Kebanyakan Protes dan Hobi Melawan: 17 Suara Perlawanan Perempuan Muslim Tanpa Filter
Khan, Mariam (ed.). 2020. It’s not about the Burqa: Muslim Women on Faith, Feminism, Sexuality and Race [Bukan tentang Burqa: Perempuan Muslim Berbicara tentang Iman, Feminisme, Seksualitas, dan Ras]. London: Picador.
It’s Not About the Burqa mempermasalahkan bahwa selama ini narasi yang beredar tentang perempuan Muslim seringkali ditulis bukan oleh perempuan Muslim itu sendiri. Akibatnya, narasi yang tercipta seringkali mereduksi mereka hanya sebagai suatu karakter dengan satu dimensi , yakni diri mereka hanyalah tentang kain kerudung yang bertengger di atas kepala. Buku ini terdiri atas 17 artikel kontribusi perempuan Muslim yang tinggal di Inggris, tetapi permasalahan inti yang mereka sajikan sering kali lekat dengan persoalan yang selama ini juga terjadi di Indonesia. Meskipun berbentuk kumpulan artikel, benang merah utama yang menggabungkan keseluruhan buku ini terletak pada pengakuan utuh bahwa menjadi Muslim sekaligus feminis bukanlah hal yang kontradiktif. Mariam Khan, editor buku ini, berpedapat bahwa selama ini perempuan Muslim disangsikan oleh feminisme arus utama lantaran kain kerudung yang mereka kenakan . Bagi feminis semacam ini, kerudung adalah tanda opresi agama, seberapapun diteriakkan bahwa ini merupakan pilihan sadar individual sebagai bentuk ketaatan agama. Bagi Khan, “Feminisme Kulit Putih” menganggap pengalaman dan norma perempuan kulit putih berlaku pula secara universal bagi perempuan di seluruh dunia; seolah-olah menjadi perempuan berdaya berarti menjadi perempuan seperti mereka.
Oleh karena itu, untuk mengklaim kembali feminisme yang inklusif, Khan mengangkat konsep interseksionalitas yang diteorisasi oleh Kimberlé Crenshaw. Dalam perspektif ini, tidak ada satu bentuk feminisme yang mampu membebaskan seluruh perempuan, karena jika demikian maka ia kemudian berpotensi menjadi opresor. Sebaliknya, feminisme harus mengakui pengalaman perempuan dengan lapis-lapis identitas yang berbeda: mereka yang memiliki kulit berwarna, berasal dari negara Dunia Ketiga, dengan kemampuan tubuh berbeda, atau dengan kepercayaan agama berbeda. Khan menegaskan bahwa feminisme sebaiknya musnah jika hanya identitas sebagian perempuan saja yang dianggap valid (Feminism Needs to Die). Dengan demikian, ketujuh belas perempuan dalam buku ini tidak bermaksud menguniversalkan suara siapapun. Akan tetapi, mereka hanya menceritakan pengalaman interaksi intim mereka masing-masing dengan Islam, kesetaraan gender, dan pemberdayaan diri. Melalui antologi ini, masing-masing mereka (sebagai individu perempuan Muslim) berusaha mengklaim perjalanannya masing-masing, dan seluruhnya patut untuk didengar.
* * *
Mona Eltahawy (Too Loud, Swears Too Much, and Goes Too Far; Kebanyakan Protes, Kebanyakan Memaki, dan Kelewatan) membuka buku ini dengan menulis bahwa dalam memperjuangkan haknya, perempuan Muslim terjebak di antara dua kekuatan kontradiktif yang opresif. Di satu sisi, kelompok sayap kanan islamofobik mengatakan bahwa sumber kemalangan mereka adalah ajaran Islam dan tekanan misoginis yang dilancarkan oleh “laki-laki berjanggut” dalam kelompok tersebut. Salah satu contohnya, Malia Bouattia (The British State’s Contradictory Relationship with Muslim Women; Hubungan Kontradiktif Inggris dengan Perempuan Muslim) menggarisbawahi bahwa strategi kontra terorisme yang diterapkan di Inggris telah mengaburkan Islam dengan identitas teroris. Lebih jauh lagi, Inggris justru menempatkan dirinya sebagai ‘pelindung’ perempuan dari kejahatan laki-laki Muslim fanatik.
Di sisi lain, laki-laki Muslim berusaha membela interpretasi agamanya dengan membungkam perempuan yang memprotes praktik misoginis atas nama Islam. Di sini, karena interpretasi Islam adalah arena kekuasaan laki-laki, tekanan pun terasa datang seolah dari seluruh elemen dalam Islam, termasuk dari sesama perempuan. “Bagi auntie-ji (perempuan generasi tua) di komunitas kami, perempuan selalu milik ayah, saudara laki-laki, dan suami mereka. Kelak nanti, mereka adalah milik anak-anak laki-lakinya,” tulis Sufiya Ahmed dalam The First Feminist (Feminis Pertama). Karena bukan milik dirinya sendiri, perempuan akan selalu dibebani ekspektasi berupa tuntutan untuk bersikap santun dan pemujaan pada laki-laki yang diposisikan sebagai pemiliknya — dua hal yang dikonstruksi untuk membatasi individualitas perempuan (Coco Khan, Immodesty is the Best Policy; Menolak Sopan adalah Keputusan Terbaik).
