“Ngaji Islam kok ke Barat?” Dialektika Pemikiran Islam antara Indonesia dan Akademi Barat
Abbas, Megan Brankley. 2021. Whose Islam? The Western University and Modern Islamic Thought in Indonesia [Islamnya Siapa? Akademi Barat dan Pemikiran Islam Modern di Indonesia]. Penerbit Universitas Stanford.
Para akademisi Indonesia yang merantau ke kampus-kampus Barat dalam rangka mendalami bidang studi Islam pasti sering dihadapkan dengan pertanyaan, “Ngaji Islam kok ke Barat?” Pertanyaan ini menunjukkan (mis)konsepsi umum bahwa dunia akademik Barat boleh-boleh saja dirujuk dalam ilmu-ilmu sekuler, tapi sumber yang paling subur untuk pemikiran Islam tetaplah pusat-pusat pendidikan Islam yang tradisional—baik Kairo dan Mekah maupun pesantren-pesantren di Indonesia.
Megan Brankley Abbas, dalam karya barunya Whose Islam?, menunjukkan bahwa pemikiran Islam di Indonesia selama abad terakhir sangatlah dipengaruhi oleh peran para mahasiswa Indonesia yang menjajaki studi Islam di kampus-kampus Barat. Sebaliknya juga, bidang Islamic Studies sendiri telah ditransformasi oleh mahasiswa-mahasiswa Muslim dari seluruh dunia yang makin banyak memantapkan tempat dalam bidang itu.
Whose Islam? menceritakan hubungan sejarah antara pemikiran Islam modern di Indonesia dan akademi Barat. Analisis ini mempermasalahkan kerangka umum yang menempatkan “pemikiran Islam” sebagai objek studi dan dunia akademik Barat sebagai lokasi untuk melakukan kajian yang netral dan objektif. Padahal, seperti ditunjukkan oleh Abbas, akademi Barat telah terlibat secara aktif dalam upaya untuk mendukung “pembaruan” Islam dan mengembangkan pemikiran Islam yang “modern,” “saintifik,” dan “moderat.”
Dualisme versus Fusionisme
Untuk memahami perdebatan dan pertarungan pemikiran Islam yang terjadi selama abad terakhir, Abbas merumuskan dua kategori untuk menandai cara-cara yang berbeda dalam memandang hubungan antara ilmu Barat dan ilmu Islam. “Dualisme” melihat kedua tradisi ilmu ini sebagai dua wacana yang bertentangan, sedangkan “fusionisme” berupaya untuk memadukannya untuk mengembangkan pemikiran yang lebih universal.
“Dualisme intelekutal, sebagai sistem klasifikasi pengetahuan, berdasarkan pada asumsi bahwa tradisi Islam dan tradisi intelektual Barat merupakan dua wacana yang berbeda dan terpisah,” tulis Abbas (4). Pernyataan ini mungkin terasa cukup benar, bahkan alamiah. Namun Abbas mengatakan bahwa dualisme ini sebenarnya adalah hasil sejarah yang partikuler. Produksi dualisme ini bisa dilihat dalam struktur sistem pendidikan pada zaman kolonial Belanda, di mana pemikiran Islam dan ilmu Barat terpisah utuh, masing-masing dipelajari dalam instansi pendidikan yang berbeda (yaitu sekolah kolonial dan jaringan surau/pesantren).
Berlawanan dengan dualisme ini adalah yang Abbas sebut sebagai “fusionisme” (fusion = perpaduan). “Para fusionis adalah sekumpulan sarjana Muslim berpendidikan Barat yang menolak keterpisahan pengetahuan dalam dualisme dan menggugat keterpisahan itu sebagai buatan yang artifisial. Sebaliknya, mereka menyuarakan sebuah konsepsi kebenaran yang lebih terpadu dan universal” (7). Para “fusionis” ini bertujuan untuk memadukan kedua tradisi pengetahuan ini (Barat dan Islam) ke dalam satu sistem pengetahuan yang menyeluruh.
