Islam Virtual: Konstruksi Identitas Muslim Kontemporer lewat Media Digital

Dipublikasikan oleh Izmy Khumairoh pada

Bunt, Gary R. 2018. Hashtag Islam: How Cyber-Islamic Environments Are Transforming Religious Authority [Tagar Islam: Bagaimana Lingkungan Siber-Islam Mentransformasi Otoritas Keagamaan]. Penerbit Universitas North Carolina.   


Hashtag Islam (2018) menawarkan suatu perspektif baru dalam menjelaskan dinamika hubungan antara ‘yang tradisional’ (agama, khususnya Islam) dan ‘yang modern’ (internet). Alih-alih dianggap sebagai ancaman sekularisasi, kemunculan cara baru persebaran informasi di tataran dunia maya ditangkap oleh Gary R. Bunt sebagai celah untuk meneruskan nilai-nilai Islam ke setiap relung kehidupan seorang Muslim. Terlebih, keberadaan media massa digital yang bercorak intensif sekaligus eksesif menjadi sebuah kendaraan praktis untuk mewujudkan agenda perubahan dalam Islam, baik di konteks lokal maupun global, misalnya pergeseran model otoritas keagamaan, transformasi sosial, aktivisme Islam, fenomena e-jihad, hingga wacana pembangunan negara Islam. Semua fenomena ini hanyalah pucuk es dari kompleksitas antara Islam dan teknologi digital di era modern. Inilah topik utama yang dibahas oleh Bunt di dalam buku ini dengan melakukan studi kasus di berbagai negara dengan mayoritas Muslim.

Pada bab pertama, Bunt mengawali isi buku dengan menjelaskan pentingnya mengkaji fenomena Islam dan Muslim di dunia maya lewat sudut pandang multidisiplin. Adanya ruang publik alternatif selain ranah tatap muka bagi sesama Muslim lewat pemanfaatan teknologi – yang disebut Bunt sebagai Cyber-Islamic Environment/CIE (‘lingkungan siber Islam’) – turut memberikan perubahan pada wajah Islam kontemporer, utamanya perihal penyampaian serta pemahaman pesan berbasis ajaran agama. Dengan aura kesakralan yang melekat pada agama, CIE hadir sebagai wadah politis yang tidak hanya membuka peluang kebebasan berpendapat, tetapi juga ajang pemeliharaan kontrol baru atas umat Islam sebagai bentuk respons dari pemegang otoritas tertinggi, seperti negara atau kelompok ulama. Oleh karena itu, penting di sini untuk melihat fenomena CIE melalui teori wacana globalisasi komunikasi masyarakat. Hal ini tampak dalam analisis Bunt dalam buku ini dengan meminjam teori dari Manuel Castells dan Jürgen Habermas.

Gary R. Bunt

Secara lebih rinci, pada bab dua, Bunt memaparkan bentuk-bentuk integrasi antara teknologi dan pendekatan tradisional yang menekankan nilai-nilai keislaman bukan hanya secara isi tetapi juga tampilan. Sebagai contoh, kehadiran aplikasi pengingat shalat, media sosial Islami berbahasa Arab yang membawa misi “oleh umat Muslim, melalui umat Muslim, untuk dunia”, hingga kemunculan emoticon perempuan berhijab, menjadi sebuah penanda bagaimana ajaran agama Islam dapat diakses dengan mudah lewat genggaman tangan dan melintasi waktu serta ruang yang berbeda. Walaupun muncul kekhawatiran ihwal bagaimana nilai dan konsep ajaran agama Islam yang diartikulasikan berisiko mengalami penyederhanaan dalam media digital, serta penyalahgunaan internet yang berpotensi mengganggu akidah umat Islam, internet nyatanya juga turut dimanfaatkan sebagai media untuk menyuarakan hak warga sipil yang selama ini termarjinalkan. Misalnya, pembatasan ruang gerak muslimah di ruang publik yang terjadi di Arab Saudi.

