Percetakan dan Kebangkitan Tradisi Klasik Islam Menurut Ahmed El Shamsy
El Shamsy, Ahmed. 2020. Rediscovering the Islamic Classics: How Editors and Print Culture Transformed an Intellectual Tradition [Menemukan Kembali Kitab-kitab Klasik dalam Tradisi Islam: Bagaimana Editor-editor dan Budaya Cetak Mentransformasikan Sebuah Tradisi Intelektual]. Penerbit Universitas Princeton.
Dalam Rediscovering the Islamic Classics, El Shamsy membahas bagaimana tradisi dan pemikiran Islam mengalami transformasi-transformasi besar karena dampak dari munculnya dan tersebarnya budaya cetak dari awal abad ke-19 sampai ke abad ke-20. Ia menyatakan bahwa fenomena ini berperan besar dalam membuat para ulama dan cendekiawan Muslim menemukan kembali banyak kitab-kitab dari zaman awal Islam yang telah dilupakan dan lenyap dari perpustakaan-perpustakaan pada abad-abad terakhir.
Ini tentu saja berkontribusi kepada perkembangan pemikiran Islam dalam zaman moderen. Akan tetapi El Shamsy membantah bahwa perpisahan kategori yang umum antara kaum “modernis” dan “tradisionalis” tidak benar-benar mencerminkan perdebatan antara berbagai pihak pada zaman akhir abad ke-19 dan awal ke-20, karena para reformis kebanyakan merujuk juga kepada tradisi Islam—hanya saja zaman yang berbeda. Mereka membaca kitab-kitab dari masa awal kesarjanaan Islam dari abad ke-9 sampai ke-15 (yang El Shamsy sebut zaman “klasik” atau classical), sedangkan kaum konservatif lebih mengutamakan kitab-kitab mutakhir dari abad ke-16 sampai pertengahan ke-19 (yang ia sebut zaman “pasca-klasik” atau postclassical).
Buku ini terbagi menjadi satu kata pengantar, delapan bab, yang masing-masing membahas fenomena baru dalam dunia perbukuan dan percetakan dan aktor-aktor penting yang mempeloporinya, dan berakhir dengan kesimpulan. Isinya dibedah satu-persatu pada yang berikut ini.
Dalam kata pengantar, El Shamsy menceritakan bahwa yang kita semua hari ini anggap sebagai tradisi kesarjanaan Islam yang “klasik” yang berkembang dari abad ke-9 sampai ke-15 (yang dikaryakan oleh ulama seperti Thabari, Bukhari, Ghazali, AsyꜤari, bahkan para pendiri mazhab seperti SyafiꜤi) hampir tidak dikenal sama sekali oleh ulama-ulama dalam zaman pasca-klasik yang mulai pada abad ke-16. Ini semua berubah dengan gerakan nahda atau reformsi pada akhir abad ke-19, yang dengan bantuan penggunaan teknologi percetakan menemukan kembali karya-karya monumental yang telah lenyap itu. Menurut El Shamsy, penting dicatat bahwa para reformis seperti Muhammad ꜤAbduh tidak bisa di-cap sebagai “anti-tradisi,” melainkan mereka yang justru punya visi untuk membangkitkan tradisi klasik, dan begitu mereka melawan tradisi pasca-klasik yang sudah dominan pada zaman itu (5).
Tapi bagaiamana bisa terjadi keadaan dalam zaman “pasca-klasik” seperti El Shamsy gambarkan, di mana kitab-kitab klasik sudah hampir tidak dikenal lagi? Pertanyaan ini ia jawab dalam kedua bab pertama.
Bab 1 menceritakan bagaimana hampir semua naskah-naskah kuno dibeli oleh orang-orang Eropa yang mengoleksinya, terutama dalam abad ke-18 dan awal ke-19. Karena sebelumnya naskah-naskah ditulis tangan dan biasanya hanya tersimpan beberapa dalam perpustakaan atau koleksi pribadi, lama-kelamaan menghilang semua naskah dari dunia Arab dari kitab-kitab klasik. Tinggallah hanya naskah-naskah dari kitab-kitab yang digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu yang ada dalam tradisi matan-syarah, yang tetap lestari dan tidak mungkin menghilang karena terjaga dalam hafalan para ulama dan ditulis ulang oleh setiap murid dalam proses mempelajarinya.
