.

Bab tujuh dan delapan menunjukkan bagaimana ketumpangtindihan dalam ranah-ranah praktik – legal, militer, politik, akademik (arkeologi, arsitektur, planologi, desain museum) – telah merajut kesejarahan dengan cara yang amat hegemonik dalam relasi Israel-Palestina. Satu contoh utamanya adalah penghancuran Maghariba Quarter (Harat al-Maghariba) pada 1967. Pertama kali didirikan pada 1193 oleh Malik al-Afdal, putra Saladin, situs ini difungsikan sebagai tanah wakaf bagi para sarjana dan peziarah Afrika Utara (al-maghreb dalam bahasa Arab). Enam ratusan orang dipaksa mengungsi dan ratusan rumah dihancurkan menjadi sebuah lapangan. Alasan penghancuran situs yang telah berumur lebih dari tujuh abad ini adalah semata-mata karena letaknya yang bersebelahan dengan Tembok Barat (Tembok Ratapan), yang secara simbolik tentu bertolak belakang dengan autentisitas Yahudi yang dipancarkan oleh tembok ini.

Contoh lain dari ketumpangtindihan ini adalah fakta bahwa semua situs arkeologis di Israel yang berhubungan dengan praktik religius dan religiusitas Yudaisme, semisal Tembok Barat dan terowongan yang terhubung dengannya, dikelola tidak oleh departemen/balai arkeologi, tetapi berada langsung di bawah kontrol kementerian agama. Dalam hal ini, sebuah situs tidak hanya dipahami sebagai warisan nasional dalam pengertiannya yang sekuler (baca: milik semua warga negara dengan KTP Israel), tapi utamanya, sebagai ruang religius yang eksklusif bagi orang Yahudi. 

Bab sembilan dan sepuluh menuturkan nasib kerja-kerja arkeologi di Israel pasca perjanjian Oslo tahun 1993. Menurut perjanjian ini, pemerintah Israel harus menarik diri dari kota-kota seperti Jericho dan Gaza yang terletak di wilayah Tepi Barat dan menyerahkan kontrolnya kepada pemerintah Palestina. Satu pertanyaan yang segera muncul adalah: bagaimana nasib ekskavasi atas peninggalan arkeologis Israel kuno yang situs-situsnya kebetulan berada di wilayah ini? Apakah pemerintah Israel masih berhak melanjutkan upaya mereka mencari jati diri di reruntuhan masa lalu? Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah: bagaimana nasib artefak-artefak dari Tepi Barat yang selama puluhan tahun terakhir telah digali dan dipindahkan oleh pemerintah Israel ke museum-museum mereka? Apakah semua artefak ini harus dikembalikan kepada bangsa Palestina? Ataukah Israel berhak menyimpannya karena mereka adalah pewaris sah dari peninggalan purbakala ini? 

Kita tahu bahwa Perjanjian Oslo berumur pendek, dan cukup masuk akal untuk membayangkan peran arkeologi dalam berakhirnya perjanjian ini. Melalui usaha gigihnya mengumpulkan dan membela klaim atas kepemilikan arte(fakta), kita bisa menyimpulkan bahwa Palestina tidak sekadar dikolonisasi oleh Israel secara teritorial, tapi juga pada level makna. Dari sini, dengan nada yang pesimis, kita bisa menyimpulkan lebih lanjut bahwa arkeologi telah berperan dalam menanamkan sebuah gagasan ihwal ‘Israel Raya’, yang membayangkan semua tanah yang di bawahnya terkandung objek-objek arkeologis yang terasosiasi dengan ‘Israel Kuno’ sebagai bagian dari negara Israel, dan yang tidak segan-segan dalam menerapkan genosida demi mencapai gagasan ini.

3

Kontribusi utama studi ini adalah caranya mempersoalkan penciptaan negara Israel modern dan, secara umum, isu tentang bagaimana paradigma historis yang lahir dari posisi ideologis tertentu menuntun penerapan studi-studi saintifik sekaligus terjelmakan secara fisik lewat studi-studi ini. Istilah ‘modern’ sengaja dipakai di sini, karena bagi Abu El-Haj (mengikuti Anderson), nasionalisme pada hakikatnya adalah sebuah fenomena yang artifisial dan dibayang-bayangkan. Terutama dalam kasus negara Israel, nasionalismenya pada dasarnya hanya setua proyek kolonial Zionis yang baru lahir pada akhir abad ke-19 di Eropa.

Dengan kata lain, studi Abu El-Haj adalah perihal hakikat politis dari sains, perihal bagaimana sains dapat beroperasi sebagai metafora bagi nilai-nilai nasional dan politis tertentu. Ini tidak hanya membuktikan kapasitas sains untuk terlibat dalam politik, tetapi juga fungsinya dalam memelihara atau bahkan memajukan kebijakan-kebijakan kolonialis ke level berikutnya. Dalam konteks Israel, boleh dibilang bahwa sains seperti arkeologi telah berperan dalam mengimbuhi keyakinan pada sejarah dengan semacam aura religius, di mana narasi historis tidak lagi sekadar diyakini, tapi, lebih tepatnya, diimani, sebagaimana orang Israel mengimani narasi biblikal mereka.


Stanley Khu

Stanley Khu, kelahiran 1 Juli 1990, menamatkan pendidikan S1 Antropologi di Universitas Padjadjaran tahun 2013, dan S2 Sosiologi di Jawaharlal Nehru University, India, tahun 2016. Minat kajian adalah seputar etnisitas dan agama, serta eksplorasi teoritis dalam kerangka filosofis, sosiologis, dan antropologis Saat ini bekerja sebagai pengajar di jurusan Antropologi Universitas Diponegoro.