Etnografi “Tujuh Hari” Dalam Dunia Seni Rupa
Thornton, Sarah. 2009. Seven Days in the Art World (Tujuh Hari Dalam Dunia Seni Rupa). Penerbit: W. W. Norton & Company.
Pertama, sejauh yang saya tahu sangat jarang etnografi yang dalam istilah Geertz (1973) melukiskan atau mendeskripsikan secara padat (thick description), konstelasi politik antara
para seniman, kurator, pihak balai lelang, museum, kolektor, dan pembeli dalam dunia seni rupa. Konstelasi politik ini dimengerti dari bagaimana seni rupa itu didefinisikan dan dibentuk nilai-nilainya (secara kultural maupun ekonomi) sedemikian rupa sehingga suatu karya atau benda-benda (things) dapat secara sah dikatakan sebagai art, baik dalam kategori contemporarty art, modern art, maupun fine art. Thornton mengatakan, “… that great works do not just arise; they are made, not just by artists and their assistants but also by the dealers, curators, critics, and collectors tho ‘support’ the work” (hlm. xiv).
Untuk kisah di Indonesia, etnografi yang mengangkat studi semacam ini sangat jarang—kalau tidak mau dibilang tidak ada sama sekali. Dalam kurun beberapa tahun terakhir, misalnya, kita hanya dapat menyimak perdebatan isyu-isyu dalam dunia seni rupa di Indonesia dan itupun melalui liputan khusus Tempo (edisi 25 Juni – 1 Juli 2012) dalam tajuk “Lukisan Palsu Sang Maestro”. Tempo mempersoalkan otentisitas pada beberapa karya lukis yang dipajang oleh Oei Hong Djien (OHD), sang kolektor yang mendaku sekaligus sebagai kurator, di Museum Seni Lukis Oei Hong Djien di Magelang. Perbincangan mengenai wacana dalam seni rupa semacam itu tidak banyak menjadi perhatian di dalam wacana ilmu sosial-budaya (art and humanities) di Indonesia, kecuali mereka yang berkutat di jurusan seni rupa ataupun dalam liputan media cetak dan opini-opini pendek dalam harian Kompas di tiap hari Minggu.
Informasi atas minimnya etnografer yang memperhatikan dunia seni rupa kita membuat cukup miris, karena seni rupa kita termasuk relatif mapan. Argumen ini berpijak dari pakar seni rupa
ITB, Aminudin T.H. Siregar (Bang Ucok) yang berpendapat bahwa seni rupa bukanlah barang baru di Indonesia, dan kita telah melalui pembabakan sejarah seni rupa yang cukup panjang yang dapat dibagi ke dalam beberapa fase: era Raden Saleh, Affandi, dan kemunculan seni rupa modern Indonesia yang ditandai oleh karya-karya perupa S. Sudjojono (Siregar 2010).
Selain media cetak dan majalah, sejauh yang saya tahu hingga kini saya hanya mendapati satu etnografi yang mengusung wacana seni rupa di Indonesia, yakni karya antropolog asal Amerika Serikat, Kenneth M. George. Etnografi Ken George memfokuskan pada biografi seorang tokoh seni rupa Indonesia kelahiran Aceh: Abdul Djalil (A.D.) Pirous. Dari penelusuran A.D. Pirous ini, George mencoba melihat kemunculan karya seni rupa bernuansa Islami yang ia tuangkan dalam bukunya Picturing Islam: art and ethics in a Muslim lifeworld (2010).
Dalam buku yang diadopsi dari disertasinya berjudul Picturing Islam: A Biographical Approach to Art and Identity Politics, Ken George menjelaskan gejala seni rupa (kontemporer) melalui genre etnografi life history pada perupa A.D. Pirous. Di situ ia menempatkan seni rupa dalam relasinya dengan persoalan politik identitas, isu nasionalisme, Islam dan estetika. Ia juga mengangkat dialektika (pertarungan) dua aliran “seni rupa modern” di Indonesia: antara kubu seniman berbasis Bandung dengan kubu Yogyakarta yang menyeruak di masa Orde Lama dan Orde Baru. Sayangnya, karya George hanya terbit dalam bahasa Indonesia dalam versi ringkas melalui antologi esai-esainya: Politik Kebudayaan di Dunia Seni Rupa: A.D. Pirous dan Medan Seni Indonesia (2005) di Indonesia.
