Putihan, Pasek, dan Priyayi: Transformasi Masyarakat Islam di Jawa, 1830-1930
Ricklefs, M. C. (2007). Polarizing Javanese Society: Islamic and other Visions, c. 1830-1930 [Masyarakat Jawa yang Terbelah: Islam dan Visi-Visi Lainnya, pada tahun 1830-1930]. NUS Press.
Sejarawan Australia, mendiang Merle Calvin Ricklefs datang ke Indonesia untuk mempelajari sejarah Jawa pertama kalinya pada dekade 1960-an. Ricklefs datang di tengah membaranya gejolak krisis politik di Indonesia yang berada di tengah Perang Dingin. Puncak dari krisis ini adalah pembantaian jutaan orang terutama anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1965-1966. Selain afiliasi politik, Ricklefs mendapati bahwa latar belakang kebudayaan, terutama ketaatan yang berbeda terhadap Islam, mempengaruhi posisi tiap individu di tengah konflik tersebut.
Argumen ini sudah pernah diajukan oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java (Agama Jawa) yang melihat bahwa masyarakat Jawa Islam terbagi menjadi tiga kelompok: (1) kelompok abangan yang menganut Islam hanya sebagai identitas belaka, (2) kelompok santri yang menganut Islam secara taat, dan (3) kelompok priyayi yang merupakan kelompok bangsawan penganut Islam dan kepercayaan lokal sekaligus namun juga dipengaruhi oleh pemikiran modern. Geertz melihat bahwa kategorisasi ini bersilangan dengan posisi tiap kelompok secara sosial dan ekonomi. Kelompok abangan biasanya lebih sering ditemukan di kalangan masyarakat miskin dan anggota PKI; kelompok santri biasanya terdiri dari kelas menengah pedagang Jawa yang juga anggota Muhammadiyah, NU, atau bahkan Masyumi; sementara kelompok priyayi merupakan bangsawan yang kerap dapat ditemukan dalam Partai Nasional Indonesia (PNI).
Melalui penelitian arsip (archival research), Ricklefs mencoba untuk menguliti argumen Geertz terkait kategorisasi masyarakat Jawa Islam. Dalam penelitiannya, kategorisasi Geertz tidak ditemukan di masyarakat Jawa pada abad ke-18. Hal ini memunculkan pertanyaan lanjutan mengenai asal usul dari kategorisasi tersebut. Pertanyaan inilah yang coba dijawab Ricklefs melalui Polarizing Javanese Society: Islamic and other visions (c. 1830-1930) (Polarisasi Masyarakat Jawa: Visi Islam dan Lainnya, 1830-1930). Buku ini mencoba menelusuri sejarah munculnya kategorisasi tersebut dengan melihat konteks yang membangun dan dibangunnya.
Kolonialisme dan Pembentukan Identitas Baru
Ricklefs mengawali periodesasi kajiannya pada tahun 1830 yang merupakan titik balik kekuasaan di Pulau Jawa. Dikalahkannya Pangeran Diponegoro di Perang Jawa (1825-1830) membuat pemerintah kolonial Belanda keluar dari perang sebagai pemenang dengan kekuasaan yang lebih kuat dan tak tertandingi di Jawa. Jawa, yang saat itu mengalami pertumbuhan penduduk secara pesat, menjadi wilayah yang stabil. Melihat potensi tenaga kerja yang berlimpah, Gubernur Jenderal Van den Bosch memperkenalkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) ke masyarakat Jawa pada tahun yang sama. Para petani Jawa dipaksa untuk menanam tanaman komoditas perkebunan yang wajib dijual ke pemerintah di bawah harga yang ditentukan. Dalam prosesnya, para bangsawan lokal yang ditunjuk oleh pemerintah dilibatkan sebagai pengawas yang tidak jarang juga mengambil jatah dari hasil panen petani. Hal ini menjadi ladang korupsi yang subur. Harta hasil jatah dan pemberian wewenang dari rezim kolonial untuk mengawasi warga lokal inilah yang menciptakan kelas bangsawan baru yang lebih berkuasa dan berpengaruh.
Seiring dengan sistem tanam paksa, kesempatan untuk berwirausaha di sektor non-pertanian juga meningkat di Jawa. Ricklefs menjelaskan bahwa tanam paksa mendorong munculnya berbagai sektor non-pertanian lain yang diisi oleh para buruh serta kemunculan wirausaha lokal. Ricklefs sendiri belum memberikan penjelasan yang kuat mengenai mengapa tanam paksa mendorong berkembangnya sektor non-pertanian lain sebelum tahun 1851. Akan tetapi, Ricklefs menunjukan bahwa pemerintah Belanda menghapus pajak pasar yang membatasi perdagangan sebelumnya, terutama di sektor non-pertanian. Ditambah dengan kemajuan transportasi yang diinisasi pemerintah kolonial Belanda, komoditas yang sebelumnya kurang bernilai menemukan pasarnya. Hal inilah yang mendorong munculnya kelas menengah, baik dari etnis Jawa maupun Arab, dan pada gilirannya memiliki peran besar dalam transformasi keagamaan di Jawa.
