Konstruksi Identitas Bangsa Dalam Foto
Strassler. Karen. 2010. Refracted Visions: Popular Photography and National Modernity in Java (Bayangan-bayangan Terbias: Fotografi Populer dan Modernitas Nasional di Jawa). Duke University Press.
Album foto menjadi seuntai teks yang ‘berbicara’ mengenai sejarah. Foto juga menjadi penanda zaman kala foto tersebut dibuat
Buku karya Karen Strassler yang dikembangkan dari disertasinya pada 2003 di Universitas Michigan ini menawarkan sebuah corak etnografi yang agaknya baru mulai populer di kalangan para antropolog Indonesia. Melalui buku ini, kita disadarkan bahwa kini perkembangan literatur antropologi (baca: etnografi) sangat beragam: mulai cara penyajian, gaya bercerita, hingga perspektif yang dipakai. Strassler menyodorkan argumentasi bahwa fotografi memuat informasi tertentu yang menandai banyak hal.
Ungkapan “a picture is worth a thousand words” rasanya mendekati kebenaran. Foto menjadi penanda atas penanda yang lain.
Lewat buku Refracted Visions, Strassler menganalisis sejarah (kemunculan) foto populer serta relasi foto tersebut dengan wacana identitas yang ”hidup” di sekitar foto atau di kala foto tersebut dibuat. Foto juga merupakan bagian dari imajinasi (cita-cita) modernitas dalam diri masyarakat Jawa dan China pascakolonial. Foto menandai ingatan nasional beragam peristiwa pasca-Reformasi di Indonesia.
Strassler membuka buku ini dengan sedikit menyitir kisah Minke dalam novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer. Tokoh Minke adalah ”wakil” dari pemuda Jawa terdidik pada umumnya kala itu yang menganggap fotografi adalah simbol dari kehebatan modernitas. Di mata Minke, fotografi merepresentasikan terbukanya sebuah dunia baru, melambangkan dunia yang mampu melampaui batas-batas geografis dan sosiokultural.
”Ways of seeing”
Untuk memasuki tema imajinasi nasionalisme Indonesia dan identitas keindonesiaan, Strassler berangkat dari pertanyaan bagaimana pengertian teknologi fotografi yang kompleks mendapat tempat. Teknologi semacam fotografi melibatkan semacam latihan tentang perasaan manusia yang menghasilkan pandangan baru dalam melihat dan menyadarkan kehadirannya di dunia sehingga ia menjadi suatu cara pandang (hal 18).
Strassler membagi bahasannya ke dalam enam bab yang dikelompokkan berdasarkan genre foto. Enam genre yang diulas dalam Refracted Visions adalah fotografi amatir, foto studio, foto identitas, foto ritual keluarga, foto demonstrasi mahasiswa, dan foto tokoh politik karismatik.
Strassler mengandaikan bahwa dari setiap genre tersebut kita dapat menggali perbedaan penampakannya atau dalam bahasa John Berger adalah ways of seeing. Strassler berargumen bahwa foto tidak hanya menjadi bagian dari keseharian hidup manusia dengan kesepakatan estetis tertentu, tetapi juga berfungsi sebagai ”ideologi semiotika” yang di dalamnya menyimpan asumsi-asumsi tertentu mengenai apa/siapa yang menjadi penanda dan tinanda di situ serta sejauh mana representasi simbolis (materi visual) tersebut berfungsi atau ”beroperasi”—sebagaimana disebut Strassler dalam catatan kakinya (hal 307).
Perspektif pasca-struktural sebetulnya baru mulai tampak sejak bagian pertama buku ini ketika ia mengisahkan pengalaman Ibu Soekilah. Melalui obrolan ringan, Ibu Soekilah menceritakan masa lalunya lewat album foto yang ia miliki. Foto-foto tersebut tidak hanya menandai siapa yang ada dalam foto-foto itu, Ibu Soekilah dan keluarganya, tetapi juga konteksnya, yaitu kisah-kisah perjalanan hidup, cinta, dan bundelan kenangan lain dirinya. Kisah-kisah ini terkuak melalui obrolan yang ”dimediasi” oleh materi visual dalam album foto tersebut. Dengan demikian, album foto menjadi seuntai teks yang ”berbicara” mengenai sejarah Ibu Soekilah. Foto (teks) menjadi penanda bagi zaman kala foto tersebut dibuat (konteks).
Strassler juga berbicara mengenai peran para fotografer amatir di masa kolonial dan pascakolonial yang membentuk imajinasi kolektif pada masyarakat Jawa dan Tionghoa tentang identitas keindonesiaan secara visual. Dari para fotografer amatir, yang hampir semuanya orang Tionghoa (totok dan peranakan), terekam jejak masyarakat Indonesia kala itu (hal 14).
Strassler melanjutkan diskusinya mengenai bagaimana backdrop dan atribut atau aksesori yang dipakai pelanggan untuk berfoto dalam studio fotografi erat kaitannya dengan ”cita-cita” orang dalam foto. Kata Strassler, penampilan mereka dalam pose-pose foto di studio pada 1960-an dan 1970-an terasa tidak lengkap tanpa perangkat aksesori yang menyimbolkan ikon-ikon modernitas, seperti televisi, kamera, sepeda, dan Vespa. Melalui foto-foto ini, Strassler menafsirkan zaman itu bahwa dengan adanya kecenderungan semacam itu, fotografi mampu menjembatani mereka sebagai orang Indonesia untuk terlibat merasakan impian yang ditawarkan era modern (Barat).
Pada bagian selanjutnya, buku ini membicarakan bagaimana rezim Orde Baru memperlakukan foto sebagai media untuk mengontrol gerak-gerik masyarakat. Fotografi kemudian secara tidak langsung digunakan sebagai media perlawanan, sarana untuk melontarkan kritik dan menyaksikan kembali bagaimana negara menanggalkan sisi kemanusiaannya terhadap para demonstran yang notabene adalah putra bangsanya sendiri.
Melalui analisis fotografi yang detail dan mendalam tentang di mana fotografi itu dibuat, penampilan atau pose-pose subyek, cara foto itu dikoleksi, dan dipajang oleh individu-individu seperti Ibu Soekilah, Strassler mampu menafsirkan bahwa foto sebetulnya menggiring orang untuk menerjemahkan seperti apa imajinasi diri mereka, baik sebagai bagian dari bangsa Indonesia maupun lingkungan (baca: kebudayaan) tempat mereka tinggal.
Dengan jalan membenturkan aspek tradisi dengan modern, realitas dengan mimpi, serta ruang-ruang nyata dengan imajiner, fotografi populer menyediakan sarana bagi orang Jawa poskolonial untuk menciptakan identitas versi diri mereka sendiri dan tentu saja identitas diri mereka sebagai bangsa Indonesia. []