Cincin Nibelung, Kuasa, Propaganda: Richard Wagner dan Jerman di Era Bismarck
Spencer, Stewart dan Barry Millington. 2010. Wagner’s Ring of the Nibelung (Cincin Nibelung). Penerbit Thames & Hudson.
Semenjak mengetahui bahwa saga Middle Earth-nya J.R.R. Tolkien didahului oleh opera-opera Richard Wagner (1813-1883), saya jadi tertarik mempelajari karya dia. Salah satunya, tetralogi Der Ring des Nibelungen (Cincin Nibelung), atau disebut Siklus Cincin dalam versi opera. Wagner—yang juga menulis skenario opera-operanya sendiri, merangkum berbagai sumber mitologi Jermanik dalam karya yang rampung dalam waktu 26 tahun tersebut. Sebagai komposer dan nasionalis radikal, karya Wagner menjadi ikon budaya Jerman di era Kanselir Otto von Bismarck–sang penyatu Jerman di bawah panji kepolisian dan militeristik: Blut und Eisen.
Siklus Cincin merupakan sintesis dari berbagai naskah Jermanik kuno, kitab epos Islandia abad ke-12 Poetic Edda karya Snorri Sturlusson, saga Völsunga; dan sastra Teuton seperti epos Jermanik kuno Nibelungslied dan Hildebrandslied yang penulisnya anonim. Barry Millington dan Stewart Spencer menerjemahkan teks arkais-modern Der Ring menjadi skenario berbahasa Inggris. Millington dan Spencer menambahkan konteks sejarah, termasuk kondisi sosio-politik yang mempengaruhi kepenulisan Wagner. Selain itu, mereka juga membahas tantangan linguistik, terutama kesulitan menerjemahkan syair “arkais Jerman” karya Wagner.
Millington dan Spencer tak menyertakan arkaisme bahasa Jerman dalam sajak Wagner ketika diterjemahkan ke bahasa Inggris modern. Dampaknya, konsep nasionalisme dari karya Wagner—Deutschtum—terasa kurang interpretatif, bahkan samar. Dengan mensimplifikasi diksi, Millington dan Spencer malahan jadi mengabstraksi konteks. Selain itu, kalimat yang digunakan dalam terjemahan karya, terasa lebih gamblang dibandingkan teks asli Wagner yang sebetulnya penuh kiasan dan rima. Selain itu, sebagai teks terjemahan yang berdiri sendiri, Siklus Cincin tidak dapat menyampaikan Deutschtum dengan konsep “total work of art” (Gesamtkunstwerk dalam bahasa Jerman). Konsep ini mencampurkan berbagai media secara komprehensif, termasuk memadukan musik, seni visual, bahkan muatan politis sebagai bagian dari karya. Wagner merupakan pencetus Gesamtkunstwerk dalam dunia seni. Oleh karena itu, pandangan politik dalam karya tulis Wagner, kerap kali dihubungkan dengan opera-opera yang selama Perang Dunia II digunakan untuk mempropagandakan Nazisme.
Lika-liku Cincin Nibelung
Der Ring (opera Siklus Cincin) terdiri dari empat komposisi yang berkesinambungan: Das Rheingold, Die Walküre, Siegfried, dan Götterdämmerung. Keempat teks tersebut diterbitkan pada 1853. Karya ini mengeksplorasi tema kekuasaan, cinta, keserakahan, dan kehidupan manusia.
Das Rheingold, bagian pertama Der Ring, mengisahkan asal-usul Cincin Kuasa legendaris, ditempa dari Rheingold–emas sakral Sungai Rhein—oleh Alberich. Alberich adalah seorang kurcaci Nibelung dari Nibelheim. Alberich mengutuk cinta demi mendapatkan cincin dari Rheingold yang dijaga para peri air Rhein (Rheintöchter). Aksi Alberich memicu kejatuhan para dewa (Das Rheingold, Babak 1 Adegan 1).
Wotan—raja para dewa—menginginkan cincin itu sebagai cara membayar kuli dari bangsa raksasa, Fafner dan Fasolt. Mereka membangun kastil Walhalla, tempat perlindungan dewa ketika kiamat tiba (Ragnarök atau “Götterdämmerung”). Namun, kutukan cincin memicu rentetan peristiwa yang nantinya justru menghancurkan kedua raksasa. Di kemudian hari, Fafner membunuh Fasolt demi mendapatkan cincin untuk dirinya sendiri.
Die Walküre, babak opera kedua, menyoroti kisah tragis Siegmund dan Sieglinde, saudara kembar yang saling jatuh cinta tanpa mereka sadari. Cinta terlarang tersebut membangkitkan kemarahan Fricka–dewi cinta dan keluarga. Fricka memaksa Wotan menghukum Siegmund. Namun, putri Wotan yang seorang Valkyrie (dewi) bernama Brünnhilde, melanggar perintah sang ayah demi melindungi Siegmund. Pelanggaran tersebut menyebabkan kematian Siegmund dan kehancuran pedang sakti, Nothung.