Kembali ke isu agama, Ricklefs melihat bahwa suatu istilah yang disebutnya sebagai “sintesis-mistik” merupakan kepercayaan yang dominan di masyarakat Jawa sebelum tahun 1830. Kepercayaan ini ditandai dengan tiga hal, yakni identitas keislaman yang kuat, ketaatan kepada lima rukun Islam, dan penghormatan terhadap berbagai kekuatan spiritual lokal seperti Ratu Kidul dan Sunan Lawu. Sebelum tahun 1830, menjadi Jawa identik dengan memegang kepercayaan ini.
Transformasi sosial dan ekonomi Jawa di bawah pemerintah kolonial Belanda membuat kepercayaan “sintesis-mistik” yang dahulu dianut oleh mayoritas masyarakat Jawa mulai goyah. Sejak tahun 1852, pemerintah kolonial mulai mempermudah akses warganya untuk melakukan haji dengan menghapuskan biaya paspor yang dibutuhkan. Diiringi dengan kemajuan di bidang transportasi dengan munculnya kapal uap, jumlah haji dari Jawa mengalami peningkatan secara signifikan. Para haji yang biasanya berasal dari kelas menengah tersebut kebanyakan pulang bukan hanya dengan gelar otoritatif tetapi juga dengan pemikiran-pemikiran baru mengenai Islam—pemikiran reformis. Reformisme Islam yang umumnya menjamur di daerah pesisir tersebut menolak berbagai bentuk sintesis-mistik di Jawa seperti pertunjukan wayang atau pencarian ilmu mistis (ngelmu tarekat). Walaupun beragam, umumnya pemikiran-pemikiran ini memiliki elemen yang sama, yakni menekankan ketaatan yang lebih tekstual kepada hukum Islam.
Kelompok yang nantinya dikenal sebagai abangan muncul beriringan dengan hadirnya berbagai pemikiran reformis Islam di Jawa. Kalimat abangan sendiri muncul sebagai sebutan untuk kelompok yang menganut Islam secara nominal. Istilah ini diduga merujuk kepada kata abang (warna merah dalam Bahasa Jawa) sebagai warna baju yang mereka kenakan atau bibir mereka yang memerah akibat mengunyah sirih. Pada umumnya, kelompok abangan ini terdiri dari warga yang berada di tingkatan ekonomi bawah dan berpegang pada tradisi komunal. Menariknya, menurut Ricklefs, kemunculan kelompok abangan ini bukan hanya sebagai respons atas munculnya kelompok reformis tetapi juga fakta bahwa kelompok ini mulai menjauh dari identitas Islam yang semakin lekat dengan identitas kelompok reformis. Selain nama abangan yang dikontraskan dengan putihan (kelompok Islam reformis), berdasarkan laporan misionaris Belanda, dalam masyarakat Jawa terdapat dikotomi antara orang yang mencari ngelmu sarengat atau ilmu mengenai syariat Islam dan orang yang mencari ngelmu pasek atau ilmu mistis Jawa.
Munculnya gerakan reformisme Islam ini juga direspons secara negatif oleh kalangan priyayi. Sebagai pondasi rezim kolonial, para priyayi ini lebih diutamakan untuk menerima pendidikan baca dan tulis di tengah lautan penduduk buta huruf. Melalui analisis atas berbagai surat, buku, dan majalah yang ditulis oleh kaum priyayi, Ricklefs mampu memperlihatkan bagaimana kelompok ini secara aktif mengkritisi gerakan reformisme Islam dan mengokohkan identitas mereka. Kritik dari kelompok priyayi ini biasanya didasarkan atas pandangan sintesis-mistik yang bercampur dengan pandangan modernisme Eropa. Mereka melihat bahwa para reformis ini merupakan para agamawan yang munafik atau agamawan yang tidak mampu menjelaskan kemajuan. Pada beberapa kasus ekstrem, para priyayi ini bahkan melihat masuknya Islam di Jawa sebagai bentuk kemunduran dan mengutarakan romantisasi mereka atas masa Majapahit yang dianggap sebagai masa keemasan Jawa. Dalam kalimat Ricklefs, “transformasi budaya ini menciptakan para priyayi yang lebih modern dan tradisional secara bersamaan.”
