Merawat Bukan Hal Remeh! Cerita tentang Pasien Diabetes Mengakses Layanan Kesehatan di Belanda
Mol, Annemarie. 2008. The Logic of Care: Health and the Problem of Patient Choice (Logika Merawat: Kesehatan dan Masalah Pilihan Pasien). Penerbit Routledge.
Apa itu perawatan (care)? Bagaimana menjelaskan praktik perawatan yang memadai (good care) dalam konteks layanan kesehatan? Dalam buku The Logic of Care: Health and the Problem of Patient Choice (2008), Profesor Antropologi Universitas Amsterdam, Annemarie Mol mencoba menjawab pertanyaan tersebut melalui uraian etnografis mengenai pengalaman pasien diabetes dan hubungan perawatan dalam praktik pengobatan di Belanda, baik di dalam maupun luar klinik.
Buku ini lahir dari keraguan Mol terhadap pilihan individu (individual choice) yang kerap dianggap sebagai proyeksi normatif paling ideal guna mewujudkan emansipasi individu terhadap keputusan mereka sendiri. Termasuk, pilihan pribadi terhadap tubuh mereka sekalipun tubuh itu sedang sakit. Dalam ide mengenai pilihan individu, tersirat sudut pandang bahwasannya setiap orang memiliki kesempatan setara dalam membuat keputusan berdasarkan kehendak mereka sendiri. Pandangan ini menjadi ciri khas liberalisme yang menempatkan logika pilihan (the logic of choice), yakni kemampuan individu untuk memilih diasumsikan sebagai prasyarat dari manusia otonom (hlm. 62).
Apabila logika pilihan dilekatkan pada konteks layanan kesehatan, keputusan atas preferensi gaya hidup, mekanisme pengobatan serta tujuan suatu praktik pengobatan yang dinilai ideal dan tidak ideal diserahkan sepenuhnya pada penilaian pasien secara individual. Alhasil, logika pilihan menilai layanan kesehatan sebagai persoalan privat, terisolasi dari relasi sosial yang lebih besar. Logika pilihan menggarisbawahi rasionalitas sebagai elemen krusial yang dimiliki individu bebas. Menurut Mol, logika pilihan menjadi mesin penggerak berbagai kampanye dan program kesehatan masyarakat yang mengarusutamakan emansipasi pasien. Logika tersebut dilakukan dengan memosisikan pasien sebagai konsumen yang bebas menentukan preferensi layanan kesehatan seakan-akan produk cepat saji yang siap dibeli. Secara tak langsung, logika pilihan memisahkan secara tegas antara kemampuan pasien sebagai individu dengan peranan komunitas, keluarga, serta tenaga kesehatan profesional yang berkontribusi pada praktik perawatan.
Melalui gaya penceritaan Mol yang luwes dan penuh kepekaan, ia menunjukkan bagaimana logika pilihan tak serta merta tidak bisa dipraktikkan secara ideal dalam situasi tertentu. Pasalnya, menitikberatkan logika pilihan dalam hubungan perawatan tidak lantas membangun kesejahteraan hidup seorang pasien. Dalam hal ini, kesejahteraan dipahami sebagai kesatuan kondisi fisik, emosional dan mental yang memadai untuk menunjang keberlangsungan hidup individu. Dalam konteks penelitian Mol, upaya memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi pasien diabetes untuk menentukan pilihan rutinitas pengobatan dan asupan makanan justru akan menggiring pasien mengalami kompleksitas penyakit, penurunan kualitas hidup, hingga kematian. Pada akhirnya, berbagai konsekuensi negatif yang timbul dari keputusan pasien dianggap merupakan tanggung jawab mereka seutuhnya sebagai subjek penentu pilihan.
Dalam bab pertama, pembaca dapat menangkap keberpihakan Mol untuk tidak menganggap keputusan individu dalam mengakses layanan kesehatan sebagai hal terberi (self-evidently given). Alih-alih, kita perlu menyorot kompleksitas situasi yang mendukung pilihan pasien dalam hubungan perawatan di sekitar mereka. Sebaliknya, memberi kebebasan seluas-luasnya kepada pasien untuk memilih mekanisme pengobatan dan preferensi gaya hidup yang mereka inginkan, bisa jadi malah merupakan bentuk pengabaian. Padahal, pengabaian mestinya tidak terjadi dalam perawatan kesehatan. Bagi Mol, logika pilihan bukanlah prasyarat atas hubungan perawatan yang semestinya dapat mewujudkan kesejahteraan hidup pasien.
