Perjalanan, Tatapan Kolonial, dan Eksplorasi Semesta Joseph Conrad
Jasanoff, Maya. 2018. The Dawn Watch: Joseph Conrad in a Global World. (Mata-mata Fajar: Joseph Conrad di Dunia Global). Penerbit William Collins.
Karya-karya dan perjalanan pelayaran Kapten Joseph Conrad (1857-1924) ke Afrika dan Hindia Belanda telah mendapatkan berbagai pujian dari sastrawan, penikmat literatur perjalanan, ataupun peneliti bidang kebudayaan dan sejarah. Ucapan terkenal Conrad bahwasannya “seluruh hidup (biografi) diri saya bisa ditemukan di dalam karya-karya saya” –mendorong sejarawan dari Harvard, Maya Jasanoff menuliskan buku The Dawn Watch yang memukau. Buku ini memadukan biografi, kritik pascakolonial, dan penggalan catatan perjalanan, disajikan seperti novel. The Dawn Watch menjelajahi dunia Conrad secara mendalam, juga mengurai pandangan Joseph Conrad terhadap globalisasi dan kolonialisme. Bertolak dari Polandia –tempat Conrad berasal –kita dibawa oleh Maya Jasanoff melewati Marseille dan London, kemudian berlayar ke Asia Tenggara dan Kongo.
Lahir dengan nama Józef Teodor Konrad Korzeniowski pada 5 Desember 1857 dengan orang tua nasionalis Polandia yang diasingkan oleh imperialis Rusia, Conrad menghabiskan empat puluh tahun hidup sebagai imigran di London, hingga kemudian menjadi angkatan laut dagang Prancis dan Inggris. Di akhir 1980-an, Conrad menetap permanen di Inggris dan memulai karir sebagai novelis.
Kehidupan Conrad selama di laut dianalisis oleh Jasanoff dengan menggabungkan arsip, konteks sejarah, dan empat novel paling terkenal: The Secret Agent, Lord Jim, Heart of Darkness dan Nostromo, diterbitkan antara 1899 dan 1907. Menurut Jasanoff, sejarah penjelajahan Conrad menunjukkan dunia global yang sedang terbentuk, dan bagaimana kita dibawa masuk dalam sudut pandang di masa itu. Kenyataan bahwa Conrad merupakan kapten angkatan laut Inggris-Perancis menegaskan posisionalitas ia sebagai agen imperialisme Eropa.
Melalui The Dawn Watch, Jasanoff menunjukkan bagaimana Conrad menjadi salah satu penulis pertama yang bergulat dengan isu sosial politik yang meluas: terorisme, imigrasi, globalisasi, alienasi, juga kolonialisme dan imperialisme sebagai tema besar dalam setiap karya Conrad. Selain itu, Jasanoff berupaya menjelaskan bagaimana Conrad menggambarkan bagaimana kekuatan imperialisme beroperasi di berbagai tempat di dunia.
Eksplorasi Semesta Joseph Conrad oleh Maya Jasanoff
Jasanoff menguraikan gagasan kosmopolitanisme masyarakat Inggris, terutama pada akhir abad ke-19. Sebagai penulis Inggris, karya Conrad tidak berlatar belakang di Inggris. Jika pun ada, tokoh tidak digambarkan berlatar belakang orang Inggris. Sebagai imigran dari Polandia, ia merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang dinaturalisasi karena merebaknya pengungsi politik dari berbagai penjuru Eropa di masa tersebut. Selama menjadi pelaut di Asia Tenggara, Conrad bekerja di kapal Vidar yang dibangun Inggris dan dimiliki oleh seorang taipan Arab yang berkantor di Aden, Jeddah, Suez, dan Singapura, dengan kru kapal berasal dari berbagai wilayah imperium. Melalui analisis tajam, Jasanoff membentangkan peta dunia yang dinamis pada abad ke-19 menggunakan karya Conrad sebagai pintu masuk.
