Dinamika Sosial dalam Pemberian Menurut Marcel Mauss
Mauss, Marcel. 1925. The Gift: Forms and Functions of Exchange in Archaic Societies (Perancis: Essai sur le don: forme et raison de l’échange dans les sociétés archaïques; Indonesia: Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno). Pertama diterbit dalam L’Année Sociologique.*
Dalam The Gift, karya Marcel Mauss pada tahun 1925, keponakan Émile Durkheim itu menyajikan analisis tentang budaya pemberian yang cukup membongkar pengertian umum mengenai fenomena tersebut. Biasanya pemberian kado atau hadiah dianggap sebagai perbuatan yang ikhlas dan berasal dari kemurahan hati sang pemberi kepada yang menerima, berbeda dengan transaksi pertukaran atau jual-beli.
Tapi Mauss malah menunjukkan bahwa sebaliknya, setiap pemberian merupakan sarana untuk menjalin hubungan sosial antara pihak pemberi dan penerima. Ia tekankan bahwa setiap pemberian mengandung makna tersirat, bisa berupa tuntutan balas budi pada masa depan, atau juga untuk menetapkan hubungan tertentu seperti dominasi ataupun belas kasihan. Argumen ini mengandung kritik tersirat terhadap ideologi liberalisme dan kapitalisme, seperti akan dibahas di bawah. Mauss mengedepankan argumen tersebut secara universal dengan merujuk kepada banyak contoh dari yang ia sebut sebagai “masyarakat kuno” (archaic society). Kategori ini sebagian terbentuk dari pengetahuan dari sastra peradaban-peradaban kuno seperti Roma kuno, India kuno, dan China kuno. Tapi Mauss paling banyak merujuk kepada masyarakat-masyarakat yang masih ada pada zamannya tapi dianggap terbelakang atau primitif, seperti penduduk kepulauan Andaman, Melanesia, dan suku-suku asli Amerika wilayah barat laut (disebut juga daerah Pacific Northwest).Semua kelompok ini digolongkan dalam satu rumpun karena Mauss berparadigma evolusioner, yang menganggap bahwa semua masyarakat manusia bisa ditempatkan pada satu linimasa besar menurut tingkat kemajuannya, yang berarti masakininya suku kepulauan dianggap setipe dengan masalalunya Eropa. Paradigma evolusioner ini sudah cukup dikritisi sebagai neraca yang rasis dan etnosentris yang mengukur segala rupa kebudayaan dengan standar Eropa sebagai standar teladannya. Walaupun demikian, sumbangan teoretis dari Mauss dalam buku ini masih sangat berguna dan sering dirujuk hingga saat ini.
Mauss memulai dalam Bab 1 dengan tesis bahwa setiap pemberian pasti membawa kewajiban untuk membalasnya pada waktu yang lain. Lalu, Bab 2 menyoroti masyarakat-masyarakat “terbelakang” dan menunjukkan bagaimana budaya memberi merupakan unsur pokok dalam struktur sosialnya dan perputaran harta. Dalam Bab 3 ia berpindah fokus ke beberapa peradaban kuno seperti Roma dan India dan mencari beberapa struktur sosial yang mirip dengan suku-suku tradisional kontemporer. Akhirnya Bab 4 melacak berbagai jejak peninggalan (traces) dalam budaya Eropa moderen dan memberi beberapa kesimpulan umum.
Mauss mengatakan bahwa dalam masyarakat kuno, ada dinamika pemberian yang ia sebut sebagai “pemberian secara menyeluruh” (total prestation). Walaupun penggunaan istilah ini sangat rumit, istilah “total”/menyeluruh di sini mengandung dua makna. Pertama, pemberian bukan hanya di antara individu dan individu lain, tapi antara golongan, seperti keluarga atau suku. Kedua, pemberian ini “total” karena tidak hanya terjadi dalam medan ekonomi, tapi mempengaruhi segala bidang sosial dalam masyarakat tersebut, seperti hukum, moral, adat, dan agama. Pemberian dan pertukaran antar-manusia tidak terpisahkan dari relasi dan dinamika sosial.
Dalam masyarakat kuno ini, Mauss menemukan sebuah ekonomi pemberian (gift economy), di mana semua barang berputar di dalam dan di antara kelompok melalui pemberian dan pembalasan budi. Di sini, dasar ekonomi terpusat bukan pada perjualan, tapi pada pemberian dan pembalasan. Dalam ekonomi yang demikian, pemberian dan penerimaan terjadi dengan gaya yang sangat personal, dan bisa menguatkan sebuah hubungan sosial antara kedua pihak (baik individu maupun kelompok).
Hal ini berbeda dari ekonomi uang (money economy) dalam dunia modern, di mana orang-orang menukar barang dan jasa dengan jual-beli, kontrak, dan pasar. Barang yang dibeli tidak menyimpan kesan personal dari penjualnya, dan pemberi dan penjual kerapkali malah tidak punya hubungan sama sekali. Walaupun begitu, masih ada cukup banyak aspek dari ekonomi pemberian masih saja bisa ditemukan dalam dunia moderen yang bercorak ekonomi uang.