Pengalaman konkret tentang tekanan dari komunitas perempuan Muslim ditulis oleh jurnalis Salma Haidrani dalam Eight Notifications (Delapan Notifikasi). Ketika menulis tentang sebuah toko alat bantu seks halal di Inggris, dia mengharapkan reaksi positif dari komunitas Muslim yang selama ini tidak memiliki ruang untuk mengeksplorasi seksualitas mereka, tanpa harus merasa terintimidasi oleh toko alat bantu seks konvensional. Sebaliknya, Salma meraup komentar kebencian sebagai suatu hukuman sosial lantaran sudah berani membicarakan kenikmatan seksual melalui terminologi halal. Dalam konteks ini, tidak ada suara penengah yang mengizinkan perempuan untuk mencintai agamanya, tetapi pada saat bersamaan juga membenci interpretasi patriarkis atas agama. Di satu sisi, oleh pihak luar, perempuan Muslim dipandang submisif dan teropresi, tetapi di sisi lain, oleh sesama Muslim, mereka disingkirkan jika gagal menjadi perempuan penurut yang serba taat. Singkatnya, eksistensi perempuan Muslim adalah arena perang ideologi, sementara mereka tidak pernah benar-benar dianggap sebagai individu dengan suara sendiri.
Tekanan dua arah ini mengarah pada dua representasi perempuan Muslim yang ekstrem, yaitu antara penggambaran sebagai perempuan submisif atau sebagai perempuan yang sepenuhnya menyeberang dari ajaran Islam. Nafisa Bakkar (On the Representations of Muslims; Tentang Representasi Muslim) menulis bahwa citra yang sering direpresentasikan oleh media—biasanya oleh merek produk kecantikan dan kampanye politik — adalah perempuan berkulit terang dan bertubuh langsing yang kebetulan saja mengenakan kerudung. Representasi semacam ini tidak menyorot diskriminasi yang terjadi secara struktural pada perempuan Muslim yang sebenarnya beragam, terutama di konteks belahan dunia Barat. Ia hanya menerima eksistensi perempuan Muslim selama mereka bisa menyelaraskan diri dalam struktur ekonomi kapitalis dan politik liberal.
Di sisi lain, lagi-lagi, perempuan Muslim juga seakan tertuntut oleh ekspektasi dari komunitas mereka untuk merepresentasikan agama Islam dengan baik, terutama jika mereka mengenakan kerudung. Oleh karena itu, perempuan berkerudung akan menerima cibiran ekstra jika mereka dianggap tidak cukup taat dan meragukan barang sedikit saja keputusannya untuk berkerudung. Seperti yang ditulis Afia Ahmed, “Seluruh kecintaanku (pada Islam) diragukan hanya karena aku masih berjuang dalam salah satu aspeknya,” (The Clothes of my Faith; Pakaian Agamaku). Memaksa atau bahkan mendorong perempuan Muslim ke dalam dua kotak ekstrem, dengan demikian, terbukti bermasalah, sebab hal ini menginvalidasi keberadaan lapis-lapis identitas lain yang dimiliki oleh perempuan Muslim selain gender dan agamanya.
Dalam konteks lain, melalui artikelnya dalam buku ini, Afshan D’souza-Lodhi menceritakan tentang pergumulannya sebagai seorang biseksual karena seumur hidupnya dia diajarkan bahwa Tuhan membenci perempuan yang tertarik secara seksual pada sesama perempuan. Lewat artikelnya, Afshan menegaskan bahwa tubuh, agama, kerudung, dan seksualitasnya adalah miliknya sepenuhnya — bahwa menjadi Islam dan queer bukanlah dua identitas kontradiktif, melainkan keduanya dapat saling tumbuh berdampingan (Afshan D’souza-Lodhi , Hijabi (R)evolution; (R)evolusi Hijabi).
Sejumlah artikel lain dalam buku ini juga menyuarakan penolakan yang sama terhadap label sempit atas perempuan— seperti Raifa Rafiq yang menulis bahwa ke-Islam-annya tidak pernah menghalanginya untuk menjadi manusia dengan akal pikiran yang kompleks, tidak hanya terbatas pada identitas agama (Raifa Rafiq, Not Just a Black Muslim Woman; Bukan Sekadar Muslim Perempuan Kulit Hitam).