Jasanoff menggambarkan Conrad sebagai tokoh progresif, pemurung, dan agak eksentrik. Conrad digambarkan antikolonial, meskipun tidak antirasis. Conrad tertarik pada gagasan dunia “di luar kabel telegraf dan jalur kapal surat” –yang kemudian diangkat dalam novel Lord Jim, dengan narator Kapten Marlow yang melempar ungkapan pesimis tentang dunia penuh “tipuan payah tetapi bermanfaat tentang peradaban kita yang layu dan mati”.
Menurut Jasanoff, kondisi mental Conrad juga berkaitan erat dengan aspek kosmopolitanisme, di mana ia banyak merenungkan alam semesta sebagai amoral, penuh konsekuensi, sulit dimengerti, dan pesimistis. Conrad memandang ideologi sebagai omong kosong untuk mempraktikkan kekuasaan, salah satunya menjadi tema utama novel Lord Jim dan prosa pendek dalam antologi Malaya-Afrika: Tales of the Unrest (1898).
Analisis berlanjut pada konteks mengenai perjalanan ke Kongo. Pada akhir buku, Jasanoff mengungkapkan bagaimana Conrad mengkritisi dinamika sosial Kongo dengan berbagai ketimpangan sosial dan ekonomi ekonomi akibat kemajuan teknologi dan industri pada masa tersebut. Sayangnya, motif petualangan Conrad tidak dieksplorasi dalam buku ini. Selain itu, kritik teori pascakolonialisme yang menyebut Joseph Conrad rasis juga luput dianalisis oleh Jasanoff.
Novel Heart of Darkness (1899) yang Mengguncang Moralitas Masyarakat Eropa
Kisah Heart of Darkness (1899) mengajak pembaca menyelami kegelapan jiwa manusia, mengangkat tema tentang bagaimana Eropa mengeksploitasi Kongo yang dijajah Belgia selama pemerintahan Raja Leopold II. Berbagai bentuk kekejaman penjajah digambarkan melalui narator seorang tokoh bernama Charles Marlow, membicarakan konteks kebijakan tenaga kerja untuk ekspor dan perkebunan karet, ekstraksi gading, emas, juga berlian.
Rasisme dalam Heart of Darkness dibahas sekilas oleh Jasanoff, yakni ketika masyarakat Kongo digambarkan secara rasis, seperti: “putaran badan hitam, tepuk tangan massal, hentakan kaki, tubuh bergoyang, mata berputar” dan orang dengan “senyuman mengerikan gigi dikikir”. Ironisnya, cerita Conrad sebetulnya berfokus pada kebrutalan kapitalisme Eropa di konteks wilayah tersebut. Melalui tokoh Charles Marlow sebagai narator, Conrad menggambarkan imperialisme sebagai perampokan yang sarat kekerasan, pembunuhan massal, dan perampasan alam “terhadap mereka yang memiliki warna kulit dan hidung yang sedikit berbeda dari kita (Eropa)”.
Di tengah hutan belantara, Marlow bertemu Kurtz, seorang pedagang Inggris “berbudaya” dan fasih berbicara, tetapi perawakannya mengerikan dan kurus. Kurtz adalah seorang pedagang gading Inggris yang dihormati layaknya dewa, di mana ia menghiasi tempat tinggalnya dengan kepala orang Kongo yang dipenggal. Marlow memandang masyarakat “pribumi” Kongo sebagai hampir binatang, sedangkan Kurtz digambarkan memiliki kehendak berkuasa, laiknya imperialis Eropa.
Marlow menganalogikan Kurtz sebagai orang liar dan lebih buruk ketimbang “orang primitif” di komunitas masyarakat yang bermukim di pinggir sungai. Jasanoff menafsirkan pandangan Marlow sebagai kritik progresif atas imperialisme, sebab menganggap lema “orang primitif” tidak ditujukan sebagai julukan bagi orang Kongo, melainkan menganggap setiap manusia –Hitam atau Putih – bisa menjadi primitif. “Setiap orang bisa menjadi primitif […] di mana pun bisa menjadi gelap,” demikian ungkapan Marlow dalam Heart of Darkness.