Selain transformasi identitas keagamaan di dalam masyarakat Jawa Islam, Ricklefs juga menunjukan perubahan makna dari ke-Jawaan itu sendiri. Berbagai upaya Kristenisasi awal oleh misionaris Eropa pada awalnya gagal akibat penolakan mereka atas budaya Jawa. Jawa dianggap sebagai antitesis dari Kristen. Namun, hadirnya misionaris Indo-Eropa seperti Conrad Laurens Coolen dan tokoh penginjil Jawa, Kyai Sadrach, yang terbuka kepada tradisi Jawa, menciptakan persepsi baru bahwa menjadi Kristen tidak harus menjadi Belanda (Kristen Londo) dan bahwa orang Jawa pun bisa menjadi Kristen.
Politik Etis dan Mengerasnya Identitas
Ricklefs menyebutkan bahwa politik etis yang merupakan serangkaian kebijakan pembangunan bagi warga kolonial dari pemerintah Belanda dan tren peningkatan jumlah haji dari abad sebelumnya menjadi gerbang utama bagi masuknya berbagai ideologi transnasional. Politik etis membuka akses (terbatas) ke pendidikan bagi kalangan non-Eropa melalui berbagai sekolah publik, dan pada gilirannya, mendorong para intelektual baru untuk menyebarkan dan mengembangkan pemikiran mereka ke publik yang lebih luas. Budi Utomo atau gerakan nasionalisme Jawa lainnya yang dipengaruhi oleh gerakan anti-kolonialisme serta Theosofi (aliran kebatinan) menjadi buah dari perkembangan ini. Selain itu, dibentuk juga Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya menghasilkan elit nasionalis tetapi juga para pemikir radikal yang membawakan ide-ide komunis sehingga kemudian menjadi populer di kalangan kelompok abangan. Koneksi lintas negara yang terbentuk melalui haji juga menginspirasi gerakan lain, yakni modernisme Islam dan Pan-Islamisme. Modernisme Islam dibawakan oleh Muhammadiyah melalui gerakan edukasi sementara Sarekat Islam (SI) membawakan modernisme Islam dan Pan-Islamisme pada tataran politik.
Ricklefs melihat bahwa hadirnya berbagai wadah organisasi berperan besar dalam pengerasan identitas dari tiap kelompok. Upaya untuk menjembatani perbedaan antar kelompok gagal, seperti pada kasus gagalnya aliansi antara PKI yang didominasi kelompok abangan dengan SI yang didominasi oleh kelompok putihan pada 1924. Menariknya, perpecahan ini dipicu oleh penolakan Vladimir Lenin terhadap Pan-Islamisme yang mendapat respons berbeda dari PKI dan SI. Berbagai upaya untuk menjembatani hal ini melalui ideologi komunisme Islam pun gagal ketika basis kelompok tiap organisasi mulai berkonflik terbuka.
Analisis menarik lain yang ditunjukkan Ricklefs adalah bahwa terdapat fragmentasi di dalam kelompok santri, abangan, dan priyayi. Alih-alih sebagai tiga kelompok yang homogen, masing-masing kelompok ini pun terbagi atas berbagai wadah dan pemikiran yang berbeda. Sebagai contoh, walaupun pandangan akan sintesis-mistik dan modernisasi menjadi pemersatu kelompok priyayi, kelompok ini terpecah menjadi dua kubu: kelompok nasionalis dan kelompok yang pro-Belanda. Kelompok putihan atau santri sendiri juga terbagi di antara kelompok modernis seperti Muhammadiyah dan kelompok tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama yang dibentuk pada 1926. Walaupun kelompok abangan menjadi salah satu basis PKI di Jawa, banyak kelompok abangan sendiri yang mengikuti gerakan politik lain atau bahkan tidak mengikuti gerakan apapun.
Akhirnya, melalui buku ini, Ricklefs mampu memberikan analisis yang dalam, bukan hanya terkait sejarah kategorisasi sosial di Jawa tetapi juga konteksnya. Hal ini terutama terlihat dari analisisnya yang melihat peran kolonialisme dan ideologi transnasional dalam terbentuknya identitas tersebut. Selain peran struktur yang lebih luas, analisisnya juga melihat peran dari para pelakunya (ulama reformis, priyayi, dan penganut ngelmu pasek) dalam membentuk identitas tersebut. Pada akhirnya, buku ini mampu memperlihatkan bahwa identitas Jawa dan Islam, alih-alih merupakan identitas yang tunggal dan statis, malah merupakan identitas yang dinamis dan akan terus menerus dibentuk, didefinisikan ulang, dan diperdebatkan.