Pengabaian terhadap kompleksitas identitas juga berbahaya karena berpotensi mengabaikan isu penting lain di dalam komunitas Muslim secara keseluruhan. Misalnya, konsep “malu” sering kali menjadi fitur pertama yang diajarkan pada perempuan Muslim, terutama dalam konteks suatu budaya yang menganut interpretasi patriarkis atas agama. “Bagi mereka, aku adalah perempuan yang seharusnya tahu tempat,” tulis Amna Saleem, suatu ekspresi yang menunjukkan rasa bersalah yang secara turun-temurun ditanamkan pada diri perempuan Muslim (Amna Saleem, Shame, Shame, It Knows Your Name; Rasa Malu itu Tahu Namamu). Melalui rasa malu dan bersalah ini, kebebasan perempuan untuk memutuskan pilihan hidupnya dibatasi, tak peduli seberapapun pembatasan itu bisa membunuhnya.
Pengalaman menarik lain dalam buku ini ditulis oleh Saima Mir. Setelah dua kali bercerai, ia dicemooh bertubi-tubi bahwa dirinya telah mencoreng tidak hanya harga dirinya, tetapi juga harga diri keluarganya. Suatu hadis yang mengatakan bahwa perceraian adalah “tindakan yang diperbolehkan tetapi paling tidak disukai Allah” dipelintir menjadi sesuatu yang sepenuhnya haram dilakukan, apalagi jika itu dilayangkan oleh pihak perempuan. Terlebih lagi, perceraian kerap dipandang dari sisi negatif tanpa memperdulikan kemungkinan kehidupan yang lebih baik bagi kedua individu jika berpisah (Saima Mir, A Woman of Substance; Perempuan dengan Makna). Selain itu, memposisikan perempuan secara inferior dalam hubungan pernikahan juga akan berdampak negatif, terlebih jika pernikahan tersebut tidak didaftarkan secara legal, sebab hal ini dapat mengikis lapisan perlindungan hukum bagi perempuan (Aina Khan, How Not to Get Married; Cara untuk Tidak Menikah).
Selain perceraian, membicarakan seks adalah hal tabu lainnya bagi perempuan Muslim. “Apa kamu gak merasa bersalah?” adalah reaksi pertama orang-orang ketika mengetahui bahwa seorang perempuan telah mengakses konten seksual atau bahkan berpartisipasi langsung dalam aktivitas seks di luar nikah. Lantaran seks, rasa malu, dan rasa bersalah dipahami secara bias dan dalam arti sempit, kesempatan untuk membicarakan seks dalam konteks yang menyenangkan dan memberdayakan telah dicuri dari perempuan Muslim. Dalam hal ini, seks hanyalah dipandang sebagi komoditas yang dimiliki oleh perempuan guna ditawarkan dan dinikmati oleh laki-laki (Salma El-Wardany, A Gender Denied; Gender yang Disingkirkan).
Bukan hanya perempuan yang dirugikan dalam relasi kuasa timpang ini, tetapi juga laki-laki. Misalnya, jika rasa malu dapat menghalangi kesempatan perempuan untuk memilih, maka hal yang sama justru dapat memaksa laki-laki untuk menyembunyikan rasa takut dan kekhawatirannya dengan berpura-pura untuk selalu menjadi kuat. Padahal, sebagaimana perempuan, laki-laki juga bisa saja rapuh secara mental. Oleh karena itu, masalah kesehatan mental juga harusnya menjadi isu yang tak boleh terlewat dalam interpretasi agama. Dalam hal ini, Jamilla Hekmoun berargumen bahwa solusi medis dan pendekatan spiritual bukanlah hal yang bertentangan (Jamilla Hekmoun, There’s No Such Thing as a Depressed Muslim; Tidak Ada yang Namanya Muslim yang Depresi).
* * *
It’s Not About the Burqa meneriakkan diskriminasi dan kekerasan yang selama ini dialami oleh perempuan Muslim. Buku ini mengajak pembaca untuk berhenti menormalisasi kekerasan yang selama ini mereka alami dan menyadari bahwa diri mereka pantas untuk mendapatkan kesetaraan (Yasmin Midhat Abdel-Magied, Life Was Easier Before I Was Woke; Hidup Lebih Mudah Sebelum Tahu Apa-apa). Artikel terakhir buku ini nampaknya pantas untuk menutup resensi ini. Ketika ditanya, “Memang kamu itu apa?”, oleh temannya di usia tujuh tahun, Nadine Aisha Jassat yang berasal dari keluarga Islam dan Kristen kebingungan menjawab pertanyaan itu — seolah dirinya harus mengorbankan salah satu bagian keluarganya demi menjadi seorang manusia beragama tulen (Nadine Aisha Jassat, Daughter of Stories; Anak dari Cerita-cerita). It’s Not About the Burqa menghancurkan persepsi ini. Di antara 200-an halaman buku ramping ini, kamu akan merasa aman dan dipeluk, betapapun rumit dan berlapisnya eksistensimu.