Masuknya pengaruh Islam dalam wajah dunia maya dengan demikian juga secara tidak langsung memunculkan peluang untuk memproyeksikan dinamika isu-isu keislaman dalam konteks luring ke konteks daring. Perluasan arena mediasi ini beserta implikasi polemisnya dipaparkan oleh Bunt secara komprehensif pada bab tiga. Kelonggaran yang tercipta ketika ajaran agama Islam kini dapat diakses tanpa melalui cara-cara konvensional melahirkan analisis yang paradoks. Yakni, di satu sisi, zona bebas internet dapat memangkas keterbatasan umat dalam mengakses ajaran agama. Misalnya jarak, jenis kelamin, pekerjaan, atau hambatan kultural lainnya. Akan tetapi, di sisi lain, hal ini juga dapat mengikis pemikiran kritis umat Islam dalam memahami ajaran agama, serta memunculkan tantangan seputar orisinalitas sumber ajaran agama yang tersebar di dunia maya. Selain itu, integrasi ruang nyata dan virtual ini memungkinkan praktik komodifikasi agama dan mengintensifikasi kontestasi pendapat keagamaan yang ada di ruang publik. Transformasi digital umat Islam ini lantas dinilai oleh Bunt sebagai ekspresi Islami keseharian yang direpresentasikan secara daring dengan cara yang beragam, sesuai dengan interpretasi dan pengetahuan budaya-agama yang dimiliki masing-masing individu.

Arus transmisi ajaran agama Islam yang deras dan tanpa sekat di internet kemudian mengancam ekosistem CIE dengan merebaknya anonimitas dan ketiadaan jaring pengaman dalam berinteraksi. Pada bab empat, Bunt menggali aneka bentuk pergeseran teknologi dalam konteks penetapan otoritas hukum agama serta bentuk antisipasi untuk menghadapi ancaman kestabilan ideologi. Generasi yang melek media (media-savvy) sebagai pihak utama yang mendapatkan keuntungan dari hadirnya Islamisasi di dunia maya nyatanya tidak otomatis menunjukkan tingkat pemahaman yang lebih dalam. Informasi yang berlimpah-ruah, clickbait, dan aneka cara yang menggiring individu untuk masuk dalam skema pasar kapitalisme global melalui media digital pada akhirnya menjebak individu ke dalam monopoli konten atau ide-ide keagamaan yang ditawarkan oleh pihak lain, dan tidak jarang, mereka juga terselip ke dalam agenda politik di dalamnya.

Masih pada bab yang sama, Bunt kemudian mengajak pembaca untuk mempertanyakan ulang konsep ijtihad dan peran mujtahid sebagai sumber otoritas primer dalam konteks Islam hari ini. Dalam konteks media baru, otoritas tradisional Islam tergantikan dengan bentuk otoritas baru yang bersifat virtual dan instan. Penyebaran konten agama melalui tweet, dalam bentuk meme, serta kehadiran tokoh seleb agama yang mampu menjangkau audiens tertentu lewat pendekatan Islam yang lebih segar menjadikan konsep otoritas dan auntentisitas dalam realitas Islam kontemporer semakin kabur. Sebagai respons, beberapa negara Muslim menerapkan pembatasan penggunaan internet dan menyediakan fitur ‘ijtihad elektronik’ sebagai sarana pendistribusian fatwa via internet demi mengontrol nilai-nilai Islam. Dalam hal ini, kesenjangan antara wawasan keagamaan dan literasi digital dapat menjadi masalah dan berpotensi menciptakan distopia dalam CIE, yang termanifestasi dalam bentuk kontrol dan pembatasan ekspresi identitas Muslim di dunia maya.