Abbas menggambarkan sejarah intelektual yang diceritakan dalam buku ini sebagai pertarungan dan pergeseran antara dualisme dan fusionisme ini. Paradigma dualisme, walaupun telah menjadi hegemonik dalam zaman kolonial, mulai semakin ditantang selama abad ke-20, baik dalam pemikiran Islam di Indonesia maupun di bidang studi Islam di kampus-kampus Barat.
Dalam konteks studi Islam di Barat, Abbas mengaitkan pertarungan dualis-fusionis ini dengan konsep biner lama antara “orang dalam” (insider) dan “orang luar” (outsider). Dalam pandangan ini, orang dalam adalah orang-orang Muslim sendiri, yang dibedakan dengan para akademisi yang mengkaji Islam (“orang luar”). Kerangka ini berasumsi bahwa orang-orang insider pasti akan memahami Islam secara subjektif, sedangkan hanya seorang outsider bisa mendekatinya secara objektif.
Di luar bias Orientalisnya, formula ini juga seolah-olah menolak kemungkinan seorang Muslim untuk berperan sebagai akademisi. Orang-orang Muslim dipandang sebagai narasumber semata, bukan sarjana. Terlihat di sini asumsi dualis bahwa peradaban Islam dan Barat sama sekali terpisah: hanya bisa dibandingkan, tidak dipadukan.
Abbas juga mencatat bahwa “orang luar” (akademisi Barat) tidak juga bisa digambarkan sebagai pengamat yang objektif dan tak berkepentingan. Seperti ditunjukkan Edward Said dalam Orientalisme, ada banyak bias dalam kajian-kajian Barat terhadap Islam. Abbas juga mempertanyakan status para akademisi Barat sebagai outsiders sejati (mengikuti Wael Hallaq dan Saba Mahmood) lantaran mereka juga sering turut campur tangan dalam perdebatan teologi dan pemikiran Islam. Mengingat banyak sarjana Barat yang ikut mendukung dan merumuskan proyek-proyek pembaruan Islam (Islamic reform), klaim-klaim mereka atas “objektivitas” terbukti konyol.
Buku ini bukan cerita sederhana tentang sejarah kemenangan fusionisme atas dualisme dalam arena pemikiran. Abbas menyoroti konteks politik global yang mendorong kemunduran dualisme dan perkembangan fusionisme, seperti rezim-rezim poskolonial yang mengejar pembangunan, politik Perang Dingin, dan kelak juga konteks Perang Global Melawan Teror (GWOT, atau Global War on Terror) serta wacana “Islam moderat.” Ia tidak semerta-merta mengabaikan atau menutup kepentingan imperialis yang terwakili dalam wacana fusionis, tapi tidak juga mereduksi semua peredebatan pemikiran ini kepada faktor politik semata.
Namun, dalam konteks akademi Barat, Abbas sering menunjukkan keberpihakannya kepada fusionisme. Ini bisa dibaca sebagai upaya untuk melawan rasisme dan Orientalisme yang mengucilkan sarjana-sarjana Muslim. Perbedaan ini juga mencerminkan posisionalitas Abbas sendiri, yang lebih bertujuan membawa intervensi dalam dunia akademis di Barat daripada campur tangan dalam perdebatan pemikiran Islam sendiri.
Isi Buku
Bab 1 menceritakan upaya-upaya pada awal zaman kemerdekaan untuk melawan dualisme di Indonesia, terutama dalam pembangunan sistem pendidikan tinggi Islam. Saat itu, berbagai aliran pemikiran Muslim dan tokoh-tokoh Islam bekerjasama untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam (yang nantinya menjadi UII [Universitas Islam Indonesia] dan cikal bakal IAIN [Institut Agama Islam Negeri]) pada November 1944. Sistem perguruan tinggi Islam ini lalu mulai mencetak generasi wisudawan yang semakin familiar dengan ilmu-ilmu Barat dan kesarjanaan Islam sekaligus. Ada juga gerakan untuk menerjemahkan karya-karya besar ke dalam bahasa Indonesia dan menulis buku pengantar bagi ilmu-ilmu Barat. Namun, menurut Abbas, tokoh-tokoh besar zaman ini (seperti Natsir dan Mahmud Yunus) tidak sepenuhnya fusionis; mereka mungkin ingin memanfaatkan ilmu-ilmu Barat demi membangun bangsa yang baru merdeka, tapi tetap tidak melihat tempat bagi ilmu sosial dalam pemikiran Islam sendiri.
