Imperialisme Ekonomi dalam “Rantai Nilai” Produksi Global
Suwandi, Intan. 2019. Value Chains: The New Economic Imperialism (Rantai Nilai: Wajah Baru Imperialisme Ekonomi). Penerbit Monthly Review.
Dalam ekonomi global saat ini, sebagian besar produksi terjadi di negara-negara “berkembang” seperti Tiongkok, India, dan Indonesia. Namun, sebagian besar keuntungan dari produk-produk yang dihasilkannya tetap menggunung dalam dompet para kapitalis di Eropa, Amerika, dan Jepang. Enak saja! Kok bisa?
Menurut Intan Suwandi, seorang sosiolog dan penulis buku Value Chains, paradoks ini dilandasi oleh sistem imperialis di mana perusahaan-perusahaan multinasional berhasil mengontrol proses produksi dan mengeruk keuntungan dari negara-negara di Belahan Bumi Selatan (Global South) melalui proses yang disebut dengan “pencaplokan nilai” (value capture).
Banyak komoditas yang dipasarkan bercap merek perusahaan multinasional seperti Apple atau Nike nyatanya tidak benar-benar diproduksi oleh perusahaan tersebut. Sebenarnya, sebagian besar proses produksi (dari pengolahan bahan dasar hingga perakitan akhir) dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil di bawah kontrol perusahan multinasional tersebut.
Buku ini menyediakan analisis sekaligus kritik tajam dan menyeluruh terhadap sistem kapitalis modern. Suwandi menjelaskan bagaimana struktur imperialisme menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional serta merugikan kaum buruh di negara-negara Selatan, dengan studi kasus dari dua perusahaan pemasok di Indonesia. Secara terperinci, ia juga mengkaji strategi-strategi terbaru dalam dunia bisnis, yang menurutnya, dengan licik berhasil untuk semakin memperketat cengkeraman kapitalisme terhadap buruh dan lingkungan hidup di negara-negara Selatan.
Pergeseran Produksi ke Bumi Selatan: Penyeimbangan atau Eksploitasi?
Dari zaman kolonial hingga awal era poskolonial (1970an), sebagian besar produksi industrial di dunia terjadi dalam negara-negara imperialis atau Belahan Bumi Utara (yaitu Eropa barat, Amerika utara, dan Jepang). Merekalah yang pertama mencapai industrialisasi. Dalam struktur imperialisme global pada saat itu, negara-negara Selatan berperan sebagai pemasok sumber daya alam dan bahan-bahan olahan dasar yang diimpor ke negara-negara Utara dengan harga murah.
Penting dicatat bahwa istilah “Utara” dan “Selatan” di sini tidak digunakan dalam arti geografis, melainkan dalam arti ekonomi-politik untuk membedakan antara negara-negara yang diuntungkan dan dirugikan oleh sistem imperialis global.
Namun, sekitar dekade 1970an, mulai ada pergeseran pusat produksi global dari Utara ke Selatan. Dengan pergeseran ini, dunia Selatan menjadi pusat produksi komoditas, dan negara-negara Utara justru beralih sebagai pusat konsumsi. Pada tahun 2010, Suwandi mencatat, terdapat 541 juta pekerja industrial di negara-negara Selatan, sementara di dunia Utara, jumlahnya hanya 145 juta pekerja.
David Harvey, seorang intelektual Marxis, berkesimpulan bahwa pergeseran ini menandakan bahwa “imperialisme” sudah tidak relevan lagi untuk memahami ekonomi global setelah negara-negara Selatan sudah menjadi pusat industri. Berangkat dari argumen yang menentang klaim Harvey, seperti yang diutarakan ekonom Marxis Prabhat Patnaik dan Utsa Patnaik, serta ahli ekonomi politik John Smith, Suwandi menolak tesis ini dengan tegas. Menurutnya, walaupun wajah dan bentuk eksploitasi global sudah berubah, yang berlaku tetap saja penghisapan kapitalis atas tenaga kerja dan sumber daya dari dunia Selatan—yaitu imperialisme.