Pada Bab 2, El Shamsy berargumen bahwa tersingkirkannya tradisi klasik itu bukan hanya karena naskah-naskah dibawa ke Eropa, tapi juga hasil dari tren intelektual pada zama pasca-klasik yang semakin sempit wawasannya. Kesarjanaan pada zaman ini ia sifatkan sebagai “sebuah dunia tersendiri di mana kitab-kitab yang sebelumnya semakin lama semakin tersingkirkan dan terlupakan” (35). Menurut El Shamsy, ada dua sebab utama di belakang keadaan ini: yaitu yang ia sebut sebagai skolastisisme (scholasticism) dan esoterisisme (esotericism). Yang pertama, skolastisisme, bermaksud pola intelektual yang “lebih mengutamakan bentuk-bentuk formal dan semakin mengabaikan makna dan konten” (39). Jelas tradisi keilmuan pada zaman ini El Shamsy anggap kaku, ditunjukkan oleh dominasi matan dan syarah daripada tulisan yang bisa lebih kritis terhadap teks-teks lain, dan budaya di mana murid-murid tidak dianjurkan membaca secara mandiri dan kritis, bersangkutan dengan penekanan pada isnad dan perlawanan terhadap ijtihad (40). Tren kedua, yaitu esoterisisme, menjadikan ilmu berbasis pencerahan langsung dari Tuhan sebagai sumber ilmu yag sama dengan, dan malah melebihi, ilmu rasional. El Shamsy anggap tren ini hasil dari pengaruhnya tradisi Neoplatonis, yang masuk ke Sufisme melalui Ibnu ꜤArabi (43) dan lalu diarusutamakan oleh SyaꜤrani pada abad ke-16 (46). Dengan tersebarnya kedua tren ini, citra seorang ulama besar bukan lagi seseorang yang terpelajar dan berbacaan yang luas, tapi lebih dianjurkan untuk hanya belajar beberapa teks dengan gurunya secara mendalam dan juga berlatih dengan tasawuf untuk menerima ilmu langsung dari Tuhan (kasyf) (54).
Pada akhir Bab 2, El Shamsy menekankan bahwa tentu saja ada tokoh-tokoh yang melawan kekolotan yang dominan ini. Pertama-tama ia sebutkan Ibrahim al-Kurani (w. 1690), yang mengajarkan murid-muridnya di Madinah untuk belajar teks-teks klasik, bukan hanya teks-teks matan-syarah, bahkan sampai membaca dan membela karya Ibnu Taymiyya, yang pada zaman itu dianggap sesat karena banyak kritisnya terhadap tradisi keislaman umum. Poin ini menarik bagi studi Islam di Indonesia, karena Kurani ini adalah tokoh penting dalam insad hampir semua ulama nusantara yang merantau untuk belajar di tanah suci pada abad ke-18 (seperti dijelaskan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama). Tokoh-tokoh lain yang El Shamsy sebut sebagai pembantah tradisi pasca-klasik pada zaman ini adalah Murtada Zabidi (w. 1791), yang mengkaji karya Imam al-Ghazali Ihya’ ꜤUlum al-Din (57) dan Muhammad Shawkani (w. 1834) yang mempropagandakan semangat ijtihad (61). Tokoh-tokoh inilah yang mempelopori reformasi yang akan datang pada akhir abad ke-19.
Bab 3 membahas kenapa percetakan baru mulai digunakan pada abad ke-19 di dunia Arab. El Shamsy menjelaskan bahwa sebelumnya, memang kitab-kitab rata-rata tidak butuh dicetak, karena yang umum dikaji dalam pendidikan selalu ditulis langsung oleh murid, sedangkan yang lebih khas hanya dibaca oleh beberapa orang, jadi lebih hemat membayar juru-salin untuk menyalinkannya daripada mencetaknya beratusan jilid (64). Percetakan mulai digunakan di Mesir pada 1820an hanya untuk formulir-formulir birokrasi dalam aparat negara moderen dan buku panduan untuk sains dan alat-alat teknis (67). Pada pertengahan abad, teknologi baru ini akhirnya menarik perhatian para ulama, yang mulai mencetak kitab-kitab pokok dalam pendidikan, bersama dengan teks-teks sufi yang populer (74). Hanya pada 1850an mulai dicetak kitab-kitab klasik seperti Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun (77).
