Menafsir Mimpi dan Merajut Asa di Mesir
Mittermaier, Amira. 2010. Dreams That Matter: Egyptian Landscapes of the Imagination (Mimpi-mimpi yang Penting: Lanskap-lanskap Imajinasi Orang Mesir). Penerbit University of California.
1
Mittermaier melakukan penelusuran atas antropologi mimpi dengan mensurvei tulisan-tulisan dari tokoh klasik seperti Durkheim dan Malinowski, serta menunjukkan kemiripan kontemplasi isu mimpi dan realitas antara Descartes dan filsuf Islam abad ke-11, al-Ghazali. Baginya, metode Freudian yang selama ini mendominasi studi antropologis tentang mimpi bersifat hegemonik. Dia menawarkan alternatif yang dinamakannya “antropologi imajinasi”. Mittermaier hendak mempromosikan sebuah pemahaman tentang imajinasi (al-khayal) yang tidak berjangkar pada subjek individual, tapi mengacu pada sebuah alam antara yang menjembatani ranah material dan spiritual, keilahian dan manusia; dengan kata lain, sebuah pemahaman di mana imajinasi tidak sekadar menghasilkan fantasi, angan-angan, dan ilusi, tapi juga visi, kebenaran moral, dan kilasan realitas. Dengan cara ini, dia hendak mempertanyakan asumsi selama ini bahwa mimpi secara inheren terkait dengan psike, sesuatu yang berasal dari dalam diri pemimpi alih-alih bersumber dalam realitas yang lebih luas.
Untuk menunjukkan arti penting mimpi, Mittermaier tidak menggali keadaan interior pemimpi (sebuah praktik lazim dalam psikoanalisis), tapi mengarahkan fokusnya pada peran-peran yang dimainkan mimpi, pada relevansi etis dan politis dari mimpi, pada bagaimana mimpi menempatkan individu dalam jaringan luas relasi dan makna simbolik yang menggoyahkan ilusi tentang subjek otonom ala Barat.
2
Bab 1 memperkenalkan kita pada ambiguitas fenomena mimpi di Mesir. Sebagian pihak tidak bersimpati pada tafsir mimpi: kaum modern melihatnya sebagai takhayul yang tidak selaras dengan pandangan rasionalisme, sementara tradisi Islam ortodoks mencelanya sebagai heterodoks. Tapi, di sisi lain, terdapat kegandrungan terhadap mimpi dan tafsirnya. Buku-buku tentang simbolisme mimpi bisa ditemukan di hampir semua toko buku, penafsir mimpi profesional dan semi-profesional bertebaran di mana-mana, dan acara-acara televisi menampilkan para pakar yang menafsirkan mimpi. Faktanya, mimpi dan tafsirnya telah lama menempati posisi penting, baik dalam sejarah maupun praktik Islam kontemporer. Di Mesir, orang-orang berpaling pada mimpi sebagai situs perjumpaan dengan yang ilahiah dan profetik, sebuah dunia yang nyata sekaligus imajiner, dengan panduan moral dan konsekuensi etis-politis yang menyertainya. Di sini, dia menyodorkan konsep Islam tentang barzakh sebagai objek etnografis maupun perangkat analitis. Barzakh menawarkan wawasan tentang sebuah cara mengada yang meleburkan batasan kaku antara subjek dan objek, yang pastinya sukar dipahami lewat kacamata rasionalis dan sekuler Barat.
Bab 2 memberikan pemahaman bahwa tafsir mimpi bagi kebanyakan orang Mesir bukanlah semata-mata soal mengetahui cara menjernihkan makna simbol-simbol, tapi yang lebih penting: sebuah cara menafsir yang bisa menjadikan mimpi bermakna bagi pemimpi. Dalam hal ini, mimpi menyeberangi banyak ambang batas. Sebagai sesuatu yang eksperiensial, mimpi mengalami penerjemahan tiap kali ia diingat, dituturkan, dituturkan ulang, dan ditafsirkan. Sebagian mimpi mengandung instruksi moral yang begitu kentara sehingga tidak perlu proses pemaknaan intensif dari pihak individu. Tapi, sebagian lainnya butuh dimaknai terlebih dulu sebelum individu bisa bergerak untuk menanggapi instruksi moral implisit yang mereka kandung. Di sinilah peran penafsir mimpi tampak jelas: sebagai penerjemah, perantara kultural, ahli agama, dan, yang terpenting, pemandu moral. Misalnya, di kuil Ibn Sirin (tersohor sebagai Freud-nya Arab), penuturan dan penafsiran mimpi yang berlangsung tidak berorientasi pada masa lalu demi tujuan terapeutik (seperti halnya prosedur Freudian), tapi diarahkan pada masa depan dan menempatkan individu ke dalam jejaring makna yang melampaui dunia sosial dan material kasat mata. Ini tidak berarti bahwa realitas kasat mata tidak signifikan. Kuil Ibn Sirin juga merupakan pusat relasi-relasi sosial, di mana pemimpi bertemu pemimpi lainnya untuk sekadar bertukar kabar, dan kaum dhuafa berdatangan untuk menerima sedekah (sebuah kontras terhadap sofa Freudian yang privat!).