Suwandi menegaskan bahwa pergeseran industri ke Selatan justru merupakan hasil dari strategi kelas kapitalis global yang sengaja memindahkan produksinya ke negara-negara di mana tenaga kerja dapat diupahi dengan serendah-rendahnya (tanpa penurunan produktivitas secara drastis). Strategi ini ia sebut sebagai “global labor arbitrage” atau taktik untuk memanfaatkan ketimpangan struktural dalam ekonomi global dengan menggantikan tenaga kerja yang mahal (di negara-negara Utara) dengan yang murah (di negara-negara Selatan). Standar upah yang rendah di dunia Selatan memungkinkan perusahaan multinasional untuk meningkatkan eksploitasi buruh—yang pada saat yang sama, juga semakin meningkatkan keuntungan atau penyerapan “nilai lebih” bagi perusahaan.
Suwandi menggunakan variabel unit labor cost (biaya tenaga kerja per unit) sebagai tolak ukur untuk menentukan negara mana yang paling strategis untuk dimanfaatkan oleh kapitalisme global. Unit labor cost adalah rasio antara upah dan produktivitas, yaitu ukuran biaya yang harus dikeluarkan dalam pengupahan buruh untuk menghasilkan jumlah tertentu dari komoditas yang diproduksi. Ukuran ini melibatkan dua faktor yang selalu dikejar dalam produksi kapitalis: penurunan biaya produksi dan peningkatan produktivitas.
Jika unit labor cost dalam sebuah negara naik, bisa jadi perusahaan multinasional akan memutuskan untuk memindahkan produksinya dari negara tersebut ke negara lain dengan unit labor cost yang lebih murah. Inilah yang dilakukan oleh Nike, yakni memindahkan produksinya dari pabrik-pabrik di Korea Selatan ke negara-negara dengan unit labor cost yang masih rendah seperti Indonesia dan Tiongkok. Hal ini dilakukan setelah menguatnya gerakan buruh di Korea Selatan yang berhasil memperjuangkan hak-hak dan UMR yang lebih baik.
Sebuah tren baru dalam ekonomi global sejak dekade 1990an adalah “arm’s-length contracting” (hubungan kontrak tanpa ikatan), di mana perusahaan multinasional hanya mengontrakkan pabrik di negara-negara Selatan untuk membuat, mengolah, atau merakit komoditas yang nantinya akan dijual oleh perusahaan multinasional tersebut. Dalam sistem ini, “produsen” seperti Nike atau Apple tidak butuh menanam modal sendiri untuk membangun pabrik dan tidak memproduksi apa-apa secara materiil. Sebaliknya, mereka hanya mengontrol proses produksi dari jauh dan mengambil sebagian besar dari keuntungan.
Dalam model bisnis seperti ini, setiap perusahaan multinasional akan mempunyai ratusan perusahaan pemasok, yang masing-masing juga bekerja sama dengan pemasok-pemasok lain dengan jumlah yang tidak kalah besar.
Rantai Nilai, “Nilai Lebih”, dan Eksploitasi yang Berlapis-lapis
Dalam konsep “rantai nilai” (value chains) yang ditawarkan Suwandi, setiap perusahaan yang dikontrakkan oleh perusahaan multinasional bisa dipahami sebagai mata rantai dalam sebuah susunan rantai produksi global. Dan oleh karena dominasi imperialisnya, perusahaan multinasional dapat menangkap sebagian besar dari “nilai lebih” (atau keuntungan) yang dihasilkan dalam proses produksi pada setiap mata rantai yang dikontrolnya.
Dalam analisis Marxis, “nilai lebih” adalah keuntungan yang dihisap pengusaha kapitalis dari buruhnya, yaitu bagian dari jumlah nilai yang dihasilkan oleh tenaga kerja buruh yang melebihi upah yang diterimanya. Bagi Marx, selisih antara kontribusi tenaga kerja dan tingkat upahnya merupakan inti dari “eksploitasi” yang menjadi ciri khas produksi kapitalis.