Kecanggihan teknologi dan media digital tidak hanya dimanfaatkan untuk mempererat umat (ummah) dan persatuan (ukhuwah) bagi umat Islam, tetapi juga menjadi mobilisasi sumber daya bagi kelompok “Islam radikal”. Pada dua bab terakhir, Bunt memaparkan bagaimana dunia maya mempermudah mobilitas para pelaku ekstremisme kekerasan (violent extremism), mulai dari proses perekrutan, pendanaan, hingga peluang keterlibatan tokoh penting yang memiliki kesamaan kepentingan. Media digital juga menjadi sarana kelompok radikalis untuk menyebarkan ketakutan secara global dengan penguasaan mereka terhadap cara kerja internet dan media. Misalnya, propaganda negara Islam oleh ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) disebarkan dalam format video dengan memperhatikan aspek pencahayaan, gestur, audio, serta pemilihan kutipan ayat Al-Qur’an. Kesemua aspek ini menjadi pertimbangan strategis karena hal ini menentukan keberhasilan penyampaian pesan. Merespons fenomena ini, Bunt berpendapat bahwa diperlukan strategi literasi digital yang sama untuk melakukan konter wacana terhadap propaganda kelompok ekstremis. 

Sebagai penutup buku, Bunt menaruh beberapa inti gagasan penting yang mewakili perjalanan dirinya sebagai seorang pakar dalam kajian Islam selama kurang-lebih dua dekade. Dalam pandangan Bunt, terjadinya pergeseran ruang dan pendekatan dalam penyebaran ajaran Islam bukanlah hal yang baru; Al-Qur’an, misalnya, dulu disampaikan (mediated) kepada umat Islam melalui media-media tradisional seperti pelepah kurma, dan diwariskan dari generasi ke generasi, direspons dan direfleksikan oleh umat Islam, serta menjadi basis utama dalam tradisi Islam hingga saat ini. Dengan kalimat lain, mediasi agama merupakan sebuah proses yang tak terelakkan dalam cara kita beragama, dan interpretasi atasnya akan dipengaruhi oleh habitus tiap-tiap individu. Ruang baru yang dihadirkan oleh teknologi digital kemudian membuat fenomena religius ini tergaungkan dengan lebih keras dan berkembang menjadi wacana global. Selain itu, perspektif dan suara-suara marjinal umat Islam turut terangkat ke permukaan, mencoba menantang otoritas tradisional yang telah mapan.

Bunt juga mendorong agar para akademisi lintas disiplin dapat terlibat dalam proyek pengkajian transformasi Muslim di era digital agar pendekatan yang dilakukan lebih holistik. Kompleksitas dalam fenomena luring-daring ini, terutama aspek teknologisnya, membuat kita akan terus mengimajinasikan bentuk transformasi seperti apa lagi yang akan hadir dalam ekosistem umat Islam saat menyikapi perubahan teknologi yang kian berkembang dari waktu ke waktu. Dengan demikian, hubungan antara agama dan inovasi teknologi akan selalu menjadi salah satu elemen utama dalam pengkajian Islam kontemporer dan masyarakat Muslim di masa depan.

Umat Muslim memang kini memiliki ruang gerak yang lebih leluasa untuk mengekspresikan religiusitas dalam ruang publik. Namun, karakter era dunia maya yang bebas akses telah disadari betul dapat mengancam status quo pemegang kepentingan dari institusi agama serta menciptakan banalitas dalam ajaran agama. Buku ini kemudian seakan-akan mengajak kita untuk memikirkan ulang, apakah mungkin kesakralan dan autentisitas sebagai aspek fundamental agama dapat dipertahankan walau terhibridisasi dengan teknologi?

Kategori: Islam

Izmy Khumairoh

Izmy Khumairoh, seorang pengajar di prodi Antropologi Sosial Universitas Diponegoro. Fokus mengkaji interseksi antara aspek agama, gender dan media. Menempuh pendidikan antropologi di Universitas Padjadjaran (S1) dan Universitas Gadjah Mada (S2). Publikasi yang pernah diterbitkan berjudul “Ayo Menikah (Muda)!: Mediatisasi Ajaran Islam di Media Sosial” (Umbara Indonesian Journal of Anthropology Vol 2, No 1, 2017). Selain itu, berkesempatan untuk memaparkan hasil penelitian tesis yang berjudul “Instadakwah: Redefinisi Kesalehan Perempuan Muslim di Bandung lewat Mediatisasi Ajaran Agama Islam di Instagram” pada seminar Criminalising and Emancipatory Trends in Family Law in Indonesia and other Muslim Majorities Countries (2018) di Leiden University, Belanda.