Bab 2 berpindah fokus dari Indonesia ke Kanada. Di Universitas McGill pada era 1950-1960an, Wilfred Cantwell Smith sedang membangun paradigma baru dalam studi Islam yang cukup fusionis: menolak standar “objektivitas” khas Orientalisme dan merangkul subjektivitas keagamaan Muslim. Hal ini melampaui upaya-upaya anti-dualis seperti IAIN, karena berusaha “menggabungkan antara metode penelitian akademik dan keimanan pribadi” (54). Upaya ini bertujuan ganda: bukan hanya untuk menjernihkan bidang studi Islam, tapi juga untuk mendukung pembaruan dalam pemikiran Islam sendiri, yang diharapkan dikembangkan oleh mahasiswa dan sarjana Muslim yang belajar di McGill. Smith bahkan menyebut programnya sebagai “bidan bagi Pembaruan Islam yang masih berjuang untuk lahir” (63).
Di tengah lingkungan akademik ini ada tokoh-tokoh Islam Indonesia. Pada satu pihak, ada Mohamad Rasjidi, yang cukup terisingkirkan karena perlawanannya terhadap wacana Orientalis. Pada pihak lain, ada Mukti Ali dan Harun Nasution, yang bergiat mendalami metode-metode ilmu sosial dan menggunakannya untuk menyuarakan pembaruan pemikiran Islam.
Bab 3 membawa pembaca kembali ke Indonesia, saat Mukti Ali diangkat oleh Suharto menjadi Mentri Agama pada tahun 1971. Pengangkatan ini membongkar dominasi NU (Nahdlatul Ulama) dan kaum tradisionalis dalam Kementerian Agama. Selain itu, fenomena ini juga membuka jalan untuk reformasi IAIN serta pembaruan Islam untuk merangkul ideologi “pembangunan” rezim Suharto. Menurut Abbas, para aktivis Islam “modern” ini tidak hanya bekerjasama dengan Suharto karena strategi atau dikooptasi (seperti yang diklaim sarjana lain). Sebaliknya, ia tegaskan bahwa aliansi ini “tumbuh dari dalam pemikiran Islam modernis sendiri,” karena mereka “sepemikiran dengan sikap Orde Baru yang anti-ideologi dan pro terhadap pragmatisme rasional” (98).
Hal ini terlihat dalam kritik Mukti Ali terhadap tulisan Natsir “Islam Sebagai Ideologi,” motto Cak Nur “Islam Yes, Partai Islam No,” dukungan Nasution terhadap depolitisasi kampus (NKK/BKK), dan pembelaan Amien Rais terhadap kebijakan “asas tunggal.” Demikian generasi intelektual ini menggambarkan Islam bukan sebagai sumber perlawanan yang kritis, tapi sebagai pendorong pembangunan nasional. Tren ini tentu tidak tanpa perlawanan, terkhusus yang datang dari DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) di bawah pimpinan Natsir.
Dalam Bab 4, Abbas kembali ke Amerika Utara lagi, kali ini ke Universitas Chicago, yang menjadi rumah bagi Cak Nur, Amien Rais, dan Syafii Maarif pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Di Chicago, Fazlur Rahman dan rekannya Leonard Binder menyuarakan visi untuk Islam dan pembangunan yang membuka jalan tidak hanya untuk modernitas tanpa sekularisme, tapi juga untuk pembaruan pemikiran Islam dengan hermeneutika kontekstual. Rahman juga berperan penting dalam upaya Munawar Sjadzali (Menteri Agama 1983-93) untuk mengembangkan program beasiswa massal untuk dosen-dosen IAIN untuk lanjut studi di Barat, terutama di McGill. Para perantau ini dijuluki “McGill mafia.”