Misalnya, jika seorang buruh dalam sehari dapat mengolah sejumlah katun, yang dapat dibeli dengan Rp100.000, menjadi sejumlah benang berharga Rp500.000, maka ia telah menambah “nilai” Rp400.000, melalui tenaga kerjanya. Namun, jika upah hariannya hanya Rp100.000, ia hanya menerima sebagian kecil buah tangan dari usahanya. Sisa Rp300.000 adalah “nilai lebih” yang diambil oleh pengusaha kapitalis yang mempekerjakannya. Inilah intisari dari eksploitasi dalam pemahaman Marxis.
Jika semua produksi kapitalis mengandung eksploitasi, imperialisme gaya baru berwajah “rantai nilai” melipatgandakan tingkat eksploitasi tersebut. Hal ini karena para buruh diupah dengan standard lokal (rendah), sedangkan produknya dijual dengan harga internasional (tinggi). Artinya, ini menghasilkan “nilai lebih” (atau laba) yang jauh lebih besar.
Pada tahun 2010, biaya tenaga kerja industrial untuk sebuah iPhone hanya mewakili 1-3% dari harga akhir produknya, sedangkan laba yang diterima Apple mencapai 59%! Inilah yang John Smith sebut sebagai “super-eksploitasi”, karena memungkinkan penghisapan nilai lebih (yaitu eksploitasi buruh) yang jauh lebih besar daripada yang dulu digambarkan dalam analisis Marx atas produksi industrial dalam satu negara saja.
Bagaimana Perusahaan Multinasional Mempertahankan Dominasinya?
Melalui sistem rantai nilai, perusahaan multinasional mampu mengontrol proses produksi tanpa harus menanam modalnya sendiri atau bertanggung jawab atas resiko produksi. Berbeda dengan zaman kolonial atau awal poskolonial, kini kaum kapitalis global dapat memeras kaum buruh di negara-negara Selatan tanpa harus menjajah tanahnya atau mengelola pabriknya secara langsung.
Lagi-lagi layak ditanya: mengapa bisa perusahaan multinasional menangkap hampir semua nilai lebih dari proses produksi yang bahkan tidak dikelolanya secara langsung? Apakah tingkat laba yang luar biasa besar itu membuktikan bahwa perusahaan multinasional seperti Nike atau Apple sedemikian lebih “inovatif” atau produktif? Suwandi menjawab tidak. Menurutnya, ketimpangan ini berasal dari dominasi struktural yang sengaja dibangun dan dipertahankan oleh rezim imperialis global melalui berbagai taktik konkrit.
Pertama-tama, harus diakui bahwa keunggulan industrial, finansial, dan teknologis yang dimiliki oleh Amerika, Eropa, dan Jepang saat ini adalah warisan dari penjajahan dan eksploitasi atas dunia ketiga yang terjadi pada fase imperialisme ‘langsung’, yakni pada zaman kolonial. Sumber daya alam dan tenaga kerja yang telah dirampas tersebut memotori kemajuan ekonomi negara-negara tersebut yang kini mendominasi pasar global.
Dominasi pasar terjadi dalam dinamika “kapitalisme monopoli”, di mana beberapa perusahaan menjual sebagian besar dari sebuah komoditas. Ini mematikan persaingan bebas dalam pasar, karena hanya perusahaan yang sudah mengumpulkan banyak sekali modal akan mampu bertahan dan berlaba. Misalnya industri pesawat, karena sedemikian monopolistiknya, industri ini membuat pesaing baru seperti proyek pesawat B.J. Habibie di Indonesia sangat susah untuk menjadi kompetitif. Kini, perusahaan-perusahaan multinasional lah yang menikmati status monopoli tersebut.
