Menjadi Muslim yang Lebih Baik: Dekonstruksi ‘Keistimewaan’ Daerah Istimewa Aceh
Kloos, David. 2017. Becoming Better Muslims: Religious Authority and Ethical Improvement in Aceh, Indonesia. Penerbit Universitas Princeton.
Becoming Better Muslims mempelajari transformasi kesalehan orang Aceh dalam keseharian mereka. Berlandaskan riset arsip dan kerja lapangan yang ekstensif selama 18 bulan – antara 2008 dan 2012 di daerah Jurong dan Blang Daruet – buku ini menawarkan wawasan tentang otoritas keagamaan dan kesalehan personal di Aceh. Memulai analisisnya dari periode kolonial – terutama ihwal bagaimana pemerintah kolonial Belanda memotret dan membentuk pemahaman tentang kesalehan di Aceh – fokus kajian perlahan bergeser ke situasi hari ini, yang dicirikan oleh Islamisasi ranah legal, politik, dan sosial di Aceh setelah tsunami 2004. Secara khusus, pertanyaan pokok buku ini adalah bagaimana orang Muslim Aceh pada umumnya menjalani kehidupan sehari-hari mereka, dan rutinitas keagamaan seperti apa yang mereka praktikkan demi menjadi Muslim yang lebih baik.
Dalam sumber historis dan literatur akademik, Aceh seringkali digambarkan sebagai kawasan atau kelompok manusia yang memegang teguh etnisitas primordial dan Islam konservatif dalam upayanya menghalau intervensi dari pemerintah kolonial Belanda maupun negara Indonesia kontemporer. Dan memang, salah satu alasan Aceh menarik perhatian khalayak di abad ke-21 – akademik atau bukan – adalah rezim syariahnya yang tampak lebih keras ketimbang provinsi lainnya di Indonesia. ‘Keistimewaan’ dari Daerah Istimewa Aceh inilah yang diselidiki oleh Kloos. Tapi ketimbang mengafirmasinya begitu saja (dan terjatuh ke dalam perangkap Orientalisme), Kloos berusaha mengaitkan keistimewaan ini dengan religiusitas orang Aceh melalui dekonstruksinya atas bayangan mengenai masyarakat Aceh yang ‘konon’ fanatik. Upaya ini ditempuhnya dengan melacak genealogi dari formasi historis ‘keistimewaan’ Aceh dalam etnografi kolonial Belanda dan politik nasional Indonesia, serta dengan menyajikan analisis etnografis tentang kegelisahan, ambivalensi, dan bahkan kegagalan moral yang dirasakan orang Aceh dalam religiusitas sehari-hari mereka.
Becoming Better Muslims terdiri dari enam bab yang bisa dibagi ke dalam dua bagian (historis dan etnografis). Tiga bab pertama (sebuah pendahuluan yang diikuti dua bab historis) didasarkan pada literatur sekunder dan arsip-arsip dalam bahasa Belanda dan Inggris. Bagian ini menyajikan latar belakang dan tinjauan ihwal aktivisme Islam oleh aktor-aktor negara serta organisasi sipil. Tiga bab terakhir tersusun atas percakapan dan wawancara dengan penduduk Jurong dan Blang Daruet. Sebagian besar dari mereka tidak dididik secara intensif dalam Islam dan tidak pula terafiliasi dengan organisasi Islam. Melalui narasi subjektif dan refleksi pribadi merekalah Kloos menyusun argumennya tentang agensi keagamaan, yang sekaligus merupakan kontribusi utama buku ini.
Pendahuluan dibuka dengan rangkuman komprehensif tentang ‘keistimewaan’ Aceh. Kloos mendeteksi bias dalam analisis akademik yang selama ini terlalu menekankan pada sejarah perlawanan dan kesalehan ekstrem orang Aceh. Hendak melampaui klise-klise ini dalam analisisnya atas Islam sehari-hari dan subjektivitas orang Aceh, Kloos meminta kita untuk lebih menghargai dinamika interaksi antara aktor-aktor negara, otoritas-otoritas keagamaan, dan individu-individu Muslim. Dalam perspektif ini, otoritas tradisional tidak lagi sekadar pihak oposisi yang berjuang melawan intervensi negara, tapi yang juga memanfaatkan struktur negara untuk meningkatkan kekuasaan mereka dan menguasai sumber daya. Dan orang Aceh tidak lagi dipandang sebagai kaum fanatik yang seolah tak punya kesadaran subjektif, karena Kloos justru menunjukkan bahwa kemerosotan dan kejatuhan moral yang secara berkala dialami orang Aceh (dan tentu saja semua manusia secara umum) adalah hal yang kondusif bagi perkembangan religiusitas mereka.