Observasi Mauss yang paling penting tentang sistem ekonomi pemberian adalah bahwa sebuah pemberian tidak pernah ikhlas tanpa pamrih dan dari kemurahan hati saja (selfless, disinterested) tapi bertujuan untuk membentuk relasi sosial yang resiprokal (reciprocal, bersifat balas-membalas). Kalau ada yang menolak untuk menerima atau membalas sebuah pemberian, itu bisa dianggap sebagai “sama dengan menyatakan perang; ialah sebuah penolakan persahabatan dan kerja sama” (11). Menolak untuk menerima kadangkala juga bisa dianggap sebagai tanda kelemahan dan ketakutan untuk harus membalasnya (39).Selain dari contoh-contoh yang dirujuk Mauss dari suku tradisional, dinamika ini juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat moderen. Misalnya budaya memberi kado pada ulang tahun. Memberi kado yang mahal atau sangat berharga menunjukkan keakraban. Jikalau si A memberi si B kado yang mahal pada ulang tahunnya, tapi nanti pada ulang tahun si A, si B hanya memberi sesuatu yang terasa receh, pasti si A akan terasa tersinggung karena pemberian itu menunjukkan ketimpangan dalam hubungan tersebut.Mauss juga mengatakan bahwa ada semacam kekuatan sakti dalam setiap pemberian. Dalam penerimaannya, orang tidak hanya memikul amanah dan hutang budi, tapi juga merasa seakan-akan dihantui oleh bagian dari jiwa pemberinya. Ini yang menguatkan rasa kewajiban untuk membalas (contoh pada hlm. 9-10, 61-62). Orang bisa merasa digenggam (possessed) oleh sebuah pemberian yang sudah diterimanya dan belum dibalas.Ini juga masih bisa dilihat dalam kehidupan modern. Kalau saya ditraktir makan oleh teman, saya akan tidak enak hati sampai saya bisa turut membalasnya dengan mentraktir dia juga. Dalam masyarakat yang semakin individualis, kita seringkali merasa enggan untuk menerima sebuah pemberian dari orang lain. Alasannya karena kita takut merasa repot nanti membalasnya.Kadangkala kita juga bisa menolak sebuah status hubungan dengan menolak menerima sebuah pemberian. Misalnya kalau laki-laki dan perempuan pergi makan di warung, bisa jadi laki-laki punya harapan untuk memacarinya. Tapi kalau si perempuan menolak ditraktir, bersikeras untuk bayar sendiri-sendiri, di banyak kalangan itu bisa dianggap sama dengan menolak kemungkinan hubungan romantis.
“The Gift” Sebagai Kritik Terhadap Kapitalisme
Penting dicatat bahwa semua argumen Mauss ini merupakan kritik berat terhadap pemikiran liberal-kapitalis. Ideologi yang menekankan kebebasan individu tersebut lebih cenderung melihat manusia sebagai aktor mandiri daripada bagian dalam kelompok dan struktur sosial.
Teori ekonomi liberal sebelumnya berasumsi bahwa dalam masyarakat “primitif,” semua orang akan serakah dan enggan berbagi. Teori ini menjadi landasan legitimasi kapitalisme karena individualisme digambarkan seperti fitrah manusia. Pemikiran kapitalis mengklaim bahwa naluri manusia secara alami akan mencari keuntungan sendiri (greed, keserakahan, yang memotori perekonomian kapitalis), bukan membangun dan menjaga tali silaturahmi dengan memberi.
Akan tetapi Mauss menunjukkan bahwa pemberian dan pembagian harta merupakan fungsi utama dalam para masyarakat “kuno” ini. Ini digunakan untuk membuktikan bahwa kehidupan ekonomi manusia yang aslinya sebenarnya lebih bersifat kolektif daripada terdiri dari individu-individu mandiri.
Ini menuju pengertian dari “value” (nilai) yang berbeda dari pengertian umum dalam bidang ekonomi, yang cenderung hanya melihat value dalam akumulasi uang dan modal. Mauss menunjukkan bahwa dalam ekonomi pemberian, value dipusatkan pada hubungan sosial: yang kaya bukan yang memiliki rumah paling besar, tapi yang mempunyai tali silaturrahmi yang paling kuat dan lebar. Maka dalam masyarakat tradisional, orang yang mendapat keuntungan akan cenderung langsung membaginya dengan kerabatnya (kekayaan sosial) daripada menyimpannya sendiri sebagai modal (kekayaan finansial).
Paradigma liberal (yang akrab dengan kapitalisme) juga memuji kedermawanan (charity) para pemodal sebagai solusi bagi kemiskinan dan masalah sosial lain. Dengan menggarisbawahi bahwa setiap pemberian pasti mengandung unsur relasi sosial (bisa berupa dominasi satu kelas atas kelas lain), ia tunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada pemberian yang ikhlas tanpa pamrih.
Pada bab terakhir ia juga mengatakan bahwa politik layanan sosial (welfare) yang mulai muncul di Eropa pada era itu mungkin dapat dilihat sebagai kemunculan kembali dari sistem moral kuno yang berbasis pada pemberian dan pembagian harta, walaupun terjadi dalam masyarakat Eropa yang sudah sangat berbeda.
*Semua nomor halaman merujuk pada terbitan Cohen & West Ltd. (1966), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ian Cunnison.