Kembali pada buku Thornton, dengan pendekatan perbandingan etnografi, Thornton mampu menunjukkan fenomena pada dunia seni rupa di enam kota: New York, Los Angles, London, Venezia, Basel, dan Tokyo di mana kota-kota ini merepresentasikan lima negara (Amerika Serikat, Inggris, Belgia, Italia, dan Jepang) di tiga benua berbeda (Eropa, Asia, dan Amerika). Di mata Thornton, terdapat hubungan mondial yang bersilangan dan terkait secara erat (global interconnectedness) antara gejala seni rupa di satu tempat dengan yang lain, yang tidak dapat dipisahkan ketika kita hendak menjelaskannya secara komprehensif. Premis Thornton ini menjadi alasan kedua saya mengapa buku ini menarik, bahwa etnografi komparatif atau perbandingan dapat disajikan dalam corak (genre) etnografi postmodernis, yaitu dengan jalan menemukan tema-tema diskursus yang sama yang muncul secara berulang di masing-masing lokasi penelitian dan kesemuanya memuat dimensi power, politik dan ekonomi. Dan inilah yang dikerjakan Thornton.
Alasan ketiga, saya cukup terkesan dengan cara Thornton beretnografi. Bukan metode penelitiannya, yang ia kerjakan sebagaimana cara para etnografer pada umumnya, seperti in-depth interview dan participant-observations, melainkan berkenaan dengan strategi text building-nya, yaitu cara menyajikan klaim, data, dan analisisnya dengan gaya berceritera yang luwes. Membaca buku ini, seolah-olah kita sedang membaca karya sastra fiksi. Itulah mengapa buku ini saya sebut etnografi bercorak posmodernisme, karena memang muncul di sana salah satunya elemen-elemen sastrawi (seperti perumpamaan-perumpamaan) yang secara sadar dipakai Thornton beretorika ketika mendeskripsikan fenomena seni rupa global, dan ini klop dengan corak etnografi yang dikenal sebagai bagian dari era literary turn (lihat Scholte 1987).
Karena buku ini di mata saya merupakan etnografi posmodernis, tidak mengherankan bila di sana-sini banyak bermunculan dimensi subjektivitas dan bubuhan kalimat-kalimat “fiktif” dalam cara Thornton menafsirkan fenomena seni rupa. Sebagai subjek (peneliti) ia tampil dengan terang-terangan, seperti cuplikan berikut dalam bab “The Auction”,
“I sit, finishing my water and collecting my thoughts. Ségalot is infectiously zealous. We had been sitting for almost an hour and he had spoken with absolute conviction the entire time. This is a talent essential to this job. On one level, the art market is understood as the supply and demand of art, but on another, it is an economy of belief. ‘Art is only worth what someone is willing to pay for it’ (said Ségalot) is the operating cliché. … The auction process is about managing confidence on all levels” (hlm. 11 – 12).
Teknik analisa dalam kerangka interpretasi yang brilian menurut saya. Hal ini barangkali tidak lepas dari pengalamannya sebagai jurnalis dan kolumnis seni-visual senior di media The Economist, yang boleh jadi membekali Thornton untuk tampil sebagai etnografer yang cakap dan begitu sensitif. Boleh dibilang, cara berceritera atau text building’s model dalam etnografi posmodernis semacam ini menyerupai karya sastra.
Kendati dengan pilihan diksi yang sarat perumpamaan, cara Thornton mendialogkan teks yang ia bangun dengan pembaca hampir tidak pernah mengabaikan detail dan ini semua tersaji secara baik, runtut, ringkas dan logis dalam alur bangunan argumentasinya (hubungan antara klaim dengan bukti-bukti empiris yang ia sajikan).
Lebih lanjut, pembagian uraian ke dalam tujuh bab ditata seperti pembabakan dalam kisah fiksi. Dari judulnya sudah nampak bahwa ia menggunakan metafor: “Seven Days …”, yang bukan berarti Thornton melakukan etnografinya dalam tujuh hari, melainkan dari studi di berbagai tempat itu, ia berhasil mengklasifikasikan atau memilah “narasi besar” dalam dunia seni rupa ke dalam tujuh tema utama sebagai diskursus di lingkungan seni rupa global, “Art crosses borders. It can be a lingua franca …” (hlm. xv). Thornton membagi perhatian dan diskusinya pada tujuh wacana, yaitu: “The Auction”, “The Crit”, “The Fair”, “The Prize”, “The Magazine”, “The Studio Visit”, dan “The Biennale”.