Atas dasar keraguan dan kritik terhadap logika pilihan, Mol menawarkan sudut pandang yang ia kontraskan dengan logika pilihan, yakni logika perawatan (the logic of care). Melalui bingkai logika perawatan, Mol menyorot bagaimana pasien memiliki agensi dalam menentukan pengaturan perawatan mereka, tetapi tidak semata hadir sebagai subjek yang bebas sama sekali dalam menentukan pilihan dalam hubungan perawatan mereka.
Berbeda dari asumsi logika pilihan, logika perawatan berangkat dari kesadaran bahwa penerima perawatan bukanlah individu yang saling setara. Metabolisme tubuh pasien pengidap diabetes memang punya karakteristik serupa, yakni tidak cukup memproduksi insulin untuk mengolah gula darah. Akan tetapi, fakta biologis tersebut dialami secara spesifik antara individu pengidap penyakit diabetes. Maka dari itu, setiap pasien bisa jadi memiliki keinginan dan harapan berbeda dari perawatan yang mereka terima lantaran perbedaan tingkat keparahan dan tipe penyakit. Perbedaan pengalaman tersebut juga dibentuk oleh berbagai aspek kehidupan lainnya yang saling berkait.
Dalam perbedaan pengalaman sakit tersebut, praktik perawatan yang memadai mestinya menyediakan ruang bagi pasien untuk menyuarakan apa-apa yang dianggap penting bagi mereka. Di waktu yang sama, pelayan kesehatan juga perlu membantu pasien mengkompromikan antara kepentingan pasien dan kebutuhan perawatan penyakit. Selain itu, logika perawatan juga mencakup bagaimana pengetahuan dan teknologi medis disesuaikan dengan pengalaman subjektif pasien. Dalam hal ini, perawatan disorot sebagai upaya kerja kolaboratif yang penuh tarikan dan tegangan, penyesuaian secara iteratif dan upaya menyeimbangkan keinginan dengan kebutuhan pasien dalam waktu tertentu. Hubungan perawatan yang berliku inilah yang gagal disorot oleh logika pilihan.
Tanpa mendiskreditkan logika pilihan, Mol meyakini bahwa pasien bukanlah subjek pasif dalam hubungan perawatan. Argumen tersebut diperkuat melalui uraian etnografis Mol terhadap praktik perawatan yang melibatkan pasien diabetes dengan tenaga kesehatan. Pasien yang dijumpai Mol diajarkan untuk menginjeksi insulin, mengenali ritme mereka sendiri untuk mencatat kadar gula dengan mandiri, hingga berpantang. Kesemuanya merupakan inti dari latihan hidup berdampingan dengan penyakit. Pasalnya, sehat dan sembuh merupakan dua hal di luar jangkauan pasien diabetes, sebab mereka perlu menjalani pengobatan seumur hidup. Dengan demikian, esensi praktik perawatan melampaui penyediaan informasi dan penyebarluasan pengetahuan seputar penyakit serta cara mengatasinya. Alih-alih, praktik perawatan berupaya mendorong pasien untuk menjalani hidup berkualitas bersama penyakit yang mereka idap: “life with diabetes may be tough, but it is life. It may, in many ways, be a good life too” (hlm. 40).
Perlu diingat bahwa penelitian Mol hanya berpusat pada perawatan spesifik di kalangan pasien dengan penyakit kronis diabetes. Secara tidak langsung, buku ini membuka arena eksplorasi baru untuk menelusuri bagaimana logika pilihan dan logika perawatan berkonfigurasi secara unik dalam berbagai bentuk hubungan perawatan, alih-alih melihat keduanya sebagai gagasan berlawanan. Dalam corak hubungan perawatan lain, bisa jadi logika pilihan dan logika perawatan berada dalam spektrum bahwa dalam kondisi tertentu, intervensi dibutuhkan untuk mengisi kerapuhan kebebasan pilihan individu. Kritik terhadap logika pilihan dan elaborasi mengenai logika perawatan bisa menjadi menjadi evaluasi demi mewujudkan penyediaan perawatan secara memadai, dimaknai secara dinamis sesuai konteks. Tak kalah penting, praktik merawat sebagai kerja kolaboratif yang melibatkan waktu, sumber daya ekonomi, tenaga fisik dan kemampuan afektif pada akhirnya mengingatkan kita untuk mempertanyakan: mengapa kerja perawatan kerap kali dipandang sebagai kerja remeh dan tersembunyi?