Bab 5 membahas pengaruh posmodernisme dan teori poskolonial dan kemunculan wacana kritis dalam pemikiran Islam Indonesia terhadap “imperialisme akademik.” Dalam paradigma “fusionis,” apakah konsep fusion (perpaduan) mengabaikan ketimpangan relasi kuasa antara wacana Islam dan Barat (imperialisme)? Tokoh seperti Amien Rais menerjemahkan pemikiran Edward Said dan mengkritisi sikap akademik di Indonesia yang terlalu mengekor pada Barat. Tentu saja, DDII juga semakin semangat mengkritisi tren “pembaruan” pemikiran Islam.
Namun, di tengah gelombang kritik baru ini, para lulusan kampus-kampus Barat sepertinya menjadi semakin otoritatif di mata umat. Di samping pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), Amien Rais juga naik jabatan sebagai ketua umum Muhammadiyah (1995-98), diikuti juga oleh Syafii Maarif dan Din Syamsuddin (juga lulusan AS). Di Jakarta, Cak Nur semakin naik daun dengan pendirian Paramadina dan kemunculan “Mazhab Ciputat.”
Tiga Visi Masa Depan Islamic Studies
Di hadapan semua perdebatan “dualis”-“fusionis” ini, bagian penutup memaparkan tiga visi untuk masa depan bidang studi Islam yang ditawarkan oleh berbagai pemikir.
Pertama, ada proyek “pemeliharaan batasan wacana” (discursive boundary maintenance), yaitu upaya untuk menentukan standar mengenai apa yang patut diterima sebagai Islamic studies. Menurut Aaron Hughes (dosen di Universitas Rochester, Kanada), tulisan-tulisan yang terlalu apologetik harus disingkirkan dari bidang studi Islam, karena terlalu mengutamakan keimanan pribadi daripada kebenaran sejarah. Abbas membalas bahwa Hughes menggugat normativitas para akademisi Muslim tanpa mempertanyakan kepentingan normatif dalam sejarah perkembangan ilmu sosial Barat sendiri. Rumusan Hughes ini juga abai terhadap relasi kuasa dalam wacana studi Islam.
Visi kedua adalah “dialog antarwacana” (cross-discursive dialogue), atau percakapan tulus antara pihak akademisi Barat dan pemikir Islam. Pendekatan ini, yang dikedepankan oleh Binder dan Richard C. Martin (dosen di Universitas Emory, Amerika Serikat), mendorong keterbukaan terhadap kesarjanaan normatif-subjektif, baik dari akademisi Muslim maupun non-Muslim. Dengan masing-masing pihak mengaku perspektif dan kepentingannya (keimanan, liberalisme, dll.), kedua pihak bisa menukar pemikiran dan belajar bersama menuju pemahaman yang lebih kritis dan menyeluruh. Abbas mencatat bahwa pendekatan kedua ini mengabaikan pertanyaan penting: siapa yang diundang ke dialog ini? Karena orang-orang Muslim tertentu (yang konservatif atau Islamis) tidak pernah diterima atau diakui dalam dunia akademik Barat. Di sini, masih ada relasi kuasa yang tak tersadarkan.
Visi ketiga adalah “introspeksi radikal” atau otokritik, seperti dijelaskan oleh Wael Hallaq. Menurut Hallaq, mengkaji budaya lain (“sang Liyan”) tidak mungkin etis kalau bertujuan untuk mendidik atau mendominasi mereka (kegiatan “kolonialis”). Satu-satunya paradigma yang etis adalah mengkaji budaya lain demi mengkritisi budaya sendiri. Ini menyerupai formula klasik untuk tujuan antropologi: membuat yang lazim terasa asing, dan yang asing terasa lazim. Wajah sang Liyan lantas dijadikan cermin supaya kita sendiri bisa berkaca. (Sepertinya Hallaq dan Abbas menulis ini dengan berasumsi bahwa “kita” di sini adalah akademisi Barat, dan tidak mengeksplorasi perspektif lain.)
Namun, seperti ditunjukkan oleh Abbas dalam karya ini, hubungan antara wacana keislaman dan kesarjanaan studi Islam menjadi semakin tak terpisahkan. Keterkaitan ini membuatnya semakin sulit dan tidak masuk akal untuk memisahkan antara “kita” dan “sang Liyan” serta antara teologi normatif dan tulisan akademik yang “netral.” Maka, harus bagaimanakah hubungan antarwacana yang akan dibangun ke depan?