Pada Bab 4, kita membaca tentang munculnya kaum elit Arab baru yang mulai memperhatikan teks-teks baru yang dicetak. Orang-orang kaya (hampir semua laki-laki) seperti Ahmad Taymur (w. 1930) dan Ahmad Husayni (w. 1914) mencari naskah-naskah klasik dan membiayai pencetakannya. Kedua tokoh ini sama-sama berpaling kepada dunia percetakan kitab klasik ini karena kekecewaannya dengan tradisi pendidikan yang mereka anggap kaku dan tidak mencerminkan nilai-nilai yang dulu pernah dibawa oleh Islam. Husayni mengedit dan mencetak Kitab al-Umm-nya Imam SyafiꜤi (yang sudah hampir lenyap), dan juga menulis kompilasi hukum-hukum dalam mazhab SyafiꜤi, di mana ia membandingkan fatwa dari semua naskah fikih SyafiꜤi yang ia temukan, dan cenderung lebih mengutamakan pendapat ulama dari zaman klasik daripada ulama pasca-klasik yang kitab matan-syarahnya sering dibaca dalam pendidikan tradisional (112-18). Lagi-lagi kita melihat bahwa seorang reformis seperti Husayni ini tidak bisa dituduh anti-tradisi atau anti-mazhab, karena ia justru merujuk kepada tradisi intelektual mazhab SyafiꜤi sendiri untuk mengkritisi tren-tren mutakhir yang menurutnya sudah terlalu kolot (118).
Bab 5 menjelaskan pengaruhnya tradisi ilmu filologi Barat dalam pengeditan manuskrip-manuskrip kuno terhadap dunia percetakan kitab dalam dunia Arab. Tokoh utama di sini adalah Ahmad Zaki (w. 1934), seorang pejabat pemerintahan Mesir yang pertama menggunakan istilah muhaqqiq (penyunting, editor) (137). Tapi Zaki ini tidak sekedar meniru para filolog Barat, ia juga mencari contoh dalam sejarah intelektual Islam yang bisa dijadikan model untuk mengkaji naskah-naskah dengan kritis (128). Ia berhasil memasukkan sebuah teks klasik dari Ibnu MuqaffaꜤ (w. 757) ke dalam kurikulum nasional Mesir, yang turut membuat dunia sastra Arab klasik yang baru ditemukan kembali ini semakin terkenal dalam masyarakat (137).
Bab 6 menceritakan dua tokoh yang menggalakkan gerakan percetakan ini sebagai alat untuk mereformasi tradisi intelektual kontemporer yang mereka anggap sudah terlalu kolot dan telah menggantikan tradisi klasik yang lebih luas wawasannya—yaitu Muhammad ꜤAbduh (w. 1905) dan Thahir al-Jaza’iri (w. 1920). ꜤAbduh mempromosikan pelajaran sastra Arab dalam al-Azhar, terutama karya Jurjani, yang telah ia edit dan terbitkan sendiri (155). Tapi ini semua dilawan oleh elit al-Azhar yang konservatif, dan ada yang menuduhnya mengubah al-Azhar “menjadi sebuah sekolah filsafat dan sastra yang memerangi agama dan memadamkan cahayanya” (157). Di sini kita lihat bahwa tradisi intelektual klasik seperti Jurjani, yang sekarang sudah menjadi bacaan pokok di instansi-instansi pendidikan tradisional Islam (termasuk al-Azhar) dulu tak lebih dari satu abad lalu dianggap sebagai sesuatu yang asing dan bahaya. Al-Jaza’iri, asli Damaskus di Suria, juga ikut memperjuangkan reformisme dengan percetakan, dan ia mencetak banyak teks-teks klasik yang kontroversial untuk kaum ulama pada zaman itu, termasuk Ibnu Taymiya, Ibnu Rusyd, dan teologi MuꜤtazila (167). Lagi-lagi El Shamsy tekankan bahwa para reformis ini bukan anti-tradisi, tapi justru berusaha untuk membangkitkan tradisi klasik.