Bab 3 menyodorkan pemahaman lain: bahwa aksi melihat tidaklah lugu atau naif. Apa yang dilihat, dan bagaimana cara melihat, secara langsung memengaruhi kehidupan sehari-hari. Misalnya, hasrat untuk mendekatkan diri dengan Tuhan atau Rasul akan menuntun individu untuk melakukan inkubasi mimpi yang dikenal dengan istilah ishtikhara. Ketika mimpi visioner yang diidamkan individu benar-benar mendatanginya dalam tidur, mimpi semacam ini dipahami sebagai komunikasi langsung dengan Tuhan. Di sini, makna visi diperluas sehingga tidak lagi hanya mencakupi segala yang terlihat, ataupun mata sebagai organ yang melihat. Aksi melihat yang disiratkan oleh teknik seperti ishtikhara, yang menjadikan kasat mata apa yang sebelumnya tak kasat mata, secara simultan bergerak dalam dua arah: dari dan kepada pemimpi. Ini pada gilirannya menyiratkan apa yang disebut oleh Ibn Khaldun sebagai kesiagaan, di mana individu, meski tidak mampu menghasilkan mimpi visioner melalui kemampuannya sendiri, selalu bisa menyiagakan dirinya untuk menerima mimpi ini kapanpun ia dianugerahkan oleh Tuhan.
Bab 4 berfokus pada Kitab Visi, sebuah upaya kolektif untuk mencatat mimpi-mimpi personal yang dilakukan oleh murid-murid dari seorang ulama bernama Shaykh Qusi. Di sini, mimpi tidak sekadar ditafsirkan dan diingat oleh individu yang mengalaminya, tapi juga diungkapkan dalam pernyataan profetik yang memengaruhi persepsi dan pemahaman pihak lain. Melalui Kitab Visi, murid-murid Shaykh Qusi mengesahkan keilahian status guru mereka: bahwa Shaykh Qusi secara langsung menerima pesan dari Rasul, dan bahwa puisi-puisinya adalah ramalan yang pasti menjadi kenyataan karena terilhami langsung oleh Tuhan. Mereka dengan percaya diri melakukan pengesahan ini, karena memang demikianlah yang mereka lihat dalam mimpi-mimpi mereka. Apakah fenomena ini adalah contoh dari logika yang sirkuler dan tautologis, atau dorongan bawah sadar dari pihak murid-murid untuk mengonfirmasi otoritas guru mereka, yang pada gilirannya mengotorisasi pengalaman mereka sendiri? Bagi Mittermaier, akan lebih tepat untuk membaca fenomena ini sebagai bukti bahwa tradisi Islam tidak pernah sekadar dibaca, dipelajari, diajarkan, dan diperdebatkan dalam konteks kasat mata, tapi juga senantiasa dialami dan dimaknai dalam ranah tak kasat mata. Dalam hal ini, puisi profetik Shaykh Qusi dan konfirmasi keilahiannya oleh murid-murid merupakan upaya menjembatani ranah material dan al-khayal.
Bab 5 menimbang aspek-aspek etis dan politis dari tipe mimpi yang dinamakan mimpi kunjungan, di mana pemimpi dikunjungi oleh seseorang yang biasanya sudah tiada. Tidak seperti masyarakat teknokratis modern yang lazimnya mengabaikan mimpi (kecuali untuk keperluan diagnostik atau psikoterapeutik), orang Mesir percaya bahwa mimpi memiliki efek kausal terhadap dunia nyata. Misalnya, jika individu bermimpi dikunjungi oleh sanak familinya yang sudah berpulang, biasanya kunjungan ini juga melibatkan permintaan kepada individu untuk melakukan sesuatu bagi mereka. Sanak famili akan memberi individu informasi spesifik yang menuntut tindakan tertentu di dunia nyata, misalnya memberi makan kaum dhuafa atau berziarah ke makam orang suci. Mittermaier menyebut ini sebagai “etika mimpi kunjungan”. Mimpi semacam ini bersifat etis dan politis karena potensi transformatifnya dalam menggoyahkan ilusi tentang subjek yang otonom dan atomik.