* * *
Bab satu menguraikan situasi-situasi sejak pengujung era kolonial yang telah membentuk sejarah Aceh dan berkontribusi pada reputasi Aceh sebagai sebuah provinsi dengan penerapan hukum syariah yang ketat. Dengan membahas sejarah Aceh dari awal sampai angkat kakinya Belanda pada 1942, pertanyaan pokok yang diajukan bab ini adalah bagaimana Aceh bisa sampai dibayangkan sebagai kawasan yang saleh, dan pihak-pihak mana saja yang mampu mengklaim tafsir yang ‘tepat’ atas Islam. Meski mengamini bahwa Islam memang unsur utama dalam fondasi politis dan ideologis kesultanan Aceh, Kloos berargumen bahwa citra Aceh yang saleh pada dasarnya adalah produk dari perjumpaan kolonial dan relasi kuasa yang timpang antara pihak penjajah dan terjajah. Di sini, Kloos menyangkal argumen simplistik bahwa Islam normatif yang memuncak pada penerapan hukum syariah tahun 2006 adalah hasil dari separatisme GAM atau fanatisisme orang Aceh, dan sebaliknya, menyodorkan narasi tandingan bahwa kebijakan kolonial Belanda di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah mendorong formasi kelompok otoritas religius yang merangkul Islam ortodoks.
Bab dua menunjukkan bahwa skripturalisme Islamik tidaklah berdampak begitu besar pada kehidupan sehari-hari orang Aceh. Menyelidiki dampak negara dan Islam reformis terhadap kehidupan religius orang Aceh pada dekade-dekade awal kemerdekaan Indonesia, Kloos menggeser pemahaman esensialis dan fokus yang selama ini tertuju pada Aceh sebagai contoh studi kasus pemberontakan dan separatisme. Alih-alih memandang Aceh sebagai seteru abadi negara nasional dan sekuler, Kloos berpendapat bahwa pendekatan yang lebih baik adalah melihat bagaimana negara (khususnya selama era Orde Baru) berkelindan dengan masyarakat Aceh, dan bagaimana proses ini memengaruhi kontestasi lokal tentang praktik dan otoritas keagamaan.
Bab tiga merupakan kelanjutan dari bab dua, dan menunjukkan bagaimana persepsi ihwal ‘kepemimpinan moral’ dipahami secara berbeda-beda oleh individu. Kata kuncinya adalah ‘masalah kekompakan’, dengan deskripsi ihwal ketegangan di Jurong antara pihak ulama dari Dayah Darul Hidayah dan komunitas desa, yang sekaligus menegaskan hubungan yang ambivalen antara negara, penduduk desa, dan otoritas keagamaan. Dituturkan di sini bahwa anggota Dayah Darul Hidayah dan elit desa terlibat dalam aneka macam korupsi dan nepotisme, dan memakai institusi Islam untuk memperkuat kepentingan mereka. Praktik ini secara ironis dipandang penduduk desa sebagai pertanda bahwa kaum ulama tidak lagi memedulikan mereka, atau justru malah terlalu peduli (interventif), karena kini batasan antara desa dan dayah (sekolah agama) semakin mengabur. Situasi ini sendiri ditafsirkan secara berbeda oleh kaum tua dan muda. Pihak pertama pesimis, sementara pihak kedua melihat terbukanya kesempatan untuk mengejar kepentingan mereka melalui struktur negara.