Monopoli pasar juga dipertahankan melalui hukum internasional tentang kekayaan intelektual (intellectual property). Perusahaan multinasional biasanya mempunyai monopoli atas teknologi yang digunakan dalam produk yang dipasarkannya. Gara-gara hukum kekayaan intelektual, negara-negara Selatan tidak mampu membuat secara mandiri banyak produk yang membutuhkan teknologi baru. Misalnya kasus vaksin COVID, kekayaan intelektualnya tetap dirahasiakan dari pabrik-pabrik obat di negara-negara Selatan yang ingin melindungi kesehatan masyarakatnya. Ini dilakukan supaya perusahaan-perusahaan obat multinasional seperti Pfizer dan Moderna dapat mempertahankan monopoli dan keuntungannya di tengah-tengah pandemi global.
Dominasi Amerika Serikat secara geopolitik dan militer memainkan peran penting dalam pertahanan monopoli perusahaan-perusahaan multinasional. Tentu saja, hukum kekayaan intelektual berdiri di atas rezim hukum internasional, yang didominasi oleh AS dan sekutu-sekutu imperialisnya. Rezim global ini juga mendorong proses liberalisasi dan privatisasi ekonomi yang membuka akses untuk modal asing, terutama melalui structural adjustment programs dari Bank Dunia dan IMF. Jika ada negara yang berani tidak tunduk pada sistem ini, pasti akan dikambinghitamkan, dimiskinkan, atau dalam beberapa kasus, diserang secara militer.
Negara-negara imperialis juga mengontrol mobilitas manusia dengan rezim perbatasan dan visa yang dijaga ketat. Dalam struktur imperialis, modal mengalir dengan bebas dari Utara ke Selatan, tapi manusia dihalang-halangi ketika berusaha berimigrasi ke negara dengan UMR yang lebih tinggi. Keadaan ini sangat strategis bagi kepentingan kapitalis, karena dengan adanya surplus tenaga kerja (yang disebut Marx sebagai industrial reserve army) di negara-negara Selatan, upah dan hak-hak buruh (yang semakin gampang tergantikan, dipecah-belah, dan direpresi) dapat lebih banyak diabaikan oleh kaum kapitalis.
Namun, aparat negara dalam dunia Selatan juga sering berperan besar dalam melancarkan eksploitasi kapital global terhadap buruhnya. Karena perusahaan multinasional mencari harga tenaga kerja (unit labor cost) yang paling murah, pemerintah dari negara seperti Indonesia dan Tiongkok terdorong untuk bersaing dalam berusaha menurunkan unit labor cost-nya demi menarik modal asing.
Upaya ini bisa tampak sebagai penurunan UMR ataupun tindak represif terhadap gerakan buruh. Inilah salah satu motivasi terbesar di balik Omnibus Law, UU Cipta Kerja yang disahkan pada bulan Oktober tahun 2020 silam: pemerintah berusaha merayu modal asing di tengah-tengah pasar kerja Indonesia yang kurang kompetitif (yaitu kurang exploitable) dibandingkan dengan India dan Tiongkok. Dalam kasus seperti ini, aparat negara berpihak pada kapitalisme global, tentu saja disertai dengan kepentingan oligarki lokal yang terselubung.
Rasionalisasi dan Fleksibilitas Sebagai Taktik Meningkatkan Eksploitasi Imperialis
Selain dari struktur sistem yang memang sengaja dibuat menguntungkan perusahaan multinasional, para eksekutif korporat juga menggunakan berbagai strategi untuk menangkap semakin banyak dari nilai lebih yang dihasilkan dalam produksi. Strategi-strategi ini sering diselubungi dengan retorika tentang hak-hak buruh, “inovasi”, ataupun “rasionalisasi.” Suwandi membongkar narasi optimis ini dengan menunjukkan betapa semua perkembangan yang dituntut ini pada dasarnya hanya semakin meningkatkan eksploitasi atas buruh di negara-negara Selatan.