Marlow melihat penduduk desa di Afrika mewakili representasi prasejarah yang dianggap bodoh seperti binatang, tetapi lugu secara moral. Tokoh Kurtz, di mata Marlow, cenderung menjadi “primitif”, prasejarah, tetapi sekaligus memiliki kecerdasan sebagai “masyarakat beradab”. Motif kekejaman Kurtz diungkapkan sebagai “praktik kuasa berkehendak” dengan menjadi dewa “putih” di antara penduduk pribumi. Kuasa berkehendak (der Wille zur Macht) merupakan konsep filsafat Friedrich Nietzsche yang berlandaskan metafisika Schopenhauer. Cara Jasanoff menggambarkan pandangan Conrad mencerminkan rasisme yang dibawa kolonialisme dan imperialisme, di mana “masyarakat primitif” dianggap menyimbolkan kegelapan, dan “peradaban” sebagai cahaya terang, layaknya kulit Eropa yang putih.
Gambaran Imigran dalam The Secret Agent (1907)
Novela The Secret Agent mungkin merupakan salah satu kisah terpenting yang menggambarkan situasi politik modern Britania Raya hari ini. Agent berkisah tentang teroris dari kelompok imigran Eropa, kaum eksil teralienasi yang membanjiri London di akhir abad ke-19. Semacam tribut pada diri dan kawan sebaya Conrad di masa itu.
London pada abad tersebut adalah jantung imperialisme dan industri dunia, terutama dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Seperti situasi Brexit di konteks saat ini, London dipenuhi migran, terutama meka dari negara yang dirundung konflik, sehingga lantas menumbuhkan berbagai prasangka dan sentimen antiimigran. Novela ini menggambarkan imperialisme dan kapitalisme Inggris sebagai latar dan konflik utama cerita. Sebagai warga naturalisasi Inggris, Conrad mengisahkan London dari sudut pandang imigran dalam rangka membedah, menelusuri jantung kegelapan dan imperialisme seperti yang ia lakukan untuk tokoh Marlow di Kongo.
Dalam Agent, tokoh Stevie, saudara ipar imigran Mr. Verloc yang menjadi informan polisi, memiliki keterbatasan kognitif dan sifat kekanak-kanakan. Stevie tanpa sengaja mendengar percakapan kelompok anarko-teroris Verloc yang membahas kecenderungan “kanibalistik” kaum kelas atas. Stevie, yang tidak mampu memahami makna kiasan, memiliki kepolosan “primitif”. Hal ini membuat Stevie menjadi korban dalam percobaan gagal pengeboman Observatorium Greenwich. Menurut Jasanoff, The Secret Agent adalah prosa Conrad yang paling terang-terangan mengkritisi kebijakan politik Eropa. Conrad berhasil mengubah semangat anarkisme dan sosialisme, serta kritik kapitalis dan imperialisme Inggris di akhir abad ke-19 menjadi komedi gelap.
Baik Stevie maupun masyarakat Kongo adalah korban praktik “pemberadaban” kaum penguasa kolonial Eropa. Pada konteks Eropa saat itu, lebih mudah bagi Conrad untuk bersimpati, atau memandang dunia melalui kacamata Stevie dan warga Kongo sebagai kaum eksil, atau mereka yang teralienasi dari lingkungan kuasa imperium. Dalam kasus Conrad, trauma kolektif kaum eksil Polandia membuat ia bersimpati pada korban imperium di belahan dunia lain.
Tulisan Conrad menjadi saksi atas periode krusial terbentuknya globalisasi yang menjadikan dunia semakin sempit karena seolah terpusat di satu tempat. The Dawn Watch menjadi karya unggul karena kemampuan Jasanoff memadukan sejarah dunia global kolonialisme Inggris akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, digabungkan dengan catatan perjalanan, kritik pascakolonialisme, karya fiksi, serta biografi Joseph Conrad.