Keempat, buku ini dapat menjadi salah satu contoh bagaimana metode etnografi diadopsi oleh banyak disiplin ilmu sosial humaniora selain antropologi. Dan secara metodologis, etnografi dianggap sebagai perangkat yang memadai untuk mengungkap suatu fenomena empiris yang sekiranya membutuhkan penjelasan-penjelasan yang barangkali hanya dapat diungkap ketika kita terlibat secara jauh dan mendalam pada suatu peristiwa. Sama halnya dengan Thornton yang dilatih sebagai art historian dan sosiolog. Ia menjelaskan,
”… acces is rarely easy. I have sought to address these problems by presenting seven narratives set in six cities n five countries. Each chapter is a day-in-the-life account, which I hope will give the reader a sense of being inside the distinct institutions integral to the art world. Each story is based on an average of thirty to forty indepth interviews and many hours of behind-the-schenes ‘participant observation’” (hlm. xvii).
Pendek kata, etnografi Sarah Thornton menarik untuk dibaca secara tuntas lagi kritis, dan model etnografi seperti ini saya kira dapat menjadi pembelajaran yang baik dan relfeksi bagi kita, para pembelajar antropologi di Indonesia.
Kritik Etnografi Thornton
Walaupun saya menaruh hati pada etnografi Sarah Thornton, bukan berarti tidak tampak kelemahan di sana. Sekilas, etnografi ini semacam menyibak hal-hal tabu dalam dunia seni rupa yang tidak banyak diketahui publik. Namun, ada kesan bahwa Thornton masih terlalu banyak ‘menyembunyikan’ hal-hal tertentu (yang jauh lebih politis) dari pembacanya, yang barangkali ketika ia sangat blak-blakan justru akan memperkaya atau menyempurnakan etnografinya. Di sisi yang lain, mungkin akan mengacaukan tatanan dunia seni rupa, dan menjadikannya kontroversial. Kelemahan ini membuat art critic Alastaire Sooke meledek Thornton is too much like a toothless court jester.
Komentar Sooke itu diakui sendiri oleh Thornton dalam lembar acknowledgments, bahwa Thornton mengundang beberapa informannya untuk membaca draft sebagian bab buku ini dan meminta komentar dari mereka. Di mata saya ini tidak masalah, namun memang risikonya adalah dapat ‘mengkerdilkan’ kekuatan wacana kritis yang dibangun Thornton, yang ia sebutkan di awal buku. Namun toh pada akhirnya ia memilih itu dan menjelaskan bahwa pilihannya untuk mengajak sebagian informan membaca draft bukunya, “… as part of a practice called ‘reflexive ethnography’ … Their feedback often led to a richer and more accurate account of their art world … ” (hlm. 267-268). Dalam pandangan saya, keterbukaan dan keberanian seperti ini penting ditekankan di tataran etika beretnografi.
Menutup ulasan buku ini, Seven Days in the Art World menyuguhkan sekaligus menyadarkan beberapa asumsi saya mengenai etnografi dan tentu saja antropologi sebagai satu disiplin ilmu sosial-humaniora. (1) Bahwa etnografi bukan (lagi hanya) dimiliki secara ‘mutlak’ oleh antropologi. (2) Etnografi sebagai metode penelitian ternyata mujarab membantu etnografer menerangkan dan memahami kependaran (blur) suatu fenomena kebudayaan yang ia teliti. (3) Sang penulis mengingatkan saya pada Clifford Geertz (1973:15) yang mengatakan, “anthropological writings are themselves interpretations …”. Lanjutnya, ” … there are three characteristics of ethnographic description: it is interpretive; what it is interpretive of is the flow of social discourse; and the interpreting involved consists in trying to rescue the ‘said’ of such discourse from its perishing occasions and fix it in pe-rusable terms” (Geertz 1973:20). Dengan demikian, bagi saya, karya Thornton ini cukup berhasil menerjemahkan salah satu pandangan Geertz tersebut mengenai (metode) beretnografi secara ideal. []
Daftar Bacaan:
Geertz, Clifford. 1973. “Thick Description”, dalam Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures. Hlm. 3 – 30. New York: Basic Books.
George, Kenneth M. 2005. Politik Kebudayaan di Dunia Seni Rupa: A.D. Pirous dan Medan Seni Indonesia. Yogyakarta: Cemeti Art House dan IRB Sanata Dharma.
_____. 2010. Picturing Islam: art and ethics in a Muslim lifeworld. Singapore: Wiley-Blackwell Publishing.
Majalah Tempo, Luksan Palsu Sang Maestro, Liputan Khusus. Edisi 25 Juni – 1 Juli 2012.
Siregaer, Aminudin T.H. 2010. Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar, dan Pemikiran S. Sudjojono. Jakarta: S. Sudjojono Center dan Galeri Canna.
Scholte, B. 1987. “The Literary Turn in Contemporary Anthropology”, Critique of Anthropology 7(1):33 -47.
Thornton, Sarah. 2009. Seven Days in The Art World. New York: W.W. Norton & Company.