Bab 6 menelusuri pengenalan teori mimpi Freudian dan pendirian disiplin psikoanalisis di Mesir, serta kaitannya dengan proyek modernisasi kolonial. Tidak sulit untuk membayangkan betapa bertolak belakangnya psikologi Freudian dengan cara Islam memahami mimpi. Perbedaan utama terletak pada ketidakacuhan tradisi Barat terhadap informasi manifes yang diperoleh dari mimpi karena obsesinya pada makna laten yang diyakini bisa digali melalui tafsir deduktif. Sementara itu, di sisi lain, tradisi Islam menerima mimpi sebagaimana adanya dan menganggap serius informasi yang terkandung dalam mimpi. Dan seperti telah disinggung sebelumnya: jika teori Freudian menekankan pada psikopatologi dan masa lalu (trauma-trauma dalam proses beranjak dewasa yang terkunci dalam konten laten), tafsir mimpi dalam tradisi Islam diarahkan pada informasi yang berpotensi memengaruhi perkembangan dan transformasi masa depan individu. Tapi, relasi antara kedua tradisi ini tidak semata-mata hitam-putih atau antagonistik. Aspek dialogis dari relasi keduanya dicontohkan oleh seorang penafsir mimpi tersohor, Shaykh Nabil, yang gemar mengutip dan menebarkan istilah-istilah Freudian dalam setiap pemaparannya. Dalam hal ini, teori Freudian berperan sebagai titik relasional di mana model mimpi Islamik mendefinisikan ulang eksistensinya.
Bab 7 menyoroti peran yang dimainkan teknologi media modern dalam tafsir mimpi. Mittermaier membahas bagaimana teknologi ini mampu mengomunikasikan pengetahuan dan nilai tradisional bagi umat Muslim di luar masjid. Ritual pelantunan tadra Sufi, yang mengandung kisah-kisah dari mimpi visioner, dan yang secara tradisional hanya terbatas di rumah atau masjid, kini tersebar luas melalui ponsel, surel, dan media sosial lainnya. Ulama-ulama, yang dulunya hanya menawarkan konsultasi mimpi tatap-muka, kini bisa menafsirkan mimpi lewat panggilan telepon. Bagi Mittermaier, ekspansi tafsir mimpi ke ruang siber tak pelak memiliki dampak yang revolusioner dan demokratis, utamanya dengan kemunculan para penafsir mimpi autodidak yang mengusung semangat do it yourself. Dengan kata lain, teknologi media modern memungkinkan individu untuk memikirkan dan membicarakan mimpi dengan cara yang berbeda, dengan sebuah etika yang tidak hanya soal hal-hal yang secara langsung terlihat, tapi juga mencakupi komunitas-komunitas terbayang yang lebih luas.
3
Dengan membiarkan para pemimpi dan penafsir mimpi yang dipelajarinya muncul sebagai suara alternatif, alih-alih menundukkan mereka sebagai objek studi ilmiah yang bisa dipahami secara objektif, etnografi mimpi yang dipelopori Mittermaier berhasil menghindari jebakan berupa hierarki oposisional peneliti-tineliti. Dia mendesak kita untuk tidak lagi sekadar melihat mimpi sebagai pemenuhan atas kebutuhan laten tertentu (misalnya: sebagai situs resistensi dan subversi), tapi juga sebagai bagian integral dari kehidupan sosial orang Mesir.
Bagi orang Mesir, mimpi bukan proyeksi bawah sadar yang muncul ke permukaan setelah sekian lama direpresi, melainkan perjumpaan konkret dengan yang liyan, dan perjumpaan ini dimungkinkan oleh imajinasi yang mereka asosiasikan dengan moda persepsi profetik. Dengan kata lain, mimpi dibentuk, diingat, dan ditafsirkan melalui ontologi yang juga membentuk persepsi, memori, dan imajinasi. Sebagai kesimpulan, kita dapat mengatakan bahwa mimpi memang penting: mimpi menata ulang apa yang nyata, membuka kemungkinan baru bagi kehidupan etis dan sosial, memberikan pemahaman yang berbeda tentang temporalitas dan subjektivitas, dan yang tak kalah penting, menawarkan sebuah lensa untuk membaca bagaimana Islam dan realitas terus dinegosiasikan secara konstan di Mesir hari ini.