Perusahaan multinasional sering menuntut “transparansi” dari perusahaan yang dikontrakkannya soal struktur biaya produksi. Ini tidak lain dari cara untuk menentukan harga kontrak yang semurah mungkin bagi mereka. Jika biayanya dianggap relatif tinggi, perusahaan multinasional akan mendorongnya untuk melakukan upaya rasionalisasi—termasuk praktek seperti manajemen buruh yang “saintifik”, pengurangan keborosan, sistem kuota, penurunan standar keterampilan kerja (de-skilling), serta juga penurunan gaji.
Dalam konteks seperti ini, istilah seperti “inovasi” kehilangan semua maknanya kecuali sebagai tuntutan untuk memproduksi barang yang sama dengan biaya yang lebih rendah. Jika proses produksinya berhasil “diinovasikan”, bukan kapitalis lokal yang meningkatkan labanya, melainkan perusahaan multinasional yang membeli produknya untuk harga yang semakin murah. Lagi-lagi, buruhnya semakin tertekan di bawah dua lapisan mandor.
Terdapat juga tuntutan “fleksibilitas” dalam produksi, di mana perusahaan pemasok harus siap melayani kebutuhan perusahaan multinasional yang tidak konsisten. Dalam pasar komoditas global yang tidak mungkin diramal secara persis, perusahaan multinasional berusaha supaya semua risiko ditanggung oleh perusahaan pemasoknya. Atas nama “fleksibilitas”, perusahaan multinasional meminta pemasoknya selalu siap untuk mengurangi atau menaikkan pesanannya dari kontrak awal yang telah dibuat, terutama ketika si perusahaan multinasional harus mengatasi prediksi penjualan yang meleset. Dalam konteks permintaan yang demikian, yakni yang begitu mengganggu jadwal produksi, buruh pabrik menjadi semakin tertekan untuk memenuhi permintaan atasannya.
Di hadapan tuntutan-tuntutan untuk rasionalisasi dan fleksibilitas seperti ini, para pengusaha di dunia Selatan tidak punya daya tawar untuk menolak, karena perusahaan multinasional bisa saja lari ke perusahaan pemasok lain. Lagi-lagi, statusnya sebagai ‘yang memonopoli’ membuat perusahaan-perusahaan kecil yang dikontrakkan tersebut terpaksa untuk menerima hampir semua syarat yang telah ditentukan.
Imperialisme Belum Juga Mati
Di tengah-tengah optimisme tentang “globalisasi”, serta juga perlawanan terhadap kapitalisme berskala lokal, kita tidak boleh lupa bahwa perjuangan kelas buruh tidak mungkin lepas dari struktur ekonomi dan pasar global. Intan Suwandi mengingatkan kita bahwa seluruh proses produksi, distribusi, dan konsumsi secara global senantiasa terstruktur oleh imperialisme.
Bisa jadi wajah imperialisme masa kini sudah berubah dari bentuknya pada dekade-dekade sebelumnya, tapi itu bukan berarti bahwa konsep “imperialisme” sudah tidak mencerminkan realitas dunia kita lagi. Meskipun VoC sudah gulung tikar dan juga pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia sudah berakhir, hal ini bukan berarti imperialisme Belanda terhadap Indonesia juga ikut selesai. Perdagangan rempah-rempah bisa saja diganti dengan perkebunan gula, yang kemudian berwujud pabrik-pabrik “mandiri” di bawah kontrol perusahaan multinasional. Walaupun wajah dan bentuknya berubah, yang tetap sama adalah para imperialis yang mengeksploitasi alam dan manusia di negara-negara Selatan demi keuntungan mereka sendiri.
Seperti ditulis Kwame Nkrumah dalam bukunya Neo-Kolonialisme: Tahapan Imperialisme yang Terakhir (1965), “Sebelum masalahnya [imperialisme] dapat diatasi, setidak-tidaknya harus bisa dipahami.” Kita bisa saja merasakan bahwa dunia ini tidak adil, tapi tanpa analisis yang tajam, perlawanan kita pasti meleset. Analisis inilah yang disumbangkan oleh Intan Suwandi dalam Value Chains. Maka dari itu buku ini layak dianggap bacaan wajib bagi kaum gerakan.