Wotan menghukum Brünnhilde. Ia memperbudak Brünnhilde dengan hukum dewata: “Der durch Verträge ich Herr, den Verträgen bin ich nun Knecht.” (Die Walküre, Babak 2 Adegan 2). Brünnhilde kehilangan status ilahi sebagai dewi, lalu ia tertidur di puncak gunung dikelilingi api abadi. Siegmund dan Sieglinde adalah anak-anak Wotan dari perempuan “serigala”. Dinasti mereka, Wangsa Waelser atau Völsung (dalam epos Edda dan saga Völsunga), adalah demigod; yang merupakan pahlawan Jermanik kuno penantang para dewa.
Siegfried, bagian ketiga dari Siklus Cincin bercerita tentang perjalanan pahlawan bernama Siegfried, putra Siegmund dan Sieglinde. Dibesarkan oleh kurcaci Nibelung bernama Mime, Siegfried yang angkuh dan beringas memulai pencarian takdir hidupnya. Mime digambarkan sebagai stereotip orang Yahudi pada masa itu: manipulatif, serakah, dan dibenci Siegfried lantaran “bungkuk dan buruk rupa”. Siegfried kemudian menempa kembali pedang Nothung dan membunuh Fafner yang telah menjadi naga karena kutukan cincin. Konsep Aryanisme pada akhirnya juga dipengaruhi oleh idealisasi Siegfried, sebagai putra “demigod murni”—Siegmund dan Sieglinde. Idealisasi tersebut digencarkan oleh ajaran Houston Stewart Chamberlain (1825-1927) dan dipelihara oleh keturunan Wagner hingga masa Reich Ketiga (negara Nazi).
Siegfried mengklaim cincin dan menantang Wotan, mematahkan tongkat Gungnir, dan menunjukkan keunggulan ia atas hukum dewata. Wotan membiarkan Siegfried bertemu Brünnhilde yang tertidur. Cinta mereka pun bersemi setelah Brünnhilde terbangun akibat ciuman Siegfried. Brünnhilde kini memakai cincin sebagai tanda cinta mereka.
Dalam Götterdämmerung, bagian terakhir, menggambarkan masa tua para dewa dan kehancuran dunia. Hagen–putra Alberich yang seorang manusia—merencanakan perebutan cincin dari Brünnhilde. Singat cerita, Siegfried dikhianati dan ditikam oleh Hagen. Pemakaman Siegfried diadakan, dan api pemakaman membumihanguskan Walhalla. Sungai Rhein meluap dan semua tenggelam. Hanya para Rheintöchter yang selamat, merangkul kembali cincin dan emas mereka.
Der Ring: Kritik Kapitalisme dan Anti-Semitisme
Pada Mei 1877, Festival Wagner berlangsung di London, kutipan dari Der Ring dipresentasikan kepada audiens Inggris. Selama perjalanan ke London, Wagner melihat pabrik-pabrik saat menyusuri tepi Sungai Thames, lalu berkata kepada sang istri, “Mimpi Alberich terpenuhi di sini [London]. Nibelheim, kekuasaan dunia, ingar-bingar, tenaga kerja, di mana-mana ada tekanan uap dan kabut.” Kutipan tersebut diambil dari Müller (2013) dalam Richard Wagner und die Deutschen Eine Geschichte von Hass und Hingabe.
Hampir tak ada karya seni penting abad ke-19 lain yang terinspirasi oleh pemikiran kritik sosial selain Der Ring. Dalam karya ini, kelas penguasa direpresentasikan sebagai “Dewa”—boros, bejat, dan merindukan kejatuhan mereka sendiri. Keseluruhan karya Der Ring sarat dengan gagasan revolusi yang bermimpi mengakhiri kondisi tak tertahankan demi mengantarkan pada tatanan dunia baru. Mimpi ini diwujudkan melalui babak akhir, Götterdämmerung. Para dewa melambangkan kelas penguasa mapan, sedangkan dua bersaudara kurcaci Nibelung dianggap hina. Sementara itu, Alberich dan Mime melambangkan kapitalis baru dan aristokrasi berduit.
Bagi Wagner, uang dianggap sebagai penentu tatanan dunia kapitalis dan juga kejahatan itu sendiri. Uang adalah iblis kemanusiaan. Ketika mengerjakan drama Der Ring dalam pengasingan di Swiss, Wagner membaca pamflet Karl Marx, Zur Judenfrage (1844), di mana Yudaisme digambarkan sebagai perwujudan kekuatan moneter kapitalisme. “Uang adalah Tuhan Israel yang cemburu, di hadapannya tiada Tuhan lain (selain uang). […] Uang adalah nilai universal, menetapkan sendiri dari segala sesuatu. Oleh karena itu, uang telah merampok seluruh dunia—baik dunia manusia maupun alam—dari nilai-nilai yang spesifik. […] Tuhan orang Yahudi telah tersekularisasi dan menjadi Tuhan dunia.” Pernyataan tersebut disetujui Wagner, bahkan diulang dalam pamflet anti-Semitis miliknya yang ternama, Das Judentum in der Musik (1850, “Yudaisme dalam Musik”). Das Judentum dianggap sebagai interpretasi Wagner mengenai ide-ide Marx.