Lalu, dalam Bab 7 El Shamsy menulis tentang kelompok ulama yang berasal dari kalangan tradisionalis yang menggunakan percetakan untuk menyuarakan reformisme. Kelompok ini, yang dikatakan “Salafi”—padahal pendekatannya sangat berbeda dengan gerakan Salafi yang ada pada hari ini—sangat percaya pada daya akal manusia. Maka mereka melawan tradisi pendidikan yang tertutup dan ingin mempertemukan murid-murid dengan berbagai pendapat yang luas, supaya dapat dihidupkan kembali wacana keilmuan Islam yang lebih dinamis (172). Kelompok ini mempromosikan ijtihad, dan juga biasanya mengutamakan maslahat dalam fikih (178). [Mungkin bisa dikatakan bahwa Muhammadiyah di Indonesia mengambil model pemikiran yang serupa.] Dalam satu contoh, ada ulama bernama al-Qasimi yang ditahan oleh pemerintah karena dituduh berusaha memahami syariat secara mandiri, dan dalam riwayatnya, hakim bertanya kepadanya: “mengapa kau tertarik dengan kitab-kitab hadis? Baca saja lah karya fikih. Membaca kitab hadis dan tafsir itu haram” (178). Lagi-lagi, kaum reformis ini banyak mengkaji karya-karya Ibnu Taymiyya, sebagian karena mengambil kritiknya terhadap praktek tasawuf populer, dan lebih untuk menjadikannya contoh sebagai cendekiawan yang berani berpikir sendiri dan membantah. Mereka mengambil darinya “bukan apa yang harus diyakini, tapi bagaimana cara berargumentasi” yang baik dan kritis (198).
Bab 8 menggambarkan berbagai jenis tanggapan dari cendekiawan Arab terhadap keilmuan dan filologi Barat tentang sejarah intelektual Islam. Menurut El Shamsy, ada dua ekstrim yang bertolak belakang. Pertama ada kelompok konservatif yang merasa terancam oleh kebangkitan tradisi klasik itu, dan berusaha untuk membela tradisi pasca-klasik yang sejak kecil mereka pelajari. Terkadang ada juga yang mengada-ada dengan filologi palsu, seperti ulama yang pura-pura membuktikan bahwa makam Sayyida Zainab memang ada di Mesir (tidak ada bukti, dan penelusuran tektual menunjuk bahwa ini hanya rumor yang menyebar) (208) atau membela pendapat dalam aqidah AsyꜤari yang dibuktikan oleh naskah-naskah klasik bahwa bertentangan dengan pendapat Imam AsyꜤari sendiri dan pengikut-pengikut awalnya (215). Pada ekstrim yang lain, ada yang begitu kagum dengan Barat sampai meragukan seluruh tradisi Arab (229). Di antara kedua ekstrim tersebut (membela tradisi secara buta dan menjadi kebarat-baratan secara buta), ada yang berusaha untuk mencetak kitab-kitab baru dengan menggunakan metode yang campuran antara filologi Orientalis dan tradisi keilmuan Islam sendiri.
Dalam bagian kesimpulan, El Shamsy meringkas apa yang sudah disampaikan dalam bab-bab sebelumnya. Lalu, ia menegaskan bahwa ia tidak bermaksud untuk buku ini berkontribusi pada stereotipe lama bahwa dunia Islam mengalami sebuah kemunduran (decline) pada zaman pasca-klasik, yang menjelaskan kenapa umat Islam dapat dijajah oleh Eropa. Narasi ini ia tolak, tapi ia juga mengingatkan pembaca untuk tidak berlebihan dalam menganggapi dan melawan kesalahan ini sampai mengabaikan masalah-masalah yang ada pada zaman itu juga (238). Menurut El Shamsy, kecenderungan yang terbalik itu malah membuat sejarawan menggugat semua reformis pada abad ke-19 dan awal ke-20 sebagai pecinta Barat yang anti-tradisi, dan seperti ditunjukkan sepanjang buku ini, gambaran itu sangat tidak mewakili dinamika perdebatan pada zaman awal percetakan ini (239).