Bab empat menunjukkan bagaimana keluarga – selaku situs penting dalam kontestasi religius – menanggapi intensifikasi dan revitalisasi identitas Muslim dari salah satu anggotanya. Lokasi berpindah ke Blang Daruet, dengan fokus pada satu keluarga. Eri adalah seorang pemuda berusia 20-an. Setelah menghabiskan dua tahun di sebuah madrasah di Jakarta dan kemudian merasakan ketertarikan pada ideologi PKS, dia pulang ke Aceh dengan mengusung gaya hidup teramat saleh dan sikap yang moralistik terhadap keluarganya. Secara alamiah, muncul negosiasi dengan orang tuanya, Ikhsan dan Meli, tentang kesalehan dan praktik keagamaan yang tepat. Penekanan Eri pada norma-norma skriptural diakomodasi, alih-alih ditolak ataupun diterima sepenuhnya. Bagi Kloos, respons orang tua Eri adalah contoh hubungan rumit antara ekspresi kesalehan personal dan tanggung jawab terhadap keluarga, serta contoh fleksibilitas individu Muslim di hadapan Islam normatif.
Bab lima menegaskan ulang bahwa kemerosotan moral tidak ditanggapi oleh individu Muslim dengan fatal dan final, melainkan dengan fleksibilitas dan kreativitas. Melalui pembahasannya atas hayat, gagasan religius, dan praktik dari empat individu, Kloos menyelidiki bagaimana umat Muslim memahami dosa yang mereka sadari betul telah diperbuat, dan bagaimana mereka menempatkan pemahaman personal ini di hadapan totalisasi hukum Islam di Aceh; dengan kata lain, sebuah pemahaman ihwal dosa sebagai masalah sosial sekaligus pribadi. Kisah Rahmat menunjukkan relasi penting antara usia dan penyesalan dengan dosa-dosa masa lalu. Kisah Yani mengurai hubungan antara tekanan sosial dan tanggung jawab personal. Kisah Aris dan Indra menyoroti persepsi ihwal kesuksesan dan godaan serta relasinya dengan kesalehan. Empat kisah ini menunjukkan bagaimana individu memintasi dan menyesuaikan diri dengan diskursus Islamik dominan dalam rangka menjadi Muslim yang lebih baik. Dengan demikian, pemahaman dan penanganan atas dosa dalam kasus orang Aceh memberikan wawasan penting tentang hubungan antara perilaku pribadi, moralitas, dan pendisiplinan formal. Individu terbukti memiliki lebih banyak otonomi dalam merespons hukum syariah ketimbang yang selama ini disangkakan oleh gagasan seperti ‘Islamisasi’ dan ‘fundamentalisme’.
* * *
Keputusan Kloos untuk menjelajahi potensialitas agensi di tengah-tengah kungkungan normativitas adalah sebuah kontribusi penting dalam studi Islam. Usaha ini bisa dianggap sebagai proyek untuk memahami moralitas dan etika religius secara fenomenologis. Kelindan antara agensi dan struktur telah banyak diadopsi sebagai kerangka kerja dalam studi-studi tentang relasi Islam (atau agama secara umum) dan negara. Pendekatan ini tentu baik, tapi berisiko untuk menuntun para sarjana menjauh dari apa yang sesungguhnya esensial dalam studi humaniora: manusia itu sendiri. Andaikan struktur diabaikan, kita takut kalau studi nantinya tidak mengandung objektivitas ilmiah. Tapi dengan merangkul struktur, subjektivitas dan refleksivitas individu pada gilirannya jadi cenderung terabaikan. Isu yang hendak diangkat Kloos dalam buku ini mungkin bisa diringkas sebagai berikut: apakah respons kreatif dan fleksibel terhadap Islam normatif adalah juga respons yang religius (baca: Islami)? Apakah agensi yang demikian, yang muncul sebagai respons atas – alih-alih bersumber dalam – skripturalisme, adalah praktik Islam itu sendiri?
Becoming Better Muslims adalah sumbangsih penting dalam studi antropologis tentang Islam dan etika. Dengan fokusnya pada negosiasi dan navigasi aturan-aturan Islam melalui keraguan, pilihan, dan pertimbangan individual, Kloos mengajak kita untuk berhenti memandang orang Aceh sebagai istimewa (dalam hal kesalehan dan fanatisisme), dan sebaliknya, mengundang kita untuk melihat bagaimana individu memainkan agensi mereka melawan daya-daya normatif dalam kontestasi untuk menentukan apa yang baik dan buruk. Agensi ini sendiri tentu saja bukan proses yang padu dan linier, melainkan sebuah alur yang ambivalen dan tak terduga. Menjadi Muslim yang lebih baik tidak melulu soal pertunjukan kesalehan karena, seperti argumen Kloos, kegagalan moral secara inheren terus berdialektika dengan perbaikan etika.