Melalui karakter Alberich—seorang penambang Nibelung pencipta cincin—Wagner menyoroti eksploitasi buruh dan penindasan kelas pekerja oleh kapitalisme. Emas yang dicuri Alberich melambangkan sumber kekayaan yang dieksploitasi kaum borjuis. Fafner dan Fasolt–para raksasa—merupakan simbol proletariat yang terzalimi elit politik: Dewa. Dalam draf pertama skenario Ring pada 1848, Wagner menggambarkan Nibelung sebagai makhluk yang bergerak di dalam perut bumi seperti belatung mayat. Gambaran tersebut muncul kembali dalam esai Das Judentum di mana orang Yahudi ia samakan dengan belatung: “Hanya dalam kehidupan nyata kita dapat menemukan kembali semangat seni, bukan dalam mayat yang penuh belatung.” Cucu Wagner, Franz W. Beidler, menyebut sang kakek sebagai seorang “penyair revolusioner sosial”. Bahkan, Ring des Nibelungen dianggap sebagai karya tandingan artistik-visionis atas kritik ilmiah Karl Marx.
Menelaah Identitas Ke-Jerman-an yang Dibentuk Melalui Der Ring
Sejak 1840-an, Richard Wagner termasuk di antara kritikus industrialisasi dan kapitalisme. Ia ikut serta dalam kerusuhan di balik barikade Revolusi Dresden 1849 bersama Mikhail Bakunin. Di sisi lain, pencapaian artistik Wagner tidak akan mungkin terjadi tanpa industrialisasi seni. Untuk itu, ia mengembangkan strategi pemasaran di mana perasaan memainkan peran penting. Gagasan “total work of art” (Gesamtkunswerk) berusaha diwujudkan dalam Siklus Cincin sebagai kritiknya atas Modernitas. Wagner memaparkan gagasan tersebut melalui esai Art and Revolution (1849); yang juga berambisi mengubah masyarakat Jerman secara keseluruhan. Bagi Wagner, revolusi harus dimulai dari seni opera (musik-drama). Salah satunya, dengan mengubah tradisi konservatif opera Italia menggunakan aria dan ensemble menuju opera Jerman Baru dengan memadukan segala jenis medium sebagai perwujudan “total work of art”.
Ide-ide Wagner atas Gesamtkunswerk dilakukan melalui aliterasi. Aliterasi memungkinkan gagasan karya dan gambaran karakter Wagner tersampaikan dengan jelas. Bentuk ini disajikan sebagai naik turun (lifts and dips) dalam terjemahan yang dilakukan Millington dan Spencer, dengan memperpanjang larik guna mengikuti konteks bahasa asli (Jerman) agar pembaca dapat merasakan alunan sajak Wagner.
Menurut Spencer, semakin banyak penerapan arkaisme bahasa, atau autentisitas bahasa dalam Der Ring; semakin murni mengekspresikan karakter manusia. Alhasil, semakin “primitif, kuno dan merakyat”, semakin “nasionalis” sebuah karya. Der Ring mengandung berbagai “penciptaan mitos” yang diinginkan nasionalis abad ke-19 untuk mencapai komunitas terbayang—meminjam istilah Benedict Anderson. Inilah utopia yang ingin dicapai Wagner melalui gagasan “total work of art” (Gesamtkunswerk) Der Ring; yakni Jerman yang “dibayangkan secara ideal” dengan “identitas ke-Jerman-an” (Deutschtum).
Ketertarikan Wagner pada aliterasi juga terkait dengan tradisi epos Jermanik abad pertengahan, terutama dari kitab “Edda”, Hilderbrandslied, dan Nibelungslied. Sebuah budaya penyair (bard) yang menyatukan antara drama, teks, dan musik. Politik budaya dari Gesamtkunswerk terdiri dari syair kuno dan subjek bersahaja, menginspirasi terciptanya “komunitas terbayang” Deutschtum yang diidamkan Wagner melalui Der Ring.
Cita-cita atas “identitas ke-Jerman-an” Wagner ditekankan oleh Franz Merloff dalam pamflet Richard Wagner und das Deutschtum, terbit pada 1873. Merloff ingin menunjukkan bahwa Wagner adalah seorang nabi bangsa, perintis sejati Penyatuan Jerman di bawah komando Bismarck pada 1871: “Richard Wagner, menurut saya, adalah seorang nabi, ia meramalkan peristiwa besar Penyatuan Jerman yang telah menyatukan keluarga-keluarga untuk bersumpah kesetiaan (pada Reich), dan dengan demikian, menuju kejayaan selanjutnya”. Karya seni Wagner menjadi bagian dari perjuangan nasionalisme Jerman di era Bismarck, melalui “musik dan puisi” sebagai “senjata yang ramah dan indah” untuk melawan bangsa lain–seperti dikutip oleh Salmi (2020) dalam Imagined Germany: Richard Wagner’s National Utopia.